Hadits Ihwal Demokrasi (Musyawarah) Dan Pengertian Demokrasi
Tuesday, July 21, 2020
Edit
Kandungan Hadits Tentang Demokrasi (Musyawarah).
Hadis Pertama:
Artinya: Auf bin Malik berkata, "Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda: "Sebaik-baik pemimpin kalian yakni orang-orang yang kalian menyayangi mereka dan mereka menyayangi kalian, kalian mendo›akan mereka dan mereka mendo›akan kalian. Sedangkan sejelek-jelek pemimpin kalian yakni kalian membenci mereka dan mereka membenci kalian, kalian mengutuk mereka dan mereka pun mengutuk kalian." Mereka berkata, "Kemudian kami bertanya, Wahai Rasulullah, tidakkah kami memerangi mereka ketika itu?" dia menjawab: "Tidak, selagi mereka mendirikan shalat bersama kalian, tidak selagi mereka masih mendirikan shalat bersama kalian. Dan barangsiapa dipimpin oleh seorang pemimpin, kemudian dia melihat pemimpinnya bermaksiat kepada Allah, hendaknya ia membenci dari perbuatannya dan janganlah ia melepas dari ketaatan kepadanya." (HR. Muslim)
Hadis Kedua.
Artinya: dari [Abu Hurairah] berkata: Ketika Nabi Saw berada dalam suatu majelis membicarakan suatu kaum, tiba-tiba datanglah seorang Arab Badui kemudian bertanya: "Kapan datangnya hari kiamat?" Namun Nabi Saw tetap melanjutkan pembicaraannya. Sementara itu sebagian kaum ada yang berkata; "beliau mendengar perkataannya akan tetapi dia tidak menyukai apa yang dikatakannya itu, " dan ada pula sebagian yang mengatakan; "bahwa dia tidak mendengar perkataannya." Hingga akhirnya Nabi Saw menuntaskan pembicaraannya, seraya berkata: "Mana orang yang bertanya perihal hari tamat zaman tadi?" Orang itu berkata: "saya wahai Rasulullah!". Maka Nabi Saw bersabda: "Apabila sudah hilang amanah maka tunggulah terjadinya kiamat". Orang itu bertanya: "Bagaimana hilangnya amanat itu?" Nabi Saw menjawab: "Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka akan tunggulah terjadinya kiamat". (HR. Bukhari)
Sebelum membahas kandungan kedua hadis di atas, terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian demokrasi dan bagaimana penerapannya dalam kehidupan. Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “demos” dan “kratos”. Demos berarti rakyat, sedangkan kratos berarti pemerintahan. Kaprikornus demokrasi berarti suatu bentuk pemerintahan yang mengikutsertakan seluruh anggota masyarakat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut soal-soal kenegaraan dan kepentingan bersama. Dengan pengakuanterhadap hak-hak rakyat ini, pemerintahan demokrasi sanggup disebut “governance from the people, by the people, for the people. Demokrasi didasarkan pada prinsip kedaulatan rakyat artinya rakyatlah yang sebenarnya berdaulat atau berkuasa, alasannya intinya semua insan mempunyai kebebasan dan hak serta kewajiban yang sama.
Padangan lain menyampaikan bahwa demokrasi yakni suatu sistem politik dan sosial yang membangun hubungan antar individu, masyarakat dan negara, serta keikutsertaan mereka secara bebas dalam menciptakan undang-undang atau aturan yang mengatur kehidupan umum yang mengacu kepada prinsip bahwa rakyat yakni pemilik kekuasaan dan sumber hukum. Dengan demikian secara istilah sanggup dikatakan bahwa demokrasi pada hakekatnya yakni suatu bentuk pemerintahan yang menganut sistem kedaulatan rakyat.
Sebagaimana telah disinggung dalam renungan pengantar, bahwa dalam Islam telah dikenal intistusi atau forum yang disebut syura atau musyawarah yang diambil dari kata syawara yang artinya meminta pendapat dan mencari kebenaran. Adapun secara terminologi atau istilah, syura atau musyawarah yakni memunculkan pendapatpendapat dari orang-orang yang berkompeten untuk hingga kepada kesimpulan yang paling tepat.
Sesungguhnya apa yang menjadi prinsip syura yakni bermusyawarah untuk mencapai mufakat (kesepakatan) pada suatu kebenaran. Syura mustahil dilakukan untuk menciptakan kesepakatan yang menyalahi ketentuan dalam agama. Dalam Islam tidak dimungkinkan orang-orang bermusyawarah untuk memutuskan apakah perkawinan sesama jenis akan dilegalkan atau disahkan, alasannya hal itu sudah menjadi aturan yang niscaya dari al-Qur’an bahwa kesepakatan nikah sesama jenis yakni haram. Inilah yang membedakan antara syura dalam Islam dengan demokrasi.
Dalam demokrasi yang dijalankan oleh negara-negara sekuler, aturan agama tidak dipertimbangkan. Sehingga dengan alasan demokrasi mereka sanggup saja menyepakati disahkannya undang-undang yang melegalkan atau menghalalkan perjudian, pelacuran, penjualan minuman keras, homoseksual, lesbian, hidup bersama tanpa pernikahan, dan lain sebagainya.
Karena itulah, beberapa ulama dan cendekiawan mengusulkan istilah yang lebih sempurna untuk diterapkan dalam masyarakat beragama, yaitu istilah Theo Democracy atau demokrasi berketuhanan. Dengan demokrasi berketuhanan ini, maka umat Islam tidak akan menciptakan kesepakatan yang melanggar pedoman Islam.
Dalam sejarah awal Islam, Nabi Muhammad Saw telah menjalankan syura dalam memutuskan aneka macam urusan. Misalnya dalam menangani musuh-musuh Islam yang dikalahkan dan menjadi tawanan dalam perang Badar. Saat itu Nabi bermusyawarah dengan Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Abu Bakar mengusulkan biar tawanan itu dikembalikan kepada keluarga mereka dengan syarat membayar tebusan.
Sedangkan Umar mengusulkan biar mereka dieksekusi mati biar di kemudian hari mereka tidak akan lagi menghina, memusuhi, dan menyerang Islam dan kaum Muslimin. Dan akhirnya Nabi mengikuti pendapat Abu Bakar. Nabi juga bermusyawarah dengan para sahabatnya mengenai apa yang harus dilakukannya terhadap Aisyah, istrinya yang telah difitnah dan dituduh telah berbuat maksiat. Akan tetapi kemudian turunlah ayat yang membebaskan Aisyah dari fitnah dan tuduhan palsu tersebut. Nabi juga bermusyawarah dalam memutuskan posisi pasukan perangnya pada ketika perang Uhud.
Kemudian Nabi mengikuti pendapat secara umum dikuasai ketika itu, dengan menempatkan pasukan pada posisi yang mereka pandang tepat. Walaupun kemudian ternyata pilihan itu salah sehingga pasukan Muslim dikalahkan oleh pasukan kafir Quraisy.
Penerapan demokrasi dalam kehidupan sehari-hari gampang dilakukan. Misalnya dalam menciptakan peraturan, atau undang-undang yang akan diberlakukan kepada seluruh warga. Hal itu sanggup dilakukan melalui musyawarah para tokoh yang mewakili seluruh warga untuk memutuskan peraturan-peraturan apa yang akan ditetapkan dan diberlakukan. Itulah yang disebut sebagai demokrasi perwakilan.
Dalam menentukan pemimpin, menyerupai bupati, walikota, gubernur, dan presiden, juga pernah dilakukan secara musyawarah oleh wakil-wakil rakyat yang ada di DPRD dan dewan perwakilan rakyat RI. Akan tetapi menurut undang-undang yang berlaku kini ini, pemilihan bupati, walikota, gubernur dan presiden dilakukan melalui pemungutan bunyi yang diikuti oleh seluruh warga yang telah memenuhi persyaratan.
Pembahasan Hadits
Pembahasan demokrasi pada penggalan ini, akan mengulas dua hadits yang juga terkait dengan kepemimpinan. Dalam hadits pertama disebutkan bahwa pemimpin yang paling baik yakni yang menyayangi dan dicintai warganya. Pemimpin yang demikian yakni pemimpin yang menyadari hak dan tanggung jawabnya. Dia menyadari bahwa rakyat telah memilihnya sebagai pemimpin, alasannya itu dia menjalankan kewajibannya terhadap rakyat. Dia tidak hanya berpikir bagaimana menarik pajak dari rakyat, tetapi juga memanfaatkan pajak itu sebaik-baiknya untuk pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dia akan membangun infrastruktur yang diharapkan menyerupai jalan raya, jembatan, pasar, rumah sakit, gedung sekolah dsb.
Pemimpin yang baik tidak hanya memikirkan bagaimana meningkatkan pendapatan tempat atau pendapatan negara dari Badan Usaha yang dimilikinya menyerupai Bank, Sarana Transportasi, Listrik, pertambangandsb. Akan tetapi juga memikirkan bagaimana menyalurkan pendapatan dipakai sebaik-baiknya untuk kemajuan bangsa.
Pemimpin yang demikian tidak hanya dicintai oleh rakyat, tetapi juga akan didoakan oleh mereka semoga berhasil menjalankan kiprah dan sukses memimpin warganya. Sebaliknya pemimpin yang baik itu pun mendoakan rakyatnya biar sanggup hidup sejahtera dibawah kepemimpinannya.
Sedangkan pemimpin yang buruk yakni pemimpin yang membenci dan dibenci oleh rakyatnya sendiri, pemimpin yang mengutuk dan dikutuk oleh rakyatnya. Hal itu mungkin saja terjadi apabila pemimpin lebih mengutamakan kepentingan langsung dan keluarganya dari pada kepentingan rakyatnya. Pendapatan tempat atau negara yang diperoleh melalui pajak dan tubuh perjuangan tidak dipakai sebagaimana mestinya, bahkan dimanipulasi dan dikorupsi.
Menghadapi pemimpin yang berlaku jahat itu, para sahabat bertanya kepada Rasulullah saw apakah boleh memerangi mereka. Rasulullah Saw. menjawab “Tidak boleh, selama pemimpin itu masih menjalankan shalat bersama kalian”.
Bahkan kemudian Rasulullah menambahkan: “siapa yang dipimpin oleh seorang pemimpin, kemudian pemimpin itu bermaksiat kepada Allah, maka dia boleh membenci perbuatannya, tetapi harus tetap taat kepadanya”.
Maksudnya yakni dalam menghadapi pemimpin yang jahat, tidak kompeten, dan bermaksiat, tidak perlu memerangi dan memberontak untuk mencopot jabatannya. Karena hal itu akan membawa kepada keadaan yang lebih buruk apabila pemimpin ini beserta para pendukungnya melaksanakan tindakan yang lebih buruk akhirnya kepada warga. Adapun jabatannya sebagai pemimpin pada akhirnya akan berhenti.
Dalam hadis lain Rasulullah Saw menganjurkan umatnya yang menghadapi pemimpin yang demikian untuk tetap menjalankan kewajiban mereka dan berdoa kepada Allah Swt untuk mendapat hak-hak mereka yang tidak diberikan oleh pemimpin.
Artinya: Dari Ibnu Mas'ud dari Nabi Saw, dia bersabda: "Sungguh akan terjadi sifat-sifat egoisme yang kalian ingkari". Mereka bertanya; "Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan untuk kami (bila zaman itu kami alami)?". Beliau menjawab: "Kalian tunaikan yang menjadi kewajiban kalian dan kalian minta kepada Allah apa yang menjadi hak kalian". (HR. Bukhari)
Kaprikornus faktor ketidaksukaan kepada pemimpin apapun penyebabnya, tidak sanggup menjadi alasan bagi rakyat untuk membangkan dari kewajiban-kewajiban mereka kepada negara menyerupai membayar pajak, mentaati aturan berlalu lintas, mematuhi undang-undang dsb. alasannya semua itu sudah dibentuk secara demokratis melalui musyawarah.
Melalui hadis kedua dikisahkan bahwa suatu ketika ketika Rasulullah saw sedang berada pada suatu majlis (pertemuan) dengan para sahabatnya, tiba-tiba tiba seorang Arab Baduy (Arab pedalaman yang hidup secara nomaden bersama ternak mereka). Orang itu bertanya “kapan datangnya الساعة ,hari kiamat?” Rasulullah menjawab bila urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah datangnya hari kiamat. Boleh jadi yang dikatakan hari tamat zaman oleh dia yakni tamat zaman kubro yakni kehancuran alam semesta, atau tamat zaman sughro yakni kehancuran lokal. Pada umumnya hadis ini dipakai untuk menggambarkan tamat zaman sughro yakni kehancuran lokal.
Kehancuran lokal itu tidak mesti berarti kehancuran secara fisik, akan tetapi sanggup juga dipahami sebagai kekacauan sosial dan ketidakteraturan organisasi masyarakat. Hal menyerupai itu sanggup terjadi apabila urusan yang menyangkut orang banyak diserahkan kepada orang yang tidak tepat, termasuk dalam hal menyerahkan kepemimpinan. Jika urusan kepemimpinan diserahkan kepada orang yang tidak sempurna maka akan timbul kehancuran dalam pengertian kekacauan sosial dan ketidakteraturan organisasi masyarakat.
Hadis Pertama:
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
Artinya: Auf bin Malik berkata, "Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda: "Sebaik-baik pemimpin kalian yakni orang-orang yang kalian menyayangi mereka dan mereka menyayangi kalian, kalian mendo›akan mereka dan mereka mendo›akan kalian. Sedangkan sejelek-jelek pemimpin kalian yakni kalian membenci mereka dan mereka membenci kalian, kalian mengutuk mereka dan mereka pun mengutuk kalian." Mereka berkata, "Kemudian kami bertanya, Wahai Rasulullah, tidakkah kami memerangi mereka ketika itu?" dia menjawab: "Tidak, selagi mereka mendirikan shalat bersama kalian, tidak selagi mereka masih mendirikan shalat bersama kalian. Dan barangsiapa dipimpin oleh seorang pemimpin, kemudian dia melihat pemimpinnya bermaksiat kepada Allah, hendaknya ia membenci dari perbuatannya dan janganlah ia melepas dari ketaatan kepadanya." (HR. Muslim)
Hadis Kedua.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ بَيْنَمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَجْلِسٍ يُحَدِّثُ الْقَوْمَ جَاءَهُ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ مَتَى السَّاعَةُ فَمَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَدِّثُ فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ سَمِعَ مَا قَالَ فَكَرِهَ مَا قَالَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ لَمْ يَسْمَعْ حَتَّى إِذَا قَضَى حَدِيثَهُ قَالَ أَيْنَ أُرَاهُ السَّائِلُ عَنْ السَّاعَةِ قَالَ هَا أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَإِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ
Artinya: dari [Abu Hurairah] berkata: Ketika Nabi Saw berada dalam suatu majelis membicarakan suatu kaum, tiba-tiba datanglah seorang Arab Badui kemudian bertanya: "Kapan datangnya hari kiamat?" Namun Nabi Saw tetap melanjutkan pembicaraannya. Sementara itu sebagian kaum ada yang berkata; "beliau mendengar perkataannya akan tetapi dia tidak menyukai apa yang dikatakannya itu, " dan ada pula sebagian yang mengatakan; "bahwa dia tidak mendengar perkataannya." Hingga akhirnya Nabi Saw menuntaskan pembicaraannya, seraya berkata: "Mana orang yang bertanya perihal hari tamat zaman tadi?" Orang itu berkata: "saya wahai Rasulullah!". Maka Nabi Saw bersabda: "Apabila sudah hilang amanah maka tunggulah terjadinya kiamat". Orang itu bertanya: "Bagaimana hilangnya amanat itu?" Nabi Saw menjawab: "Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka akan tunggulah terjadinya kiamat". (HR. Bukhari)
Sebelum membahas kandungan kedua hadis di atas, terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian demokrasi dan bagaimana penerapannya dalam kehidupan. Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “demos” dan “kratos”. Demos berarti rakyat, sedangkan kratos berarti pemerintahan. Kaprikornus demokrasi berarti suatu bentuk pemerintahan yang mengikutsertakan seluruh anggota masyarakat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut soal-soal kenegaraan dan kepentingan bersama. Dengan pengakuanterhadap hak-hak rakyat ini, pemerintahan demokrasi sanggup disebut “governance from the people, by the people, for the people. Demokrasi didasarkan pada prinsip kedaulatan rakyat artinya rakyatlah yang sebenarnya berdaulat atau berkuasa, alasannya intinya semua insan mempunyai kebebasan dan hak serta kewajiban yang sama.
Padangan lain menyampaikan bahwa demokrasi yakni suatu sistem politik dan sosial yang membangun hubungan antar individu, masyarakat dan negara, serta keikutsertaan mereka secara bebas dalam menciptakan undang-undang atau aturan yang mengatur kehidupan umum yang mengacu kepada prinsip bahwa rakyat yakni pemilik kekuasaan dan sumber hukum. Dengan demikian secara istilah sanggup dikatakan bahwa demokrasi pada hakekatnya yakni suatu bentuk pemerintahan yang menganut sistem kedaulatan rakyat.
Sebagaimana telah disinggung dalam renungan pengantar, bahwa dalam Islam telah dikenal intistusi atau forum yang disebut syura atau musyawarah yang diambil dari kata syawara yang artinya meminta pendapat dan mencari kebenaran. Adapun secara terminologi atau istilah, syura atau musyawarah yakni memunculkan pendapatpendapat dari orang-orang yang berkompeten untuk hingga kepada kesimpulan yang paling tepat.
Sesungguhnya apa yang menjadi prinsip syura yakni bermusyawarah untuk mencapai mufakat (kesepakatan) pada suatu kebenaran. Syura mustahil dilakukan untuk menciptakan kesepakatan yang menyalahi ketentuan dalam agama. Dalam Islam tidak dimungkinkan orang-orang bermusyawarah untuk memutuskan apakah perkawinan sesama jenis akan dilegalkan atau disahkan, alasannya hal itu sudah menjadi aturan yang niscaya dari al-Qur’an bahwa kesepakatan nikah sesama jenis yakni haram. Inilah yang membedakan antara syura dalam Islam dengan demokrasi.
Dalam demokrasi yang dijalankan oleh negara-negara sekuler, aturan agama tidak dipertimbangkan. Sehingga dengan alasan demokrasi mereka sanggup saja menyepakati disahkannya undang-undang yang melegalkan atau menghalalkan perjudian, pelacuran, penjualan minuman keras, homoseksual, lesbian, hidup bersama tanpa pernikahan, dan lain sebagainya.
Karena itulah, beberapa ulama dan cendekiawan mengusulkan istilah yang lebih sempurna untuk diterapkan dalam masyarakat beragama, yaitu istilah Theo Democracy atau demokrasi berketuhanan. Dengan demokrasi berketuhanan ini, maka umat Islam tidak akan menciptakan kesepakatan yang melanggar pedoman Islam.
Dalam sejarah awal Islam, Nabi Muhammad Saw telah menjalankan syura dalam memutuskan aneka macam urusan. Misalnya dalam menangani musuh-musuh Islam yang dikalahkan dan menjadi tawanan dalam perang Badar. Saat itu Nabi bermusyawarah dengan Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Abu Bakar mengusulkan biar tawanan itu dikembalikan kepada keluarga mereka dengan syarat membayar tebusan.
Sedangkan Umar mengusulkan biar mereka dieksekusi mati biar di kemudian hari mereka tidak akan lagi menghina, memusuhi, dan menyerang Islam dan kaum Muslimin. Dan akhirnya Nabi mengikuti pendapat Abu Bakar. Nabi juga bermusyawarah dengan para sahabatnya mengenai apa yang harus dilakukannya terhadap Aisyah, istrinya yang telah difitnah dan dituduh telah berbuat maksiat. Akan tetapi kemudian turunlah ayat yang membebaskan Aisyah dari fitnah dan tuduhan palsu tersebut. Nabi juga bermusyawarah dalam memutuskan posisi pasukan perangnya pada ketika perang Uhud.
Kemudian Nabi mengikuti pendapat secara umum dikuasai ketika itu, dengan menempatkan pasukan pada posisi yang mereka pandang tepat. Walaupun kemudian ternyata pilihan itu salah sehingga pasukan Muslim dikalahkan oleh pasukan kafir Quraisy.
Penerapan demokrasi dalam kehidupan sehari-hari gampang dilakukan. Misalnya dalam menciptakan peraturan, atau undang-undang yang akan diberlakukan kepada seluruh warga. Hal itu sanggup dilakukan melalui musyawarah para tokoh yang mewakili seluruh warga untuk memutuskan peraturan-peraturan apa yang akan ditetapkan dan diberlakukan. Itulah yang disebut sebagai demokrasi perwakilan.
Dalam menentukan pemimpin, menyerupai bupati, walikota, gubernur, dan presiden, juga pernah dilakukan secara musyawarah oleh wakil-wakil rakyat yang ada di DPRD dan dewan perwakilan rakyat RI. Akan tetapi menurut undang-undang yang berlaku kini ini, pemilihan bupati, walikota, gubernur dan presiden dilakukan melalui pemungutan bunyi yang diikuti oleh seluruh warga yang telah memenuhi persyaratan.
Pembahasan Hadits
Pembahasan demokrasi pada penggalan ini, akan mengulas dua hadits yang juga terkait dengan kepemimpinan. Dalam hadits pertama disebutkan bahwa pemimpin yang paling baik yakni yang menyayangi dan dicintai warganya. Pemimpin yang demikian yakni pemimpin yang menyadari hak dan tanggung jawabnya. Dia menyadari bahwa rakyat telah memilihnya sebagai pemimpin, alasannya itu dia menjalankan kewajibannya terhadap rakyat. Dia tidak hanya berpikir bagaimana menarik pajak dari rakyat, tetapi juga memanfaatkan pajak itu sebaik-baiknya untuk pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dia akan membangun infrastruktur yang diharapkan menyerupai jalan raya, jembatan, pasar, rumah sakit, gedung sekolah dsb.
Pemimpin yang baik tidak hanya memikirkan bagaimana meningkatkan pendapatan tempat atau pendapatan negara dari Badan Usaha yang dimilikinya menyerupai Bank, Sarana Transportasi, Listrik, pertambangandsb. Akan tetapi juga memikirkan bagaimana menyalurkan pendapatan dipakai sebaik-baiknya untuk kemajuan bangsa.
Pemimpin yang demikian tidak hanya dicintai oleh rakyat, tetapi juga akan didoakan oleh mereka semoga berhasil menjalankan kiprah dan sukses memimpin warganya. Sebaliknya pemimpin yang baik itu pun mendoakan rakyatnya biar sanggup hidup sejahtera dibawah kepemimpinannya.
Sedangkan pemimpin yang buruk yakni pemimpin yang membenci dan dibenci oleh rakyatnya sendiri, pemimpin yang mengutuk dan dikutuk oleh rakyatnya. Hal itu mungkin saja terjadi apabila pemimpin lebih mengutamakan kepentingan langsung dan keluarganya dari pada kepentingan rakyatnya. Pendapatan tempat atau negara yang diperoleh melalui pajak dan tubuh perjuangan tidak dipakai sebagaimana mestinya, bahkan dimanipulasi dan dikorupsi.
Menghadapi pemimpin yang berlaku jahat itu, para sahabat bertanya kepada Rasulullah saw apakah boleh memerangi mereka. Rasulullah Saw. menjawab “Tidak boleh, selama pemimpin itu masih menjalankan shalat bersama kalian”.
Bahkan kemudian Rasulullah menambahkan: “siapa yang dipimpin oleh seorang pemimpin, kemudian pemimpin itu bermaksiat kepada Allah, maka dia boleh membenci perbuatannya, tetapi harus tetap taat kepadanya”.
Maksudnya yakni dalam menghadapi pemimpin yang jahat, tidak kompeten, dan bermaksiat, tidak perlu memerangi dan memberontak untuk mencopot jabatannya. Karena hal itu akan membawa kepada keadaan yang lebih buruk apabila pemimpin ini beserta para pendukungnya melaksanakan tindakan yang lebih buruk akhirnya kepada warga. Adapun jabatannya sebagai pemimpin pada akhirnya akan berhenti.
Dalam hadis lain Rasulullah Saw menganjurkan umatnya yang menghadapi pemimpin yang demikian untuk tetap menjalankan kewajiban mereka dan berdoa kepada Allah Swt untuk mendapat hak-hak mereka yang tidak diberikan oleh pemimpin.
Artinya: Dari Ibnu Mas'ud dari Nabi Saw, dia bersabda: "Sungguh akan terjadi sifat-sifat egoisme yang kalian ingkari". Mereka bertanya; "Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan untuk kami (bila zaman itu kami alami)?". Beliau menjawab: "Kalian tunaikan yang menjadi kewajiban kalian dan kalian minta kepada Allah apa yang menjadi hak kalian". (HR. Bukhari)
Kaprikornus faktor ketidaksukaan kepada pemimpin apapun penyebabnya, tidak sanggup menjadi alasan bagi rakyat untuk membangkan dari kewajiban-kewajiban mereka kepada negara menyerupai membayar pajak, mentaati aturan berlalu lintas, mematuhi undang-undang dsb. alasannya semua itu sudah dibentuk secara demokratis melalui musyawarah.
Melalui hadis kedua dikisahkan bahwa suatu ketika ketika Rasulullah saw sedang berada pada suatu majlis (pertemuan) dengan para sahabatnya, tiba-tiba tiba seorang Arab Baduy (Arab pedalaman yang hidup secara nomaden bersama ternak mereka). Orang itu bertanya “kapan datangnya الساعة ,hari kiamat?” Rasulullah menjawab bila urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah datangnya hari kiamat. Boleh jadi yang dikatakan hari tamat zaman oleh dia yakni tamat zaman kubro yakni kehancuran alam semesta, atau tamat zaman sughro yakni kehancuran lokal. Pada umumnya hadis ini dipakai untuk menggambarkan tamat zaman sughro yakni kehancuran lokal.
Kehancuran lokal itu tidak mesti berarti kehancuran secara fisik, akan tetapi sanggup juga dipahami sebagai kekacauan sosial dan ketidakteraturan organisasi masyarakat. Hal menyerupai itu sanggup terjadi apabila urusan yang menyangkut orang banyak diserahkan kepada orang yang tidak tepat, termasuk dalam hal menyerahkan kepemimpinan. Jika urusan kepemimpinan diserahkan kepada orang yang tidak sempurna maka akan timbul kehancuran dalam pengertian kekacauan sosial dan ketidakteraturan organisasi masyarakat.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentangkandungan hadis perihal demokrasi (musyawarah) riwayat Muslim dan Bukhari serta pengertian demokrasi. Sumber buku Siswa Kelas XII MA Hadits Ilmu Hadits Kementerian Agama Republik Indonesia, 2016. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.