Membahas Isra’ Mi’Raj Nabi Muhammad Secara Mendalam
Tuesday, September 5, 2017
Edit
 Selama ini dalam menceritakan Isra’ Mi’raj  kalau kita sudah buntu, maka kita katakanlah bahwa kalau Allah  menghendaki, maka seluruhnya bisa saja terjadi. Kita takkan menemukan  pelajaran apa-apa dengan cara berpikir seumpama ini. Padahal insiden  apapun yang diturunkan oleh Allah, maka di dalamnya senantiasa ada pelajaran  untuk kita. Allah berfirman:
 
  Sesungguhnya dalam penciptaan langit  dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat gejala  bagi orang-orang yang berakal, (Q.S. Ali ’Imrân [3]: 190)
  Kita ditugaskan untuk menjadi ulil  albab, yakni orang yang menggunakan akalnya mengetahui segala peristiwa,  sehingga ada pelajaran dari setiap insiden tersebut.
 
Skenario Isra Mi’raj dan Tafsir Fisik
 
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ (١
 
“Maha Suci Allah, yang sudah memperjalankan hamba-Nya pada sebuah malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang sudah diberkahi sekelilingnya oleh Allah biar Kami amati kepadanya sebagian dari gejala (kekuasaan) Kami. Sesungguhnya Dia merupakan Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS Al Isra:1).
 
Dalam ayat in, Allah sudah menerangkan skenario perjalanan Isra Mi’raj Nabi Muhammad. Sehingga dengan berpatokan pada ayat ini, kita bisa memperoleh pengertian yang sungguh mencukupi wacana mukjizat Isra dan Mi’raj tersebut.
 
  
 Skenario Isra Mi’raj dan Tafsir Fisik
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ (١
“Maha Suci Allah, yang sudah memperjalankan hamba-Nya pada sebuah malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang sudah diberkahi sekelilingnya oleh Allah biar Kami amati kepadanya sebagian dari gejala (kekuasaan) Kami. Sesungguhnya Dia merupakan Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS Al Isra:1).
Dalam ayat in, Allah sudah menerangkan skenario perjalanan Isra Mi’raj Nabi Muhammad. Sehingga dengan berpatokan pada ayat ini, kita bisa memperoleh pengertian yang sungguh mencukupi wacana mukjizat Isra dan Mi’raj tersebut.
 Perjalanan Isra’ Mi’raj itu  berisikan dua etape: satu etape mendatar (horisontal), sedangkan  satunya lagi merupakan etape vertikal ke langit ketujuh. Etape mendatarnya  diceritakan di dalam surah al-Isrâ’ ayat pertama:
  Maha Suci Allah, yang sudah  memerjalankan hamba-Nya pada sebuah malam dari Masjidil Haram ke Masjidil  Aqsha yang sudah Kami berkahi sekelilingnya biar Kami perlihatkan  kepadanya sebagian dari gejala (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia  merupakan Maha Mendengar lagi Maha Melihat.(Q.S. al-Isrâ’ [17]: 1)
 
  
  Dalam tinjauan  Agus Mustofa (2006:11),  setidak-tidaknya ada delapan keyword  yang  menjadi catatan penting  dan menuntut pengertian kita menembus batasan  langit untuk menafsir  perjalanan kontroversial ini. Baiklah, bila kita  menjajal  untuk  menguraikan makna kata-kata tersebut, maka akan menjadi  seumpama ini:
 
  Pertama , ayat ini dimulai dengan kata “subhânalladzî”. Kata “subhânallâh”  diajarkan terhadap kita untuk diucapkan pada di saat kita menemui insiden  yang menakjubkan, yang memesona, yang hebat, yang luar biasa. Artinya,  dengan mengawali dongeng itu menggunakan kata “subhânalladzî”  bergotong-royong Allah menginformasikan  bahwa dongeng yang mau diceritakan  tersebut bukanlah dongeng yang biasa, melainkan dongeng tersebut merupakan  dongeng yang hebat dan menakjubkan.
 
  
  Kedua,  aitu kata “asrâ”. Penggunaan kata “asrâ”  memiliki beberapa makna. Yang pertama bahwa itu merupakan perjalanan  berpindah tempat. Makara penggunaan kata ini mengcounter pengertian ataupun  kesimpulan yang menyatakan bahwa pada perjalanan tersebut Rasulullah  tidak berpindah tempat. Yang kedua maknanya bahwa pada perjalanan itu  Rasulullah diperjalankan, bukanlah berjalan sendiri, dan bukan juga atas  kehendak sendiri, lantaran insiden ini terlalu dahsyat untuk bisa  dilaksanakan sendiri oleh Rasulullah.
 
  
  Ketiga, yakni kata “’abdihi”  yang artinya merupakan hamba Allah. Hamba terhadap majikan merupakan seorang  yang tak berani membantah, taat, seluruh hidupnya diabdikan untuk  majikannya, untuk Tuhannya. Yang bisa mengalami perjalanan hebat ini  bukanlah insan yang kualitasnya sembarangan, melainkan insan yang  kualitasnya sudah meraih tingkatan hamba Allah, yakni insan seumpama  Nabi Muhammad. Karena itulah, kita mungkin tidak dapat menemukan sewaktu Nabi Muhammad digambarkan memperoleh perintah salat 50 waktu, kemudian  dia menawar perintah tersebut terhadap Allah. Anjuran tawar-menawar itu  munculnya dari Nabi Musa. Digambarkan bahwa tawar-menawar itu terjadi  hingga sembilan kali Nabi Muhammad bolak-balik menemui Allah, yang  balasannya perintah salat fardu yang diterima Nabi Muhammad menjadi lima  waktu saja sehari semalam.
 
  Kita mungkin tak hingga hati  membayangkan Nabi Muhammad yang begitu taat terhadap Allah yang tak pernah  membantah kalau memperoleh wahyu dan perintah dari Allah yang dalam  dongeng model ini digambarkan hingga sembilan kali tawar-menawar dengan  Allah untuk meminimalisir jumlah salat fardu yang diperintah-Nya.  Digambarkan pada dongeng model ini bahwa Nabi Musa lebih superior  dibandingkan Nabi Muhammad, sehingga Nabi Muhammad dipingpong oleh Nabi  Musa bolak-balik menemui Allah memohon biar jumlah salat fardu yang  ditugaskan Allah itu dikurangi. Tentunya layak pula kita ingat bahwa  Nabi Musa merupakan nabinya bani Israil (sebetulnya juga nabinya umat  Islam/umat Nabi Muhammad), tetapi orang-orang bani Israil tidak ingin menemukan Nabi Muhammad. Bagi bani Israil, Nabi Musa lebih hebat  dibandingkan Nabi Muhammad, sehingga dalam dongeng model ini Nabi  Muhammad dipingpong saja. Makara ini indikasinya merupakan hadis Israiliyat.
 
  
  Keempat , yakni kata “laylan”  yang artinya merupakan perjalanan malam di waktu malam. Hal ini  menampilkan selaku  penegasan bahwa perjalanan malam itu tidak sepanjang  malam, melainkan cuma sebagian kecil dari malam. Sehingga diriwayatkan  di beberapa hadis, bahwa di saat Rasulullah berangkat dari rumah  meninggalkan pembaringan, kemudian menuju ke Masjidil Haram, dan  kemudian terjadi insiden Isra’ Mi’raj tersebut. Ketika Rasulullah  kembali lagi ke rumahnya, ternyata pembaringannya masih hangat. Hal ini  menampilkan bahwa di saat itu dia tidak usang meninggalkan rumahnya. Di  hadis lainnya juga diceritakan, bahwa di saat Rasulullah meninggalkan  rumahnya, dia menyenggol kawasan minumnya kemudian tumpah, dan  ternyata di saat Rasulullah kembali lagi ke rumahnya, air dari kawasan  minum yang disenggolnya itu masih menetes. Hal ini menampilkan bahwa  sebenarnya Isra’ Mi’raj yang dialami Rasulullah itu berjalan dalam  waktu yang sebentar dan cepat. 
 
  
  Bayangkanlah, perjalanan semalam saja  masih sulit diterima, terlebih perjalanan yang cuma sekejap yang itu  mungkin cuma beberapa menit, atau mungkin cuma beberapa detik.
 
  
  Kelima, minal masjidil harâmi ilal masjidil aqsha  (dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa). Mengapa perjalanan Rasulullah  ini dari masjid ke masjid? Mengapa pula tidak dari rumahnya atau dari  Gua Hira ke tujuan lain yang bukan masjid (dari kawasan yang bukan masjid  ke kawasan lain yang bukan masjid juga)?
  Patut diketahui, bahwa masjid merupakan  kawasan yang menyimpan energi positif sungguh besar. Dengan kamera aura  yang dapat memfoto dan memvideokan sesuatu, bila ada orang yang sedang  berzikir ataupun membaca al-Quran, ternyata orang tersebut memancarkan  cahaya yang terang benderang. Berbeda halnya dengan orang yang sedang  marah, depresi, ataupun stress, maka orang tersebut akan memancarkan  cahaya berwarna merah. Warna aura ini bertingkat, yakni dari merah,  jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu, hingga warna putih. Setiap kita  memancarkan energi. Akan terpancar energi dari setiap acara yang  kita lakukan, dan energi itu menancap di kawasan kita berada di saat itu.  Energi itu membekas, sehingga seluruh aktifitas kita akan terekam. Allah  berfirman:
 
  Tiada sebuah ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang senantiasa hadir. (Q.S. Qâf: 18)
 
  
  Raqib dan Atid kemudian dijadikan  selaku  nama malaikat yang mencatat amal kebaikan dan keburukan. Rekaman  tersebut di ruang tiga dimensi, dan sebuah di saat akan diputar lagi.  Allah berfirman:
  Sesungguhnya kau berada dalam  kondisi gegabah dari (hal) ini, maka Kami singkapkan daripadamu tutup  (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam. (Q.S. Qâf: 22)
  Di pengadilan darul abadi itu, insan akan bisa menyaksikan seluruh perbuatan yang dilakukannya di dunia.
 
  Masjid mengandung energi positif sungguh  besar, utamanya masjid yang sering dipakai selaku  kawasan beribadah.  Semakin sering, makin banyak, dan makin khusyuk, maka energinya akan  makin besar. Rasulullah berangkat dari masjid menuju ke masjid.  Terminal keberangkatannya di masjid
 
  
  Keenam, bâraknâ hawlahu  (yang sudah Kami berkahi sekelilingnya). Allah memberkati sepanjang  perjalanan itu, hal ini lantaran perjalanan itu memang membahayakan.  Dengan keberkahan Allah kondisi Nabi tetap membaik
 
  
  Ketujuh, linuriyahû min âyâtinâ  (agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari gejala (kebesaran)  Kami). Dalam perjalanan isra’ mi’raj di saat itu Rasulullah ditunjukkan  aneka macam peristiwa. Mengapakah bisa seumpama itu, sedangkan itu merupakan  waktu yang sungguh singkat. Itulah yang disebut selaku  relativitas  waktu, yakni ada perbedaan waktu antara orang yang berkecepatan tinggi  dengan orang yang berkecepatan rendah. Kita mengetahui, bahwa antara  orang yang tidur dengan orang yang sadar (terjaga) itu waktunya berbeda.  Misalnya, ada yang tiba-tiba terlelap tidur yang itu cuma sebentar  (mungkin cuma beberapa detik), kemudian yang tertidur itu dibangunkan. Yang  tertidur itu pun terbangun, kemudian ia bercerita gres saja ia bermimpi.  Ceritanya itu begitu panjang, seperti mimpinya itu sungguh lama,  padahal ia cuma tertidur beberapa detik saja. Begitupun dengan  Rasulullah, walaupun perjalanan yang dialaminya itu cuma berjalan  sepersekian detik, tetapi dia ditampakkan aneka macam macam insiden  oleh Allah. Hal ini lantaran yang memberjalankan Rasulullah merupakan Allah  yang tak lain merupakan zat Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.  Kemahamendengaran dan kemahamelihatan Allah itu ditularkan terhadap Nabi  Muhammad, sehingga kesanggupan Rasulullah untuk menyaksikan dan mendengar  menjadi lebih baik dari sebelumnya.
 
Dan kata kunci yang terakhir ( kedelapan ) adalah innahu huwas samii’ul bashir, sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat. Ini merupakan proses penegasan keterangan kalimat sebelumnya. Dengan adanya kalimat ini, seperti Alalh ingin menampilkan jaminan terhadap kita bahwa apa yang sudah Dia ceritakan dalam ayat ini merupakan benar adanya. Kenapa? Karena gunjingan ini tiba dari Allah, Tuhan yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Maka tak perlu ada keraguan wacana kisah fenomenal ini (Mustofa, 2006:41).
 
 Dan kata kunci yang terakhir ( kedelapan ) adalah innahu huwas samii’ul bashir, sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat. Ini merupakan proses penegasan keterangan kalimat sebelumnya. Dengan adanya kalimat ini, seperti Alalh ingin menampilkan jaminan terhadap kita bahwa apa yang sudah Dia ceritakan dalam ayat ini merupakan benar adanya. Kenapa? Karena gunjingan ini tiba dari Allah, Tuhan yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Maka tak perlu ada keraguan wacana kisah fenomenal ini (Mustofa, 2006:41).
 Selanjutnya tentang Mi’raj diceritakan pada surah an-Najm 14-18:
 
  (14) (yaitu) di Sidratil Muntaha.  (15) Di dekatnya ada nirwana kawasan tinggal, (16) (Muhammad menyaksikan  Jibril) di saat Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya.  (17) Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu  dan tidak (pula) melampauinya. (18) Sesungguhnya dia sudah menyaksikan  sebahagian gejala (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar. (Q.S. an-Najm: 14-18)
 
  
  Di bersahabat Sidratil Muntaha, Rasulullah  menyaksikan surga. Tentunya tidak asal pilih orang yang dapat  menyaksikan surga, lantaran sudut padangnya mesti tertinggi di alam  semesta ini. Dari dunia tidak kelihatan, kalaupun kelihatan cuma  sebagian. Jadi, kalau kita mencicipi kebahagiaan, maka hal itu mungkin  kita sudah menemukan kebahagiaan surga, tetapi cuma sedikit sekali  perbandingannya, mungkin bagaikan setetes air dibandingkan dengan  samudera, itu pun setetes airnya dibagi lagi tak berhingga. Sebaliknya  kalau kita menderita, maka itu merupakan penderitaan neraka, tetapi skalanya  tak berhingga.
 
  Lantas ke manakah Rasulullah melanglang  buana? Menyeberangi langit ataukah dia eksklusif masuk ke Sidratil  Muntaha yang kita tidak tahu di mana letaknya.
 
  Betapa besarnya langit angkasa semesta.  Apakah langit? Langit merupakan seluruh ruangan alam semesta ini. Matahari  dikelilingi oleh planet-planet, bumi kawasan kita tinggal merupakan  tergolong salah satu planet yang mengitari matahari. Matahari yang  tadinya kelihatan besar, makin jauh kita lihat maka makin kecil.  Ketika matahari yang kita terlihat itu makin kecil, maka umumnya kita  tidak lagi menyebutnya matahari, melainkan kita menyebutnya bintang. 
 
Matahari itu ternyata demikian banyaknya, seluruh bintang-bintang itu bergotong-royong merupakan matahari. Diperkirakan jumlahnya trilyunan. Matahari-matahari (bintang-bintang) itu bergerombol membentuk galaksi. Galaksi merupakan gerombolan matahari (bintang), di tengahnya ada matahari yang lebih besar, dan di sekitarnya ada sekitar 100 milyar matahari (bintang).
 
Bintang-bintang itu bergerombol mengitari pusatnya membentuk sebuah galaksi. Galaksi kawasan bumi dan matahari kita berada merupakan galaksi Bimasakti. Di sebelah galaksi Bimasakti ada galaksi Andromeda yang isinya diperkirakan juga 100 milyar matahari. Galaksi-galaksi itu diperkirakan trilyunan jumlahnya. Para jago astronomi bahkan hingga kekurangan nama untuk menyebut galaksi lantaran saking banyaknya.
 
  
 Matahari itu ternyata demikian banyaknya, seluruh bintang-bintang itu bergotong-royong merupakan matahari. Diperkirakan jumlahnya trilyunan. Matahari-matahari (bintang-bintang) itu bergerombol membentuk galaksi. Galaksi merupakan gerombolan matahari (bintang), di tengahnya ada matahari yang lebih besar, dan di sekitarnya ada sekitar 100 milyar matahari (bintang).
Bintang-bintang itu bergerombol mengitari pusatnya membentuk sebuah galaksi. Galaksi kawasan bumi dan matahari kita berada merupakan galaksi Bimasakti. Di sebelah galaksi Bimasakti ada galaksi Andromeda yang isinya diperkirakan juga 100 milyar matahari. Galaksi-galaksi itu diperkirakan trilyunan jumlahnya. Para jago astronomi bahkan hingga kekurangan nama untuk menyebut galaksi lantaran saking banyaknya.
 Galaksi-galaksi itu ternyata  bergerombol-gerombol lagi membentuk gerombolan yang lebih besar yang  dinamakan selaku  supercluster. Isinya diperkirakan 100 milyar galaksi.  Apakah supercluster merupakan benda paling besar dan terjauh di alam semesta,  hingga kini belum ada yang mengetahuinya.
 
  
  Jarak bumi ke matahari merupakan 150 juta  kilometer. Kalau dilewati cahaya maka diinginkan waktu 8 menit. Jadi,  kalau kita menyaksikan matahari terbit yang sinarnya hingga ke mata kita,  maka cahaya yang hingga ke mata kita itu sebenarnya bukanlah matahari  sekarang, melainkan matahari 8 menit yang lalu. Cahaya matahari itu  berjalan selama 8 menit barulah hingga ke mata kita. Sementara bintang  kembar (Alpha Century) jaraknya dari bumi merupakan 4 tahun perjalanan  cahaya. Kalau kita menyaksikan bintang kembar pada malam hari, maka  sebenarnya itu bukanlah cahaya bintang kembar di saat itu, melainkan  bintang 4 tahun yang lalu. Di belakangnya lagi ada bintang yang berjarak  10 tahun perjalanan cahaya. Bayangkanlah kalau kita mau menuju bintang  berjarak 10 tahun cahaya menggunakan pesawat tercepat yang dimiliki  manusia, misalnya menggunakan pesawat ulang alik yang kecepatannya 20  ribu kilometer per jam. Apakah yang kemudian terjadi? Ternyata  diinginkan waktu 500 tahun untuk hingga ke bintang tersebut.
 
  
  Ternyata bumi kita ini bukanlah benda  besar di alam semesta, melainkan benda yang sungguh kecil. Di belakang  bintang berjarak 10 tahun cahaya ada bintang berjarak 100 tahun cahaya,  di belakangnya lagi ada yang berjarak 1000 tahun cahaya, yang berjarak 1  juta tahun cahaya, dan juga yang berjarak 1 milyar tahun cahaya. Yang  terjauh dikenali oleh ilmuwan Jepang yakni yang berjarak 10 milyar  tahun cahaya. Jadi, bumi kita ini hanyalah sebutir bubuk di padang pasir  alam semesta raya.
 
   
  
  Jadi, insan merupakan debunya bumi, bumi  debunya tata surya, tata surya debunya galaksi Bimasakti, galaksi  Bimasakti debunya supercluster, supercluster debunya langit pertama,  lantaran langit itu ada tujuh (sab’a samawâti). Ilmu astronomi cuma  mengenali langit itu satu, tetapi al-Quran menyampaikan langit itu ada  tujuh, lantaran menurut  al-Quran bahwa langit yang kita kenal itu yang  banyak bintang-bintangnya barulah langit dunia (langit pertama). Allah  berfirman: Sesungguhnya Kami sudah mempercantik  langit yang terdekat dengan  hiasan, yakni bintang-bintang, (Q.S. ash-Shâffât: 6)
 
  
  Sudah sedemikian besarnya langit  pertama, ternyata langit pertama merupakan debunya langit kedua, lantaran  langit kedua itu besarnya tak berhingga kali dibandingkan langit  pertama. Langit ketiga besarnya tak berhingga kali dibandingkan langit  kedua. Begitu seterusnya setiap naik ke langit berikutnya senantiasa tak  berhingga kali besarnya dibandingkan langit sebelumnya, hingga langit  ketujuh tak berhingga kali dibandingkan langit keenam, serta tak  berhingga pangkat tujuh dibandingkan langit pertama.
 
  
  Jadi, langit pertama merupakan debunya  langit kedua, langit kedua debunya langit ketiga, seterusnya hingga  langit ketujuh, dan seluruh langit yang tujuh beserta seluruh isinya  hanyalah bubuk atau lebih kecil lagi di dalam kebesaran Allah. Beginilah  cara al-Quran menggiring pengertian kita wacana makna Allahu Akbar.  Semestinya menurut  al-Quran, bahwa menuntut ilmu mengenal Allah itu merupakan  dari seluruh ciptaan-Nya. Dengan begitu kita akan mengenali betapa Maha  Besarnya Dia, betapa Maha Menyayangi, Maha Teliti, Maha Berkuasa, Maha  Berkehendak, tak cukup cuma dari lafaznya, lantaran kita takkan  menemukan rasa yang sesungguhnya.
 
  
  Bayangkanlah betapa Rasulullah  mengerjakan perjalanan menuju langit ketujuh. Sebetulnya Rasulullah  berjalan ke langit ketujuh itu apakah melintasi ruang angkasa atau  tidak?
 
  Kalaupun tubuh Rasulullah diubah  menjadi cahaya, maka dari bumi menuju bintang Alpha Century yang  berjarak 4 tahun cahaya, maka Rasulullah memerlukan waktu 4 tahun untuk  hingga ke bintang Alpha Century, untuk menempuh yang berjarak 10 tahun  cahaya diinginkan waktu 10 tahun, untuk menempuh yang berjarak 10 milyar  tahun cahaya diinginkan 10 milyar tahun. Sepertinya Rasulullah  tidak melalui  ruang angkasa, melainkan ada ruangan eksklusif yang tidak  ke sana (tidak ke ruang angkasa) tetapi mengetahui semua itu. Di manakah  itu?
 
  Ternyata langit kedua terhadap langit  pertama tidak bertumpuk seumpama camilan anggun lapis (dalam konteks Mi’rajnya  Rasulullah). Sering kita beropini dari cerita-cerita klasik bahwa  Nabi Muhammad dan malaikat Jibril menuju ke langit ketujuh dengan cara  naik menggunakan tangga, kemudian berjumpa  langit yang digambarkan  seumpama langit-langit, kemudian di situ ada pintunya dan ada penjaganya.  Lalu Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad ditanya mau ke mana oleh si  penjaga langit. Dijawab oleh Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad bahwa  akan berjumpa  dengan Allah. Kalau begitu, memiliki arti Allah itu jauh sekali.  Padahal di dalam al-Quran digambarkan bahwa Allah itu dekat, dan Nabi  Muhammad mengenali itu. Allah berfirman: Dan sesungguhnya Kami sudah  bikin  insan dan mengenali apa yang dibisikkan oleh hatinya,  dan Kami lebih bersahabat kepadanya dari pada urat lehernya, (Q.S. Qâf: 16)
 
 
  Bahkan dinyatakan juga di dalam al-Quran: Dan  kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kau menghadap di  situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha  Mengetahui. (Q.S. al-Baqarah [2]: 115)
 
  
  Timur dan Barat milik Allah. Ke manapun  kita menghadap, maka kita berhadapan dengan Allah, lantaran Allah sedang  termasuk kita. Dan Rasulullah tahu persis akan hal itu. Makara untuk  berjumpa  Allah tak perlu ke Sidratil Muntaha. Dan memang Rasulullah ke  Sidratil Muntaha bukanlah untuk menemui Allah, lantaran Allah sudah  termasuk Rasulullah, juga termasuk kita semua di manapun kita berada.
  Isra’ Mi’raj itu  sebenarnya berniat menjinjing  Rasulullah ke satu posisi yang paling  tinggi untuk mengetahui betapa dahsyatnya ciptaan Allah. Untuk apakah  seluruhnya itu? Yaitu untuk memotivasi Rasulullah. Mengapakah demikian?  Karena sebelum Isra’ Mi’raj, Rasulullah sedang berada pada titik  paling rendah perjuangannya yang paling sulit, yakni di saat dijepit oleh  orang kafir dan diembargo secara ekonomi. Di momentum itu justru Allah  mewafatkan paman Rasulullah (Abi Thalib) dan mewafatkan istri Rasulullah  (Khadijah). Hal ini bukannya tidak sengaja, melainkan disengaja oleh  Allah, lantaran memang tak ada yang kebetulan di dalam kehidupan ini.
 
  
  Semuanya itu justru terjadi pada sewaktu Rasulullah berada pada titik nadir perjuangannya. Beliau berharap  memindahkan front syi’arnya ke luar kota (yaitu ke Tha’if). Beliau  berharap disambut baik oleh penduduk Tha’if, tetapi malah yang terjadi  dia dilempari kerikil hingga berdarah-darah. Maka kemudian Allah memompa  kembali semangat beliau, yakni dengan cara Isra’ Mi’raj. “Muhammad,  engkau merupakan delegasi Allah,” mungkin seumpama itulah yang ingin  disampaikan oleh Allah lewat insiden Isra’ Mi’raj tersebut.
  Ketika Rasulullah kembali dari Isra’  Mi’raj, maka setahun kemudian terjadilah titik balik perjuangannya,  yakni dia bareng  pengikutnya hijrah ke Madinah, kemudian dari  Madinah bisa menaklukkan kota Mekkah.
 
Peringatan :
 
 Demikianlah artikel isra' mi'raj .yang kami kumpulkan dari aneka macam sumber .Semoga faedah buat sehabat dan sobat sekalian . Allah yang Maha TahuPeringatan :
- Kisah isra' dan mi'raj Nabi merupakan benar lantaran yang memberitakannya merupakan Al-Quran kitab suci kita
 - Kisah mi'raj Nabi merupakan benar walau tidak kasat oleh logika kita alasannya merupakan dalam agama kebenaran yang dipakai merupakan kebenaran wahyu bukan budi yang dieksprimen dahulu , wahyu lebih tinggi dari logika
 - kebenaran isra' dan mi'raj nabi wajib di yakini dan adapun caranya Nabi muhammad dan bagaimana atau kaifiyyat Nabi keatas langit ke 7 hingga sidrotul muntaha tidak menjadi keharusan mengetahuinya . yang penting percaya dan percaya didalam hati adapun cara yang ril dan bergotong-royong wallohua'lam alasannya merupakan banyak usulan paradikma islam dalam hal ini.
 - Logikanya isra' itu benar dan logis sekali ,seperti ini . bila Nabi Muhammad merupakan milik Allah dan langit serta alam ini milik Allah dan dalam kondisi ini Allah yang menginginkan so , apa susahnya ?. Simplenya seumpama ini . bila anda punya HP kemudian kau tarok dilantai terus mau kau pindahkan ke kantong , kelemari , keatas rak buku . gak susahkan ? kenapa lantaran pemilik HP merupakan anda . coba kalau sobat anda yang punya ? mana bisa kau geser kemana sesuka hati kau .
 
 sumber : https://ceritateladanmuslim.blogspot.com//search?q=membahas-isra-miraj-nabi-muhammad