Membahas Isra’ Mi’Raj Nabi Muhammad Secara Mendalam

adalah sebuah insiden besar yang kini oleh sains dan teknologi diakui, lantaran ternyata memang demikianlah yang dapat terjadi bahwa Rasulullah sungguh-sungguh bergerak dari Mekkah ke Palestina, dan kemudian diteruskan ke Sidratil Muntaha cuma dalam waktu tidak hingga satu malam. Sudut pandang ilmiahnya bahwa ini merupakan insiden fenomenal dan kontroversial. Fenomenasejarah bahwa peristiwa ini belum pernah terjadi dan diyakini takkan pernah terjadi lagi.


Selama ini dalam menceritakan Isra’ Mi’raj kalau kita sudah buntu, maka kita katakanlah bahwa kalau Allah menghendaki, maka seluruhnya bisa saja terjadi. Kita takkan menemukan pelajaran apa-apa dengan cara berpikir seumpama ini. Padahal insiden apapun yang diturunkan oleh Allah, maka di dalamnya senantiasa ada pelajaran untuk kita. Allah berfirman:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat gejala bagi orang-orang yang berakal, (Q.S. Ali ’Imrân [3]: 190)
Kita ditugaskan untuk menjadi ulil albab, yakni orang yang menggunakan akalnya mengetahui segala peristiwa, sehingga ada pelajaran dari setiap insiden tersebut.

Skenario Isra Mi’raj dan Tafsir Fisik

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ (١

“Maha Suci Allah, yang sudah memperjalankan hamba-Nya pada sebuah malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang sudah diberkahi sekelilingnya oleh Allah biar Kami amati kepadanya sebagian dari gejala (kekuasaan) Kami. Sesungguhnya Dia merupakan Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS Al Isra:1).

Dalam ayat in, Allah sudah menerangkan skenario perjalanan Isra Mi’raj Nabi Muhammad. Sehingga dengan berpatokan pada ayat ini, kita bisa memperoleh pengertian yang sungguh mencukupi wacana mukjizat Isra dan Mi’raj tersebut.

Perjalanan Isra’ Mi’raj itu berisikan dua etape: satu etape mendatar (horisontal), sedangkan satunya lagi merupakan etape vertikal ke langit ketujuh. Etape mendatarnya diceritakan di dalam surah al-Isrâ’ ayat pertama:
Maha Suci Allah, yang sudah memerjalankan hamba-Nya pada sebuah malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang sudah Kami berkahi sekelilingnya biar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari gejala (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia merupakan Maha Mendengar lagi Maha Melihat.(Q.S. al-Isrâ’ [17]: 1)

Dalam tinjauan Agus Mustofa (2006:11), setidak-tidaknya ada delapan keyword yang menjadi catatan penting dan menuntut pengertian kita menembus batasan langit untuk menafsir perjalanan kontroversial ini. Baiklah, bila kita menjajal untuk menguraikan makna kata-kata tersebut, maka akan menjadi seumpama ini:
Pertama , ayat ini dimulai dengan kata “subhânalladzî”. Kata “subhânallâh” diajarkan terhadap kita untuk diucapkan pada di saat kita menemui insiden yang menakjubkan, yang memesona, yang hebat, yang luar biasa. Artinya, dengan mengawali dongeng itu menggunakan kata “subhânalladzî” bergotong-royong Allah menginformasikan bahwa dongeng yang mau diceritakan tersebut bukanlah dongeng yang biasa, melainkan dongeng tersebut merupakan dongeng yang hebat dan menakjubkan.

Kedua,  aitu kata “asrâ”. Penggunaan kata “asrâ” memiliki beberapa makna. Yang pertama bahwa itu merupakan perjalanan berpindah tempat. Makara penggunaan kata ini mengcounter pengertian ataupun kesimpulan yang menyatakan bahwa pada perjalanan tersebut Rasulullah tidak berpindah tempat. Yang kedua maknanya bahwa pada perjalanan itu Rasulullah diperjalankan, bukanlah berjalan sendiri, dan bukan juga atas kehendak sendiri, lantaran insiden ini terlalu dahsyat untuk bisa dilaksanakan sendiri oleh Rasulullah.

Ketiga, yakni kata “’abdihi” yang artinya merupakan hamba Allah. Hamba terhadap majikan merupakan seorang yang tak berani membantah, taat, seluruh hidupnya diabdikan untuk majikannya, untuk Tuhannya. Yang bisa mengalami perjalanan hebat ini bukanlah insan yang kualitasnya sembarangan, melainkan insan yang kualitasnya sudah meraih tingkatan hamba Allah, yakni insan seumpama Nabi Muhammad. Karena itulah, kita mungkin tidak dapat menemukan sewaktu Nabi Muhammad digambarkan memperoleh perintah salat 50 waktu, kemudian dia menawar perintah tersebut terhadap Allah. Anjuran tawar-menawar itu munculnya dari Nabi Musa. Digambarkan bahwa tawar-menawar itu terjadi hingga sembilan kali Nabi Muhammad bolak-balik menemui Allah, yang balasannya perintah salat fardu yang diterima Nabi Muhammad menjadi lima waktu saja sehari semalam.
Kita mungkin tak hingga hati membayangkan Nabi Muhammad yang begitu taat terhadap Allah yang tak pernah membantah kalau memperoleh wahyu dan perintah dari Allah yang dalam dongeng model ini digambarkan hingga sembilan kali tawar-menawar dengan Allah untuk meminimalisir jumlah salat fardu yang diperintah-Nya. Digambarkan pada dongeng model ini bahwa Nabi Musa lebih superior dibandingkan Nabi Muhammad, sehingga Nabi Muhammad dipingpong oleh Nabi Musa bolak-balik menemui Allah memohon biar jumlah salat fardu yang ditugaskan Allah itu dikurangi. Tentunya layak pula kita ingat bahwa Nabi Musa merupakan nabinya bani Israil (sebetulnya juga nabinya umat Islam/umat Nabi Muhammad), tetapi orang-orang bani Israil tidak ingin menemukan Nabi Muhammad. Bagi bani Israil, Nabi Musa lebih hebat dibandingkan Nabi Muhammad, sehingga dalam dongeng model ini Nabi Muhammad dipingpong saja. Makara ini indikasinya merupakan hadis Israiliyat.

Keempat , yakni kata “laylan” yang artinya merupakan perjalanan malam di waktu malam. Hal ini menampilkan selaku penegasan bahwa perjalanan malam itu tidak sepanjang malam, melainkan cuma sebagian kecil dari malam. Sehingga diriwayatkan di beberapa hadis, bahwa di saat Rasulullah berangkat dari rumah meninggalkan pembaringan, kemudian menuju ke Masjidil Haram, dan kemudian terjadi insiden Isra’ Mi’raj tersebut. Ketika Rasulullah kembali lagi ke rumahnya, ternyata pembaringannya masih hangat. Hal ini menampilkan bahwa di saat itu dia tidak usang meninggalkan rumahnya. Di hadis lainnya juga diceritakan, bahwa di saat Rasulullah meninggalkan rumahnya, dia menyenggol kawasan minumnya kemudian tumpah, dan ternyata di saat Rasulullah kembali lagi ke rumahnya, air dari kawasan minum yang disenggolnya itu masih menetes. Hal ini menampilkan bahwa sebenarnya Isra’ Mi’raj yang dialami Rasulullah itu berjalan dalam waktu yang sebentar dan cepat. 

Bayangkanlah, perjalanan semalam saja masih sulit diterima, terlebih perjalanan yang cuma sekejap yang itu mungkin cuma beberapa menit, atau mungkin cuma beberapa detik.

Kelima, minal masjidil harâmi ilal masjidil aqsha (dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa). Mengapa perjalanan Rasulullah ini dari masjid ke masjid? Mengapa pula tidak dari rumahnya atau dari Gua Hira ke tujuan lain yang bukan masjid (dari kawasan yang bukan masjid ke kawasan lain yang bukan masjid juga)?
Patut diketahui, bahwa masjid merupakan kawasan yang menyimpan energi positif sungguh besar. Dengan kamera aura yang dapat memfoto dan memvideokan sesuatu, bila ada orang yang sedang berzikir ataupun membaca al-Quran, ternyata orang tersebut memancarkan cahaya yang terang benderang. Berbeda halnya dengan orang yang sedang marah, depresi, ataupun stress, maka orang tersebut akan memancarkan cahaya berwarna merah. Warna aura ini bertingkat, yakni dari merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu, hingga warna putih. Setiap kita memancarkan energi. Akan terpancar energi dari setiap acara yang kita lakukan, dan energi itu menancap di kawasan kita berada di saat itu. Energi itu membekas, sehingga seluruh aktifitas kita akan terekam. Allah berfirman:
Tiada sebuah ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang senantiasa hadir. (Q.S. Qâf: 18)

Raqib dan Atid kemudian dijadikan selaku nama malaikat yang mencatat amal kebaikan dan keburukan. Rekaman tersebut di ruang tiga dimensi, dan sebuah di saat akan diputar lagi. Allah berfirman:
Sesungguhnya kau berada dalam kondisi gegabah dari (hal) ini, maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam. (Q.S. Qâf: 22)
Di pengadilan darul abadi itu, insan akan bisa menyaksikan seluruh perbuatan yang dilakukannya di dunia.
Masjid mengandung energi positif sungguh besar, utamanya masjid yang sering dipakai selaku kawasan beribadah. Semakin sering, makin banyak, dan makin khusyuk, maka energinya akan makin besar. Rasulullah berangkat dari masjid menuju ke masjid. Terminal keberangkatannya di masjid

Keenam, bâraknâ hawlahu (yang sudah Kami berkahi sekelilingnya). Allah memberkati sepanjang perjalanan itu, hal ini lantaran perjalanan itu memang membahayakan. Dengan keberkahan Allah kondisi Nabi tetap membaik

Ketujuh, linuriyahû min âyâtinâ (agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari gejala (kebesaran) Kami). Dalam perjalanan isra’ mi’raj di saat itu Rasulullah ditunjukkan aneka macam peristiwa. Mengapakah bisa seumpama itu, sedangkan itu merupakan waktu yang sungguh singkat. Itulah yang disebut selaku relativitas waktu, yakni ada perbedaan waktu antara orang yang berkecepatan tinggi dengan orang yang berkecepatan rendah. Kita mengetahui, bahwa antara orang yang tidur dengan orang yang sadar (terjaga) itu waktunya berbeda. Misalnya, ada yang tiba-tiba terlelap tidur yang itu cuma sebentar (mungkin cuma beberapa detik), kemudian yang tertidur itu dibangunkan. Yang tertidur itu pun terbangun, kemudian ia bercerita gres saja ia bermimpi. Ceritanya itu begitu panjang, seperti mimpinya itu sungguh lama, padahal ia cuma tertidur beberapa detik saja. Begitupun dengan Rasulullah, walaupun perjalanan yang dialaminya itu cuma berjalan sepersekian detik, tetapi dia ditampakkan aneka macam macam insiden oleh Allah. Hal ini lantaran yang memberjalankan Rasulullah merupakan Allah yang tak lain merupakan zat Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Kemahamendengaran dan kemahamelihatan Allah itu ditularkan terhadap Nabi Muhammad, sehingga kesanggupan Rasulullah untuk menyaksikan dan mendengar menjadi lebih baik dari sebelumnya.

 Dan kata kunci yang terakhir ( kedelapan ) adalah innahu huwas samii’ul bashir, sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat. Ini merupakan proses penegasan keterangan kalimat sebelumnya. Dengan adanya kalimat ini, seperti Alalh ingin menampilkan jaminan terhadap kita bahwa apa yang sudah Dia ceritakan dalam ayat ini merupakan benar adanya. Kenapa? Karena gunjingan ini tiba dari Allah, Tuhan yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Maka tak perlu ada keraguan wacana kisah fenomenal ini (Mustofa, 2006:41).
Selanjutnya tentang Mi’raj diceritakan pada surah an-Najm 14-18:
(14) (yaitu) di Sidratil Muntaha. (15) Di dekatnya ada nirwana kawasan tinggal, (16) (Muhammad menyaksikan Jibril) di saat Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. (17) Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. (18) Sesungguhnya dia sudah menyaksikan sebahagian gejala (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar. (Q.S. an-Najm: 14-18)

Di bersahabat Sidratil Muntaha, Rasulullah menyaksikan surga. Tentunya tidak asal pilih orang yang dapat menyaksikan surga, lantaran sudut padangnya mesti tertinggi di alam semesta ini. Dari dunia tidak kelihatan, kalaupun kelihatan cuma sebagian. Jadi, kalau kita mencicipi kebahagiaan, maka hal itu mungkin kita sudah menemukan kebahagiaan surga, tetapi cuma sedikit sekali perbandingannya, mungkin bagaikan setetes air dibandingkan dengan samudera, itu pun setetes airnya dibagi lagi tak berhingga. Sebaliknya kalau kita menderita, maka itu merupakan penderitaan neraka, tetapi skalanya tak berhingga.
Lantas ke manakah Rasulullah melanglang buana? Menyeberangi langit ataukah dia eksklusif masuk ke Sidratil Muntaha yang kita tidak tahu di mana letaknya.
Betapa besarnya langit angkasa semesta. Apakah langit? Langit merupakan seluruh ruangan alam semesta ini. Matahari dikelilingi oleh planet-planet, bumi kawasan kita tinggal merupakan tergolong salah satu planet yang mengitari matahari. Matahari yang tadinya kelihatan besar, makin jauh kita lihat maka makin kecil. Ketika matahari yang kita terlihat itu makin kecil, maka umumnya kita tidak lagi menyebutnya matahari, melainkan kita menyebutnya bintang. 

Matahari itu ternyata demikian banyaknya, seluruh bintang-bintang itu bergotong-royong merupakan matahari. Diperkirakan jumlahnya trilyunan. Matahari-matahari (bintang-bintang) itu bergerombol membentuk galaksi. Galaksi merupakan gerombolan matahari (bintang), di tengahnya ada matahari yang lebih besar, dan di sekitarnya ada sekitar 100 milyar matahari (bintang). 

Bintang-bintang itu bergerombol mengitari pusatnya membentuk sebuah galaksi. Galaksi kawasan bumi dan matahari kita berada merupakan galaksi Bimasakti. Di sebelah galaksi Bimasakti ada galaksi Andromeda yang isinya diperkirakan juga 100 milyar matahari. Galaksi-galaksi itu diperkirakan trilyunan jumlahnya. Para jago astronomi bahkan hingga kekurangan nama untuk menyebut galaksi lantaran saking banyaknya.

Galaksi-galaksi itu ternyata bergerombol-gerombol lagi membentuk gerombolan yang lebih besar yang dinamakan selaku supercluster. Isinya diperkirakan 100 milyar galaksi. Apakah supercluster merupakan benda paling besar dan terjauh di alam semesta, hingga kini belum ada yang mengetahuinya.

Jarak bumi ke matahari merupakan 150 juta kilometer. Kalau dilewati cahaya maka diinginkan waktu 8 menit. Jadi, kalau kita menyaksikan matahari terbit yang sinarnya hingga ke mata kita, maka cahaya yang hingga ke mata kita itu sebenarnya bukanlah matahari sekarang, melainkan matahari 8 menit yang lalu. Cahaya matahari itu berjalan selama 8 menit barulah hingga ke mata kita. Sementara bintang kembar (Alpha Century) jaraknya dari bumi merupakan 4 tahun perjalanan cahaya. Kalau kita menyaksikan bintang kembar pada malam hari, maka sebenarnya itu bukanlah cahaya bintang kembar di saat itu, melainkan bintang 4 tahun yang lalu. Di belakangnya lagi ada bintang yang berjarak 10 tahun perjalanan cahaya. Bayangkanlah kalau kita mau menuju bintang berjarak 10 tahun cahaya menggunakan pesawat tercepat yang dimiliki manusia, misalnya menggunakan pesawat ulang alik yang kecepatannya 20 ribu kilometer per jam. Apakah yang kemudian terjadi? Ternyata diinginkan waktu 500 tahun untuk hingga ke bintang tersebut.

Ternyata bumi kita ini bukanlah benda besar di alam semesta, melainkan benda yang sungguh kecil. Di belakang bintang berjarak 10 tahun cahaya ada bintang berjarak 100 tahun cahaya, di belakangnya lagi ada yang berjarak 1000 tahun cahaya, yang berjarak 1 juta tahun cahaya, dan juga yang berjarak 1 milyar tahun cahaya. Yang terjauh dikenali oleh ilmuwan Jepang yakni yang berjarak 10 milyar tahun cahaya. Jadi, bumi kita ini hanyalah sebutir bubuk di padang pasir alam semesta raya.


Jadi, insan merupakan debunya bumi, bumi debunya tata surya, tata surya debunya galaksi Bimasakti, galaksi Bimasakti debunya supercluster, supercluster debunya langit pertama, lantaran langit itu ada tujuh (sab’a samawâti). Ilmu astronomi cuma mengenali langit itu satu, tetapi al-Quran menyampaikan langit itu ada tujuh, lantaran menurut al-Quran bahwa langit yang kita kenal itu yang banyak bintang-bintangnya barulah langit dunia (langit pertama). Allah berfirman: Sesungguhnya Kami sudah mempercantik langit yang terdekat dengan hiasan, yakni bintang-bintang, (Q.S. ash-Shâffât: 6)

Sudah sedemikian besarnya langit pertama, ternyata langit pertama merupakan debunya langit kedua, lantaran langit kedua itu besarnya tak berhingga kali dibandingkan langit pertama. Langit ketiga besarnya tak berhingga kali dibandingkan langit kedua. Begitu seterusnya setiap naik ke langit berikutnya senantiasa tak berhingga kali besarnya dibandingkan langit sebelumnya, hingga langit ketujuh tak berhingga kali dibandingkan langit keenam, serta tak berhingga pangkat tujuh dibandingkan langit pertama.

Jadi, langit pertama merupakan debunya langit kedua, langit kedua debunya langit ketiga, seterusnya hingga langit ketujuh, dan seluruh langit yang tujuh beserta seluruh isinya hanyalah bubuk atau lebih kecil lagi di dalam kebesaran Allah. Beginilah cara al-Quran menggiring pengertian kita wacana makna Allahu Akbar. Semestinya menurut al-Quran, bahwa menuntut ilmu mengenal Allah itu merupakan dari seluruh ciptaan-Nya. Dengan begitu kita akan mengenali betapa Maha Besarnya Dia, betapa Maha Menyayangi, Maha Teliti, Maha Berkuasa, Maha Berkehendak, tak cukup cuma dari lafaznya, lantaran kita takkan menemukan rasa yang sesungguhnya.

Bayangkanlah betapa Rasulullah mengerjakan perjalanan menuju langit ketujuh. Sebetulnya Rasulullah berjalan ke langit ketujuh itu apakah melintasi ruang angkasa atau tidak?
Kalaupun tubuh Rasulullah diubah menjadi cahaya, maka dari bumi menuju bintang Alpha Century yang berjarak 4 tahun cahaya, maka Rasulullah memerlukan waktu 4 tahun untuk hingga ke bintang Alpha Century, untuk menempuh yang berjarak 10 tahun cahaya diinginkan waktu 10 tahun, untuk menempuh yang berjarak 10 milyar tahun cahaya diinginkan 10 milyar tahun. Sepertinya Rasulullah tidak melalui ruang angkasa, melainkan ada ruangan eksklusif yang tidak ke sana (tidak ke ruang angkasa) tetapi mengetahui semua itu. Di manakah itu?
Ternyata langit kedua terhadap langit pertama tidak bertumpuk seumpama camilan anggun lapis (dalam konteks Mi’rajnya Rasulullah). Sering kita beropini dari cerita-cerita klasik bahwa Nabi Muhammad dan malaikat Jibril menuju ke langit ketujuh dengan cara naik menggunakan tangga, kemudian berjumpa langit yang digambarkan seumpama langit-langit, kemudian di situ ada pintunya dan ada penjaganya. Lalu Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad ditanya mau ke mana oleh si penjaga langit. Dijawab oleh Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad bahwa akan berjumpa dengan Allah. Kalau begitu, memiliki arti Allah itu jauh sekali. Padahal di dalam al-Quran digambarkan bahwa Allah itu dekat, dan Nabi Muhammad mengenali itu. Allah berfirman: Dan sesungguhnya Kami sudah bikin insan dan mengenali apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih bersahabat kepadanya dari pada urat lehernya, (Q.S. Qâf: 16)

Bahkan dinyatakan juga di dalam al-Quran: Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kau menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Q.S. al-Baqarah [2]: 115)

Timur dan Barat milik Allah. Ke manapun kita menghadap, maka kita berhadapan dengan Allah, lantaran Allah sedang termasuk kita. Dan Rasulullah tahu persis akan hal itu. Makara untuk berjumpa Allah tak perlu ke Sidratil Muntaha. Dan memang Rasulullah ke Sidratil Muntaha bukanlah untuk menemui Allah, lantaran Allah sudah termasuk Rasulullah, juga termasuk kita semua di manapun kita berada.


Isra’ Mi’raj itu sebenarnya berniat menjinjing Rasulullah ke satu posisi yang paling tinggi untuk mengetahui betapa dahsyatnya ciptaan Allah. Untuk apakah seluruhnya itu? Yaitu untuk memotivasi Rasulullah. Mengapakah demikian? Karena sebelum Isra’ Mi’raj, Rasulullah sedang berada pada titik paling rendah perjuangannya yang paling sulit, yakni di saat dijepit oleh orang kafir dan diembargo secara ekonomi. Di momentum itu justru Allah mewafatkan paman Rasulullah (Abi Thalib) dan mewafatkan istri Rasulullah (Khadijah). Hal ini bukannya tidak sengaja, melainkan disengaja oleh Allah, lantaran memang tak ada yang kebetulan di dalam kehidupan ini.

Semuanya itu justru terjadi pada sewaktu Rasulullah berada pada titik nadir perjuangannya. Beliau berharap memindahkan front syi’arnya ke luar kota (yaitu ke Tha’if). Beliau berharap disambut baik oleh penduduk Tha’if, tetapi malah yang terjadi dia dilempari kerikil hingga berdarah-darah. Maka kemudian Allah memompa kembali semangat beliau, yakni dengan cara Isra’ Mi’raj. “Muhammad, engkau merupakan delegasi Allah,” mungkin seumpama itulah yang ingin disampaikan oleh Allah lewat insiden Isra’ Mi’raj tersebut.
Ketika Rasulullah kembali dari Isra’ Mi’raj, maka setahun kemudian terjadilah titik balik perjuangannya, yakni dia bareng pengikutnya hijrah ke Madinah, kemudian dari Madinah bisa menaklukkan kota Mekkah.

Peringatan :
  • Kisah isra' dan mi'raj Nabi merupakan benar lantaran yang memberitakannya merupakan Al-Quran kitab suci kita 
  • Kisah mi'raj Nabi merupakan benar walau tidak kasat oleh logika kita alasannya merupakan dalam agama kebenaran yang dipakai merupakan kebenaran wahyu bukan budi yang dieksprimen dahulu , wahyu lebih tinggi dari logika
  • kebenaran isra' dan mi'raj nabi wajib di yakini dan adapun caranya Nabi muhammad  dan bagaimana atau kaifiyyat Nabi keatas langit ke 7 hingga sidrotul muntaha tidak menjadi keharusan mengetahuinya  . yang penting percaya dan percaya didalam hati adapun cara yang ril dan bergotong-royong wallohua'lam alasannya merupakan banyak usulan paradikma islam dalam hal ini. 
  • Logikanya isra' itu benar dan logis sekali ,seperti ini . bila Nabi Muhammad merupakan milik Allah dan langit serta alam ini milik Allah dan dalam kondisi ini Allah yang menginginkan so ,  apa susahnya ?. Simplenya seumpama ini . bila anda punya HP kemudian kau tarok dilantai terus mau kau pindahkan ke kantong , kelemari , keatas rak buku . gak susahkan ? kenapa lantaran pemilik HP merupakan anda . coba kalau sobat anda yang punya ? mana bisa kau geser kemana sesuka hati kau .
Demikianlah artikel isra' mi'raj .yang kami kumpulkan dari aneka macam sumber .Semoga faedah buat sehabat dan sobat sekalian . Allah yang Maha Tahu

 

sumber : https://ceritateladanmuslim.blogspot.com//search?q=membahas-isra-miraj-nabi-muhammad

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel