Sifat Al Qur’An Dalam Menetapkan Hukum

Secara kebahasaan (etimologi), kata “al Qur’an”  yaitu bentuk isim masdar dari kata “qa-ra-a”  yang berarti membaca  yaitu kata “qur-a-nan”  yang berarti  yang dibaca.

Demikian pendapat Imam Abu Hasan Ali bin Hazim (w : 215 H). Penambahan huruf  alif  dan lam  atau al, pada awal kata menunjuk pada kekhusususan perihal sesuatu yang dibaca, yaitu bacaan yang diyakini sebagai wahyu Allah SWT. Sedang penambahan  abjad alif dan nun pada simpulan kata menunjuk pada makna suatu bacaan yang paling sempurna.

Secara istilah (terminologi), para pakar Al Qur’an memperlihatkan definisi diantaranya :

Menurut Muhammad Ali Al Shobuni

"Firman Allah SWT yang mengandung mukjizat yang diturunkan kepada nabi dan rosul terakhir dengan perantaraan Jibril AS yang tertulis dalam mushafdan hingga kepada kita dengan mutawattir (bersambung )."

Adapun Sifat Al Qur’an dalam Menetapkan Hukum sebagai berikut,

a. Tidak Menyulitkan.

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“… Allah menghendaki akomodasi bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…”.(QS. Al Baqarah; 185)

b. Menyedikitkan Beban.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kau menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jikalau diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu…”(QS. Al Maidah; 101)

c. Bertahap dalam Pelaksanaanya.

Dalam mengharamkan khamr ditetapkan dalam tiga proses.

1. Menjelaskan manfaat khamar lebih kecil dibanding akhir buruknya.

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ ۖ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا ۗ وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ

“ Mereka bertanya kepadamu perihal khamardan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah membuktikan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kau berfikir.“ (QS. Al Baqarah; 219)

2. Melarang pelaku shalat dalam keadaan mabuk.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kau shalat, sedang kau dalam Keadaan mabuk, sehingga kau mengerti apa yang kau ucapkan …”.(QS. An Nisa’; 43)

3. Menegaskan aturan haram kepada khamar dan perbuatan jelek lainya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“ Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah yaitu Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu biar kau menerima keberuntungan. “(QS. Al Maidah; 90)

d. Membatasi yang Mutlak.

Kadang-kadang ayat tiba dalam bentuk mutlak, tanpa batasan-batasan yang harus dilaksanakan, ibarat ayat perihal pencurian

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Laki-laki yang mencuri dan wanita yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Maidah : 38)

Pada ayat ini kata aidiyahuma (ايديهما), padahal yang dikenal dengan istilah tangan yaitu dari ketiak hingga ibu jari, maka Rasul membatasinya dengan ucapan Beliau

“Potong tangan pencuri hingga pada pergelangan tangan.” Begitu juga keadaan barang-barang yang dicuri sehingga harus potong tangan dibatasi minimal seperempat dirham.

e. Mengkhususkan yang Umum.
Ayat-ayat al-Qur’an adakala mengandung aturan yang berlaku umum, maka Nabi Saw., menjelaskan pengecualiannya ibarat duduk kasus waris,



يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۚ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

“Allah mensyari'atkan bagimu perihal (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan  dan jikalau anak itu semuanya wanita lebih dari dua Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jikalau anak wanita itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jikalau yang meninggal itu memiliki anak; jikalau orang yang meninggal tidak memiliki anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya menerima sepertiga; jikalau yang meninggal itu memiliki beberapa saudara, Maka ibunya menerima seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sehabis dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sehabis dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kau tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih erat (banyak) keuntungannya bagimu. ini yaitu ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS. An Nisa’: 11)

Rasul menjelaskan pengecualian-pengecualianya seperti:

a. Para Nabi tidak mewarisi.
b. Anak yang membunuh orang tuanya dan anak yang  kafir tidak mewarisi.

Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan perihal Sifat Al Qur’an dalam Menetapkan Hukum. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel