Ayat Al-Qur’An Wacana Menuntaskan Perselisihan Dengan Musyawarah Dan Ta’Aruf
Tuesday, July 21, 2020
Edit
1. Al-Qur'an Surat Ali-‘Imran Ayat 159.
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kau Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. lantaran itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kau telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah.Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali-‘Imran: 159)
Kandungan Al-Qur'an Surat Ali-‘Imran Ayat 159.
Ayat ini terkait dengan insiden Perang Uhud, dimana para sobat banyak yang meninggalkan pos-pos yang telah ditentukan dalam peperangan itu, kesudahannya umat Islam mengalami kekalahan. Peristiwa ini bahu-membahu sangat masuk akal kalau mengundang emosi insan untuk marah, Namun Nabi Muhammad Saw masih tetap menunjukkan perilaku kelemah-lembutan kepada mereka. Meskipun sebelum peperangan itu Rasulullah Saw bermusyawarah dan mendapatkan usulan-usulan tentangstrategi peperangan dari para sahabatnya, yang lantas kemudian diabaikan hasil kesepakatan itu ketika peperangan terjadi dengan meninggalkan pos-posnya masing masing.
Redaksi ayat yang disusul dengan perintah memberi maaf dan seterusnya, maka ayat ini untuk menegaskan bahwa perangai Nabi Muhammad Saw ialah perangai yang sangat luhur, tidak bersikap keras, tidak juga berhati kasar, pemaaf dan bersedia mendengar saran dari orang lain. Itu semua disebabkan lantaran rahmat Allah Swt kepadanya yang telah mendidiknya sehingga semua faktor yang sanggup mensugesti kepribadian ia disingkirkan.
Al-Qur’an mengajarkan wacana watak dalam menuntaskan suatu kasus dalam bermusyawarah yaitu mengedepankan cara-cara yang lembut dan santun, tidak berucap dan berlaku bernafsu apalagi menyakiti perasaan orang yang bermusyawarah. Sebab kalau perilaku kerasan dan bernafsu yang ditunjukkan akan menimbulkan perilaku antipati dari orang lain.
Nabi Muhammad Saw mengajarkan dan mendidik umat Islam wacana perangai yang sangat luhur dan mulia, yaitu tidak bersikap bernafsu dan tidak berhati keras, tetapi berjiwa pemaaf, dan bersedia mendengar saran dari orang lain. Dalam bermusyawarah sangat ditekankan wacana adanya kesediaan mendengar dan menghargai pendapat orang lain, dihentikan mementingkan idenya sendiri,apalagi hingga memaksa orang lain untuk mengikutinya. Kalaupun inspirasi kita itu sangat baik, tetapi disampaikan denegan cara yang bernafsu dank eras, maka pihak lain akan menolaknya, maka perlu kesabaran dan kesantunan secara sedikit demi sedikit untuk meyakinkan orang lain semoga mereka mau mendapatkan dan mengikutinya.
Kendatipun hasil musyawarah untuk menuntaskan perselisihan itu sudah dicapai, hendaklah tetap menyandarkan diri dengan bertawakkal kepada Allah Swt semoga keputusan yang telah diambil bersama itu tidak menyalahi ketentuanNya dan dimudahkan jalannya oleh Allah Swt dalam melaksanaan hasil keputusan musyawarah tersebut.
Pada ayat ini disebutkan tiga sifat dan perilaku secara berurutan disebut dan diperintahkan kepada Nabi Muhammad Saw. untuk dilaksanakan sebelum bermusyawarah. Penyebutan ketiga hal itu, walaupun dari segi konteks turunnya ayat, memiliki makna tersendiri yang berkaitan dengan Perang Uhud, namun dari segi pelaksanaan dan esensi musyawarah, ia menghiasi diri Rasulullah dan setiap orang yang melaksanakan musyawarah. Setelah itu, disebutkan lagi satu perilaku yang harus diambil sehabis adanya hasil musyawarah dan bulanya tekad.
Pertama, Seorang yang melaksanakan musyawarah, apalagi yang berada dalam posisi pemimpin, yang pertama harus ia hindari ialah tutur kata yang bernafsu serta perilaku keras kepala, lantaran kalau tidak, maka kawan musyawarah akan bertebaran pergi.
Kedua, dalam musyawarah ditekankan memberi maaf dan membuka lembaran baru. Memaafkan ialah menghapus bekas luka hati jawaban perlakuan pihak lain yang dinilai tidak wajar. Ini perlu lantaran tiada musyawarah tanpa pihak lain, sedangkan kecerahan pikiran hanya hadir bersamaan dengan sirnanya kekeruhan hati. Dalam bermusyawarah harus mempersiapkan mentalnya untuk selalu bersedia memberi maaf, lantaran boleh jadi ketika melaksanakan musyawarah terjadi perselisihan pendapat, dan bila mampir ke hati, akan mengeruhkan pikiran bahkan boleh jadi mengubah musyawarah menjadi pertengkaran dan melahirkan konflik baru.
Ketiga, yang harus mengiringi musyawarah ialah permohonan maghfirah dan ampunan Allah Swt. Hal ini dilakukan untuk mencapai hasil yang terbaik dari hasil musyawarah.
2. Al-Qur'an Surat Al-Hujurat Ayat 9 dan 13.
a. Al-Qur'an Surat Al-Hujurat Ayat 9.
"dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kau damaikan antara keduanya! Jika salah satu dari keduanya melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kau perangi hingga golongan itu kembali pada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepadaperintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan hendaklah kau berlaku adil; Sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang berlaku adil." (QS. Al-Hujurat : 9)
b. Al-Qur'an Surat Al-Hujurat Ayat 13.
"Wahai manusia, Sesungguhnya Kami membuat kau dari seorang pria dan seorang wanita dan menjadikan kau berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kau saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kau disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS. Al-Hujurat : 13)
Kandungan Al-Qur'an Surat Al-Hujurat Ayat 9 dan 13.
Setelah ayat sebelumnya berbicara wacana bagaimana menghadapi berita-berita yakni keharusan meneliti kebenarannya dan merujuk kepada sumber pertama guna mengetahui yang sebenarnya. Maka pada ayat di atas berbicara wacana perselisihan antara kaum mukminin yang antara lain disebabkan oleh adanya isu yang tidak terperinci kebenarannya.Dan kalau ada dua kelompok yang telah menyatu secara faktual atau berpotensi untuk menyatu, sedang mereka ialah dari orang-orang mukmin bertikai dalam bentuk sekecil apapun maka damaikanlah antara keduanya.
Ayat di atas memerintahkan untuk melaksanakan ishlah sebanyak 2 kali. Penyebutan yang kedua dikaitkan kata bil ‘adli, dengan adil. Penyebutan ini menunjukkan tekanan yang lebih keras lagi lantaran yang kedua telah didahului tindakan pada kelompok yang enggan mendapatkan ishlah yang pertama. Maka diminta dalam menuntaskan perselisihan tetap mengedepankan solusi keputusan yang se adil-adilnya.
Allah Swt menutup ayat ini dengan kata al-Muqshitin, yakni berarti adil. Maksudnya keadilan yang diterapkan atas dua kelompok atau lebih, keadilan yang menjadikan mereka semua senang. Kata ‘adil itu sendiri bermakna menempatkan segala sesuatu pada tempatnya walau tidak menyenangkan satu pihak. Karena itu, win win solution sanggup merupakan salah satu bentuk yang dikandung dari makna Qisth.
Allah Swt bahagia ditegakkan keadilan walau itu menimbulkan kerenggangan korelasi antara dua pihak yang berselisih. Tetapi Dia lebih bahagia lagi kalau kebenaran sanggup dicapai sekaligus membuat korelasi serasi antara pihak pihak yang tadinya telah berselisih.
Al-Qur’an (surah al-Hujurat: 13) menjelaskan wacana prinsip dasar korelasi antara manusia. Karena itu ayat di atas tidak lagi memakai panggilan yang ditujukan kepada orang-orang beriman, tetapi kepada jenis manusia. Ini untuk menegaskan bahwa semua insan derajat kemanusiaannya sama di sisi Allah Swt. Begitu juga tidak ada perbedaan nilai kemanusiaan antara pria dan perempuan.
Kesatuan asal undangan insan dengan menunjukkan kesamaan derajatkemanusiaan manusia. Tidak masuk akal seseorang berbangga dan merasa diri lebih tinggi dari yang lain, bukan saja antar satu bangsa, suku atau warna kulit dengan selainnya, tetapi antara jenis kelamin mereka.
Manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling berta’aruf (mengenal). Mengenal (ta’aruf) secara baik antar individu satu dengan individu lainnya, akan berimplikasi pada contoh korelasi yang saling menghargai dan menghormati antar sesama sehingga menimbulkan kehidupan yang dialogis dan harmonis.
Kesamaan status kemanusiaan, mendorong insan untuk berusahalah untuk meningkatkan ketaqwaan semoga menjadi yang termulia di sisi Allah Swt.
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kau Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. lantaran itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kau telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah.Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali-‘Imran: 159)
Kandungan Al-Qur'an Surat Ali-‘Imran Ayat 159.
Ayat ini terkait dengan insiden Perang Uhud, dimana para sobat banyak yang meninggalkan pos-pos yang telah ditentukan dalam peperangan itu, kesudahannya umat Islam mengalami kekalahan. Peristiwa ini bahu-membahu sangat masuk akal kalau mengundang emosi insan untuk marah, Namun Nabi Muhammad Saw masih tetap menunjukkan perilaku kelemah-lembutan kepada mereka. Meskipun sebelum peperangan itu Rasulullah Saw bermusyawarah dan mendapatkan usulan-usulan tentangstrategi peperangan dari para sahabatnya, yang lantas kemudian diabaikan hasil kesepakatan itu ketika peperangan terjadi dengan meninggalkan pos-posnya masing masing.
Redaksi ayat yang disusul dengan perintah memberi maaf dan seterusnya, maka ayat ini untuk menegaskan bahwa perangai Nabi Muhammad Saw ialah perangai yang sangat luhur, tidak bersikap keras, tidak juga berhati kasar, pemaaf dan bersedia mendengar saran dari orang lain. Itu semua disebabkan lantaran rahmat Allah Swt kepadanya yang telah mendidiknya sehingga semua faktor yang sanggup mensugesti kepribadian ia disingkirkan.
Al-Qur’an mengajarkan wacana watak dalam menuntaskan suatu kasus dalam bermusyawarah yaitu mengedepankan cara-cara yang lembut dan santun, tidak berucap dan berlaku bernafsu apalagi menyakiti perasaan orang yang bermusyawarah. Sebab kalau perilaku kerasan dan bernafsu yang ditunjukkan akan menimbulkan perilaku antipati dari orang lain.
Nabi Muhammad Saw mengajarkan dan mendidik umat Islam wacana perangai yang sangat luhur dan mulia, yaitu tidak bersikap bernafsu dan tidak berhati keras, tetapi berjiwa pemaaf, dan bersedia mendengar saran dari orang lain. Dalam bermusyawarah sangat ditekankan wacana adanya kesediaan mendengar dan menghargai pendapat orang lain, dihentikan mementingkan idenya sendiri,apalagi hingga memaksa orang lain untuk mengikutinya. Kalaupun inspirasi kita itu sangat baik, tetapi disampaikan denegan cara yang bernafsu dank eras, maka pihak lain akan menolaknya, maka perlu kesabaran dan kesantunan secara sedikit demi sedikit untuk meyakinkan orang lain semoga mereka mau mendapatkan dan mengikutinya.
Kendatipun hasil musyawarah untuk menuntaskan perselisihan itu sudah dicapai, hendaklah tetap menyandarkan diri dengan bertawakkal kepada Allah Swt semoga keputusan yang telah diambil bersama itu tidak menyalahi ketentuanNya dan dimudahkan jalannya oleh Allah Swt dalam melaksanaan hasil keputusan musyawarah tersebut.
Pada ayat ini disebutkan tiga sifat dan perilaku secara berurutan disebut dan diperintahkan kepada Nabi Muhammad Saw. untuk dilaksanakan sebelum bermusyawarah. Penyebutan ketiga hal itu, walaupun dari segi konteks turunnya ayat, memiliki makna tersendiri yang berkaitan dengan Perang Uhud, namun dari segi pelaksanaan dan esensi musyawarah, ia menghiasi diri Rasulullah dan setiap orang yang melaksanakan musyawarah. Setelah itu, disebutkan lagi satu perilaku yang harus diambil sehabis adanya hasil musyawarah dan bulanya tekad.
Pertama, Seorang yang melaksanakan musyawarah, apalagi yang berada dalam posisi pemimpin, yang pertama harus ia hindari ialah tutur kata yang bernafsu serta perilaku keras kepala, lantaran kalau tidak, maka kawan musyawarah akan bertebaran pergi.
Kedua, dalam musyawarah ditekankan memberi maaf dan membuka lembaran baru. Memaafkan ialah menghapus bekas luka hati jawaban perlakuan pihak lain yang dinilai tidak wajar. Ini perlu lantaran tiada musyawarah tanpa pihak lain, sedangkan kecerahan pikiran hanya hadir bersamaan dengan sirnanya kekeruhan hati. Dalam bermusyawarah harus mempersiapkan mentalnya untuk selalu bersedia memberi maaf, lantaran boleh jadi ketika melaksanakan musyawarah terjadi perselisihan pendapat, dan bila mampir ke hati, akan mengeruhkan pikiran bahkan boleh jadi mengubah musyawarah menjadi pertengkaran dan melahirkan konflik baru.
Ketiga, yang harus mengiringi musyawarah ialah permohonan maghfirah dan ampunan Allah Swt. Hal ini dilakukan untuk mencapai hasil yang terbaik dari hasil musyawarah.
2. Al-Qur'an Surat Al-Hujurat Ayat 9 dan 13.
a. Al-Qur'an Surat Al-Hujurat Ayat 9.
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا ۖ فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَىٰ فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّىٰ تَفِيءَ إِلَىٰ أَمْرِ اللَّهِ ۚ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا ۖ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
"dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kau damaikan antara keduanya! Jika salah satu dari keduanya melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kau perangi hingga golongan itu kembali pada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepadaperintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan hendaklah kau berlaku adil; Sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang berlaku adil." (QS. Al-Hujurat : 9)
b. Al-Qur'an Surat Al-Hujurat Ayat 13.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
"Wahai manusia, Sesungguhnya Kami membuat kau dari seorang pria dan seorang wanita dan menjadikan kau berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kau saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kau disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS. Al-Hujurat : 13)
Kandungan Al-Qur'an Surat Al-Hujurat Ayat 9 dan 13.
Setelah ayat sebelumnya berbicara wacana bagaimana menghadapi berita-berita yakni keharusan meneliti kebenarannya dan merujuk kepada sumber pertama guna mengetahui yang sebenarnya. Maka pada ayat di atas berbicara wacana perselisihan antara kaum mukminin yang antara lain disebabkan oleh adanya isu yang tidak terperinci kebenarannya.Dan kalau ada dua kelompok yang telah menyatu secara faktual atau berpotensi untuk menyatu, sedang mereka ialah dari orang-orang mukmin bertikai dalam bentuk sekecil apapun maka damaikanlah antara keduanya.
Ayat di atas memerintahkan untuk melaksanakan ishlah sebanyak 2 kali. Penyebutan yang kedua dikaitkan kata bil ‘adli, dengan adil. Penyebutan ini menunjukkan tekanan yang lebih keras lagi lantaran yang kedua telah didahului tindakan pada kelompok yang enggan mendapatkan ishlah yang pertama. Maka diminta dalam menuntaskan perselisihan tetap mengedepankan solusi keputusan yang se adil-adilnya.
Allah Swt menutup ayat ini dengan kata al-Muqshitin, yakni berarti adil. Maksudnya keadilan yang diterapkan atas dua kelompok atau lebih, keadilan yang menjadikan mereka semua senang. Kata ‘adil itu sendiri bermakna menempatkan segala sesuatu pada tempatnya walau tidak menyenangkan satu pihak. Karena itu, win win solution sanggup merupakan salah satu bentuk yang dikandung dari makna Qisth.
Allah Swt bahagia ditegakkan keadilan walau itu menimbulkan kerenggangan korelasi antara dua pihak yang berselisih. Tetapi Dia lebih bahagia lagi kalau kebenaran sanggup dicapai sekaligus membuat korelasi serasi antara pihak pihak yang tadinya telah berselisih.
Al-Qur’an (surah al-Hujurat: 13) menjelaskan wacana prinsip dasar korelasi antara manusia. Karena itu ayat di atas tidak lagi memakai panggilan yang ditujukan kepada orang-orang beriman, tetapi kepada jenis manusia. Ini untuk menegaskan bahwa semua insan derajat kemanusiaannya sama di sisi Allah Swt. Begitu juga tidak ada perbedaan nilai kemanusiaan antara pria dan perempuan.
Kesatuan asal undangan insan dengan menunjukkan kesamaan derajatkemanusiaan manusia. Tidak masuk akal seseorang berbangga dan merasa diri lebih tinggi dari yang lain, bukan saja antar satu bangsa, suku atau warna kulit dengan selainnya, tetapi antara jenis kelamin mereka.
Manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling berta’aruf (mengenal). Mengenal (ta’aruf) secara baik antar individu satu dengan individu lainnya, akan berimplikasi pada contoh korelasi yang saling menghargai dan menghormati antar sesama sehingga menimbulkan kehidupan yang dialogis dan harmonis.
Kesamaan status kemanusiaan, mendorong insan untuk berusahalah untuk meningkatkan ketaqwaan semoga menjadi yang termulia di sisi Allah Swt.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan wacana ayat Al-Qur’an wacana menuntaskan perselisihan dengan musyawarah dan ta’aruf. Sumber buku Tafsir Ilmu Tafsir Kelas XII MA Kementerian Agama Republik Indonesia, 2016. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.