Pengertian 'Am (Umum), Bentuk Lafadh 'Am, Kaidah ’Am Dan Pola 'Am

1. Pengertian’Am
‘Am berdasarkan bahasa artinya merata, yang umum; dan berdasarkan istilah yakni “lafadh yang mempunyai pengertian umum, terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafadh itu “. Dengan pengertian lain, ‘am yakni kata yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas.

2. Bentuk Lafadh ’Am.
a. Lafadh   كل  (setiap) dan جميع (seluruhnya), kedua kata tersebut keduanya meliputi seluruh satuan yang tidak terbatas jumlahnya.

Misalnya firman Allah:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ

“Tiap-tiap yang berjiwa akan mati”. (QS. Ali ‘Imran (3): 185)

Hadits Nabi Saw.,

كُلُّ رَاعٍ مَسْؤُلٌ عَنْ رَعِيَتِهِ

“Setiap pemimpin diminta pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya”

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ

“ Dia-lah Allah, yang menimbulkan segala yang ada di bumi untuk kamu” (QS. Al Baqarah : 29)

b. Kata jamak (plural) yang disertai alif dan lam di awalnya.

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.” (QS. Al Baqarah : 233)

Kata al walidat dalam ayat diatas bersifat umum yang meliputi setiap yang berjulukan atau disebut ibu.

c. Kata benda tunggal yang di ma’rifatkan dengan alif-lam.

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا 

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al Baqarah : 275)

Kata al-bai’ (jual beli) dan al-riba yakni kata benda yang di ma’rifatkan dengan alif lam. Oleh sebab itu, keduanya yakni lafadh ‘am yang meliputi semua satuan-satuan yang sanggup dimasukkan kedalamnya.

d. Lafadh Asma’ al-Mawshu, Seperti ma, al-ladhi na, al-lazi dan sebagainya.

إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا ۖ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا

“ Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sesungguhnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)." (QS. An Nisa’ : 10)

e. Lafadh Asma’ al-Syart (isim-isim isyarat, kata benda untuk mensyaratkan), menyerupai kata ma, man dan sebagainya.

وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا

“dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin sebab tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diatyang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali bila mereka (keluarga terbunuh) bersedekah.” (QS. An Nisa’ : 92)

f. Isim nakirah dalam susunan kalimat nafi (negatif), menyerupai kata وَلَا جُنَاحَ  dalam ayat berikut,

وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ

“dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kau bayar kepada mereka maharnya.”  (QS. Al Mumtahanah : 10)

g. Isim mufrad yang dita’rifkan dengan alif lam jinsiyah.

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا (البقرة :۲۷۵
                                     
  “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS.al-Baqarah : 275)


Lafadz al ba’I (jual beli) dan ar riba (riba) keduanya disebut lafadz ‘am, sebab isim mufrad yang dita’rifkan dengan “al-jinsiyyah.”

h. Lafadz jama’ yang dita’rifkan dengan idhafah.

يوصيكم الله فى اولا د كم (النساء :۱۱
“ Allah mensyariatkan bagimu pembagian   warisan untuk) anak-anakmu.” (QS.an-Nisa’: 11)

Lafadz aulad yakni lafadz jama’ yang diidhafahkan dengan lafadz kum sehingga menjadi ma’rifah . oleh sebab itu lafadz tersebut dikatagorikan lafadz ‘am.

i. Isim-isim mausul menyerupai al ladzi, al ladzina, al lati, al la’I dan lain sebagainya.
Misalnya :

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

“Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kau dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah istri-istri itu) menangguhkan diri (iddah) empat bulan sepuluh hari.” (QS.al-Baqarah :234)

j. Isim-isim syarat, menyerupai man (barang siapa), maa (apa saja), ayyumaa ( yang mana saja).
Misalnya :

مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً

“Siapakah yang mau member dukungan kepada Allah dukungan yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Allah akan melipatgandakan harta kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (QS.al-Baqarah : 245)

3. Dalalah Lafadh ’Am.
Jumhur Ulama, di antaranya Syafi’iyah, beropini bahwa lafadh ‘am itu dzanniy dalalahnya atas semua satuan-satuan di dalamnya. Demikian pula, lafadh ‘am sesudah di-takhshish, sisa satuan-satuannya juga dzanniy dalalahnya, sehingga terkenallah di kalangan mereka suatu kaidah ushuliyah yang berbunyi:

مَا مِنْ عَامٍ إِلاَّ خُصِّصَ

“Setiap dalil yang ‘am harus ditakhshish”.

Oleh sebab itu, dikala lafadh ‘am ditemukan, hendaklah berusaha dicarikan pentakshisnya.

Berbeda dengan jumhur ulama’, Ulama Hanafiyah beropini bahwa lafadh ‘am itu qath’iy dalalahnya, selama tidak ada dalil lain yang mentakhshishnya atas satuan-satuannya. Karena lafadh ‘am itu dimaksudkan oleh bahasa untuk menunjuk atas semua satuan yang ada di dalamnya, tanpa kecuali. Sebagai contoh, Ulama Hanaifiyah mengharamkan memakan daging yang disembelih tanpa menyebut basmalah, sebab adanya firman Allah yang bersifat umum, yang berbunyi:

وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ

“dan janganlah kau memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah dikala menyembelihnya.” (QS. Al An’am (6) : 121)

Ayat tersebut, berdasarkan mereka, tidak sanggup ditakhshish oleh hadis Nabi yang berbunyi:

المْسْلِمُ يَذْبَحُ عَلَى اسْمِ اللهِ سَمَّى أَوْ لمَ يُسَمِّ  رواه أبو داود

“Orang Islam itu selalu menyembelih binatang atas nama Allah, baik ia benar-benar menyebutnya atau tidak.” (HR. Abu Daud)

Alasannya yakni bahwa ayat tersebut qath’iy, baik dari segi wurud (turun) maupun dalalah-nya, sedangkan hadis Nabi itu hanya dzanniy wurudnya,sekalipundzanniydalalahnya.

Ulama Syafi’iyah membolehkan, alasannya bahwa ayat itu sanggup ditakhshish dengan hadis tersebut. Karena dalalah kedua dalil itu sama-sama dzanniy. Lafadh ‘am pada ayat itu dzanniy dalalahnya, sedang hadis itu dzanniy pula wurudnya dari Nabi Muhammad SAW.

4. Kaidah-kaidah Lafadh ’Am.
1.عَامٌ يُرَادُ بِهِ العُمُـوْمَ (Lafadh ‘Am yang dikehendaki keumumannya), sebab ada dalil atau indikasi yang menawarkan tertutupnya kemungkinan ada takhshish (pengkhususan). Misalnya:

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۚ كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

"Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui daerah berdiam binatang itu dan daerah penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang faktual (Lauhmahfuz)." (QS. Hud :6).

Yang dimaksud yakni seluruh jenis binatang melata, tanpa terkecuali.

2.العَـامُ يُرَادُ بِهِ الخُصُـوْصُ (Lafadh ‘Am tetapi yang dimaksud yakni makna khusus), sebab ada indikasi yang menawarkan makna menyerupai itu. Contohnya:

مَا كَانَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ وَمَنْ حَوْلَهُمْ مِنَ الْأَعْرَابِ أَنْ يَتَخَلَّفُوا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ وَلَا يَرْغَبُوا بِأَنْفُسِهِمْ عَنْ نَفْسِهِ

“Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih menyayangi diri mereka daripada menyayangi diri Rasul. “ (QS. At Taubah: 120).

Yang dimaksud ayat tersebut bukan seluruh penduduk Mekah, tetapi hanya orang-orang yang mampu.

3.عَـامٌ مَخْصُـوْصٌ(Lafadh ‘Am yang mendapatkan pengkhususan), ialah lafadh ‘am yang tidak disertai karinah ia mustahil dikhususkan dan tidak ada pula karinah yang meniadakan tetapnya atau keumumannya. Tidak ada qarinah lafadh atau logika atau ‘urf yang memastikannya umum atau khusus.

Lafadh ‘am menyerupai ini dzahirnya menawarkan umum hingga ada dalil pengkhususannya.
Contoh:  Firman Allah Swt.

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.” (QS. Al Baqarah : 228).

Lafadh ‘Am dalam ayat tersebut yakni al-muthallaqat (wanita-wanita yang ditalak), terbebas dari indikasi yang menawarkan bahwa yang dimaksud yakni makna umum atau sebagian cakupannya.

Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan wacana pengertian  'am (umum), bentuk lafadh 'am, kaidah ’am dan pola 'am. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel