Pengertian, Hukum, Dalil Dan Ketentuan Hutang Piutang Dalam Islam


1. Pengertian Hutang Piutang.
Utang piutang yaitu memperlihatkan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian bahwa dia akan mengembalikan sesuatu yang diterimanya dalam jangka waktu yang disepakati. Utang piutang disebut dengan “dain” (دين). Istilah “dain” (دين) ini juga sangat terkait dengan istilah “qard” (قرض) yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan pinjaman.

2. Hukum dan Dalil Utang Piutang.
Hukum memberi utang piutang bersifat fleksibel tergantung situasi dan kondisi, yaitu:

a. Hukum orang yang berhutang yaitu mubah (boleh) sedangkan orang yang memperlihatkan hutang hukumnya sunah lantaran ia termasuk orang yang menolong sesamanya.

b. Hukum orang yang berhutang menjadi sunah dan aturan orang yang menghutangi menjadi wajib, jikalau peminjam itu benar-benar dalam keadaan terdesak, contohnya hutang beras bagi orang yang kelaparan, hutang uang untuk biaya pengobatan dan lain sebagainya, maka Rasulullah saw bersabda :
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُضْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً (رواه ابن ماجه 

Artinya : "Tidak ada seorang muslim yang memberi santunan kepada seorang muslim dua kali kecuali seperti dia telah beramal kepadanya dua kali". (HR. Ibnu Majah)

c. Hukum memberi hutang bisa menjadi haram, contohnya memberi hutang untuk hal-hal yang dihentikan dalam pedoman Islam ibarat untuk membeli minuman keras, menyewa pelacur dan sebagainya.

Adapun yang menjadi dasar hutang piutang sanggup dilihat pada ketentuan Al-Qur’an dan Al-Hadits, dalam Al-Qur’an terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 2 yang berbunyi :

…وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ 

“…Dan tolong-menolonglah kau dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan bersama-sama dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (QS. al-Maidah : 2)

Dalam hutang piutang dihentikan memperlihatkan syarat dalam mengembalikan hutang.  Contoh : Fatimah menghutangi Ahmad Rp. 100.000,- dalam waktu 3 bulan Ahmad harus mengembalikan hutangnya menjadi Rp.110.000,-. Tambahan ini termasuk riba (tidak halal). Tetapi jikalau pemanis ini tidak disyaratkan waktu aqad tetapi sukarela dari peminjam sebagai bentuk terima kasih, maka hal ini tidak termasuk riba bahkan dianjurkan.
Rasulullah bersabda :

عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : اِسْتَقْرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِنًا فَاَعْطَى سِنًا خَيْرًا مِنْ سُنَّةِ وَقَالَ خِيَارُكُمْ اَحَاسِنُكُمْ قَضَاءً ﴿ﺮﻮﺍﻩﺍﺤﻤﺪ ﻮﺍﻠﺘﺭﻤﻴﻧﻯ ﻮﺼﺤﺤﻪ

Artinya :“Dari Abu Hurairah ia berkata Rasulullah SAW telah berhutang hewan ternak, kemudian Beliau membayar dengan hewan yang lebih besar umurnya dari hewan yang Beliau pinjam itu, dan Rasulullah bersabda : Orang yang paling baik di antara kau yaitu orang yang sanggup membayar hutangnya dengan yang lebih baik.” (HR. Ahmad At-Turmudzi dan telah menshohehkannya).

3. Beberapa Ketentuan dalam Hutang Piutang.

Dalam kehidupan bermasyarakat, sering terjadi pertikaan antar warga. Salah satu penyebabnya yaitu kurangnya pemahaman merekatentang ketentuan utang piutang yang seharusnya. Untuk menghindari perselisihan yang tidak diinginkan, maka kedua belah pihak perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Hutang piutang harus ditulis dan dipersaksikan.

Dalilnya firman Allah Swt :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ 

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kau bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kau menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kau menuliskannya dengan benar.”. (QS. Al-Baqarah: 282)

b. Pemberi hutang atau santunan tidak boleh mengambil laba atau manfaat dari orang yang berhutang.

Kaidah fikih berbunyi:

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا

Artinya: “Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”. 

Hal ini terjadi jikalau salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan.

c. Melunasi hutang dengan cara yang baik.
Hal ini sebagaimana hadits berikut ini:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – سِنٌّ مِنَ الإِبِلِ فَجَاءَهُ يَتَقَاضَاهُ فَقَالَ – صلى الله عليه وسلم – « أَعْطُوهُ » . فَطَلَبُوا سِنَّهُ ، فَلَمْ يَجِدُوا لَهُ إِلاَّ سِنًّا فَوْقَهَا . فَقَالَ « أَعْطُوهُ » . فَقَالَ أَوْفَيْتَنِى ، وَفَّى اللَّهُ بِكَ . قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً »

Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: “Nabi mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu. Orang itupun tiba menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata: “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah swt. membalas dengan setimpal”. Maka Nabi saw. bersabda, “Sebaik-baik kalian yaitu orang yang paling baik dalam pengembalian (hutang)”. (HR. Bukhari)

d. Berhutang dengan niat baik dan akan melunasinya

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ »

Dari Abu Hurairah ra., ia berkata bahwa Nabi saw. bersabda: “Barangsiapa yang mengambil harta orang lain (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya (tidak melunasinya, pent), maka Allah akan membinasakannya”. (HR. Bukhari)

e. Tidak berhutang kecuali dalam keadaan darurat atau mendesak.

Maksudnya kondisi yang mustahil lagi baginya mencari jalan selain berhutang sementara keadaan sangat mendesak, jikalau tidak akan kelaparan atau sakit yang mengantarkannya kepada kematian, atau semisalnya.

f. Jika terjadi keterlambatan lantaran kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berhutang memberitahukan kepada orang yang memperlihatkan pinjaman.

Karena hal ini termasuk belahan dari menunaikan hak yang menghutangkan. Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, lantaran akan memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai wujud kasih sayang, bermetamorfosis permusuhan dan perpecahan.

g. Bersegera melunasi hutang.

Orang yang berhutang hendaknya ia berusaha melunasi hutangnya sesegera mungkin tatkala ia telah mempunyai kemampuan untuk mengembalikan hutangnya itu. Sebab orang yang menunda-menunda pelunasan hutang padahal ia telah mampu, maka ia tergolong orang yang berbuat zhalim. Sebagaimana hadits berikut:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « مَطْلُ الْغَنِىِّ ظُلْمٌ ، فَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِىٍّ فَلْيَتْبَعْ »

Dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Memperlambat pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan zhalim. Jika salah seorang kau dialihkan kepada orang yang gampang membayar hutang, maka hendaklah beralih (diterima pengalihan tersebut)”. (HR. Bukhari Muslim). 

h. Memberikan Penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi hutangnya sesudah jatuh tempo.

Allah Swt. berfirman:

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ 

Artinya: “Dan jikalau (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh hingga dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jikalau kau Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280).

Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan ihwal pengertian hutang piutang, aturan hutang piutang, dalil hutang piutang dan ketentuan hutang piutang dalam Islam. Sumber Buku Fiqih Kelas IX MTS Kementerian Agama Republik Indonesia, 2015. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel