Pemikiran Muhammad Abduh Ihwal Alam, Manusia, Akal, Wahyu, Kebebasan Manusia, Perbuatan Ilahi Dan Iman
Tuesday, July 21, 2020
Edit
Pemikiran Kalam Muhammad Abduh Tentang Alam, Manusia, Akal, Wahyu, Kebebasan Manusia dan Fatalisme, Perbuatan Tuhan dan Iman.
A. Alam.
Alam dalam pandangan Muhammad Abduh terbagi atas dua, yaitu alam abstrak, dan alam nyata. Alam abstrak ialah alam yang tidak sanggup dijelaskan apalagi dilihat oleh panca indera. Dalam alam abnormal juga terdapat alam gaib, akan tetapi alam mistik berbeda dengan alam abnormal itu sendiri (kehidupan sehabis meninggal); Sedangkan alam nyata atau alam fisik merupakan alam yang sanggup dilihat dengan panca indera. Alam fisik dilihat dari kedudukannya terbagi menjadi tiga, yaitu;
1. Alam tumbuh-tumbuhan, yang mempunyai kekerabatan dengan dewa melalui penciptaan dan penerimaan hayat;
2. Alam hewan, yang mempunyai kekerabatan dengan dewa melalui penciptaan, penerimaan hayat, dan insting;
3. Alam manusia, yang mempunyai kekerabatan dengan dewa melalui penciptaan, penerimaan hayat, insting, dan wahyu;
B. Manusia.
Manusia sebagaimana dijelaskan sebelumnya yakni mempunyai keunggulan dibandingkan dengan makhluk lainnya, hal ini dikarenakan insan diberikan wahyu oleh tuhan. Akan tetapi, Muhammad Abduh menyampaikan antara insan satu dengan yang lainnya sanggup dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Manusia awam, yaitu insan yang tidak bisa memakai akalnya secara maksimal atau insan yang hanya dianugrahi nalar secara seherhana oleh tuhan. Sehingga pemahaman wacana wahyu sebatas sebagai informasi.
2. Manusia khawas, yaitu insan yang dianugrahi oleh dewa memilki kelebihan nalar atau insan yang bisa memakai nalar secara maksimal. Sehingga pemahaman wacana wahyu selain sebagai informasi juga sebagai konfirmasi.
C. Akal.
Ada dua dilema pokok yang menjadi fokus utama pedoman Abduh terkait akal, sebagaimana diakuinya sendiri, yaitu:
1. Membebaskan nalar pedoman dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana halnya salaf al-ulama (ulama sebelum era ke-3 hijriah), sebelum timbulnya perpecahan yakni memahami eksklusif dari sumber pokoknya, al-Qur’an.
2. Memperbaiki gaya bahasa arab, baik yang dipakai dalam percakapan resmi di pemerintahan maupun dalam tulisan-tulisan media massa.
Dua dilema pokok itu muncul dikala melihat perkembangan umat islam yang sebagaimana dijelaskan Sayyid Qutub, kondisi umat islam sanggup digambarkan sebagai suatu masyarakat yang beku, kaku, menutup rapat-rapat pintu ijtihad, mengabaikan peranan nalar dalam memahami syari’at Allah atau istinbath hukum-hukum, alasannya ialah mereka telah merasa cukup dengan hasil karya pendahulunya yang juga hidup dalam masa kebekuan nalar (jumud) serta yang berdasarkan khurafat-khurafat.
Baca Juga :
Atas dasar kedua fokus pikirannya itu, Muhammad Abduh menunjukkan perhatian lebih kepada nalar bahkan lebih tinggi daripada yang diberikan mu’tazilah. Adapun berdasarkan Abduh nalar sanggup mengetahui hal-hal berikut ini, yaitu:
1. Tuhan dan sifat-sifatnya.
2. Keberadaan hidup di akhirat.
3. Kebahagiaan jiwa di darul abadi bergantung pada upaya mengenal dewa dan berbuatbaik, sedangkan kesengsaraanya bergantung pada perilaku tidak mengenal dewa dan melaksanakan perbuatan jahat.
1. Kewajiban insan mengenal tuhan.
2. Kewajiban insan untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiaan di akhirat.
3. Hukum-hukum mengenai kewajiban itu.
Abduh berpandangan bahwa Islam ialah agama pertama yang mengikat persaudaraan antara nalar dan agama. Selain itu juga memandang bahwa salah satu dasar Islam ialah dengan penggunaan akal. Seseorang akan mempunyai iktikad yang tepat jika didukung oleh akal. Karena nalar difungsikan sebagai alat atau perjuangan untuk mengenal tuhan.
D. Wahyu.
Manusia sebagaimana telah disinggung, yakni hidup di alam fisik. Tetapi dikala jiwa insan meninggalkan badan maka badan akan mati dan jiwa tersebut akan hidup kembali, walaupun dengan bentuk atau wujud yang lain di dalam kehidupan alam gaib. Abduh menitikberatkan pendapatnya terkait wahyu sebagai fungsi, yang terdiri atas sebagaimana berikut:
1. Mengetahui keadaan kehidupan insan di alam fisik, yakni menolong nalar dalam mengatur masyarakat melalui prinsip-prinsip umum yang dibawakan oleh wahyu yakni mengatur insan untuk hidup tenang dan menumbuhkan rasa cinta sebagai dasar ketentraman, dan membawa syariat yang mendorong insan untuk menjalankannya, mirip kejujuran, kebenaran, bertanggungjawab, menempati janji, dan lainnya;
2. Mengetahui kehidupan alam akhirat, yakni mengetahui akan adanya kehidupan kedua sehabis meninggal, dan mengetahui bahwa jiwa akan tetap hidup sehabis meninggalkan tubuh;
3. Menolong nalar dalam menyempurnakan pengetahuan-nya, yakni pengetahuan wacana tuhan, sifat-sifat tuhan, kewajiban-kewajiban insan pada tuhan, kebaikan, dan kejahatan;
4. Menguatkan pendapat nalar melalui kesakralan dan keabsolutan yang dimiliki oleh wahyu;
Secara umum, Abduh berpandangan bahwa wahyu berfungsi untuk memperkuat atau sebagai konfirmasi atas yang diketahui oleh nalar itu sendiri, dan wahyu sebagaiinformasi (memberitahu) wacana yang tidak sanggup diketahui atau dijangkau oleh akal. Sehingga bagi Abduh wahyu ialah penolong (al-mu’in) nalar itu sendiri.
E. Kebebasan Manusia dan Fatalisme.
Pandangan Abduh wacana kebebasan insan memandang bahwa insan mempunyai daya pikir, dan mempunyai kebebasan menentukan sebagai sifat dasar alami yang dimiliki. Manusia melalui nalar sehingga bisa mempertimbangkan sendiri jawaban perbuatannya, kemudian mengambil keputusan melalui kemampuannya dan selanjutnya akan mewujudkan perbuatannya dengan daya yang ada dalam dirinya.
Secara umum Abduh menyampaikan insan berdasarkan sunnahtullah yang mempunyai kemampuan berpikir, maka segala daya, perbuatan, dan kemauan insan berasal dari diri insan itu sendiri. Tetapi kebebasan yang dimiliki tidak bersifat diktatorial (tidak mutlak/ ada batasannya), dan menyebut sebagai orang yang takabur dan arogan dikala mengaku mempunyai kebebasan mutlak.
F. Sifat-sifat Tuhan.
Muhammad Abduh berbicara terkait sifat-sifat dewa dalam karyanya yaitu risalah al-Tauhid. Akan tetapi dalam karyanya tersebut tidak dijelaskan secara terang dan tegas pendapatnya terkait sifat tuhan. Yaitu, apakah sifat dewa itu esensi atau esensi lain dari sifat tuhan, dan apakah sifat itu abadi atau tidak kekal. Akan tetapi, Abduh lebih terlihat sebagai seorang yang menunjukkan tanggapan atas penjelasanpenjelasan yang diberikan oleh ulama kalam terkait sifat-sifat tuhan.
Muhammad Abduh berkaitan wacana sifat-sifat dewa menyampaikan sebagaimana berikut:
1. Kehendak Mutlak Tuhan.
Hukum alam atau sunnatulllah yang diberikan dewa kepada insan menimbulkan insan mempunyai kebebasan dan kemampuan dalam melaksanakan dan mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Melaui sunnatullah yang ditetapkan itu pula dewa membatasi kehendaknya. Artinya melalui sunnatullah yang diciptakanNya dalam mengatur alam, dewa melalui kemauanNya sendiri telah membatasi kehendakNya.
2. Keadilan Tuhan.
Muhammad Abduh memandang keadilan dewa bukan hanya dari segi kemahasempurnaanNya, tetapi juga dari pedoman rasional manusia. Bahwa alam diciptakan untuk kepentingan insan dan tidak ada ciptaan dewa yang tidak membawa manfaat bagi manusia. Adapun masalah ketidakadilan tidakdapat diberikan kepada dewa alasannya ialah tidak sejalan dengan kesempurnaan aturan alam semesta.
3. Antrofomorfisme.
Abduh yang menunjukkan kekuatan besar pada nalar beropini bahwa mustahil esensi dan sifat-sifat dewa mengambil bentuk badan atau ruh mahluk di alam ini. Karena dewa termasuk ke dalam alam ruhani, rasio tidak sanggup mendapatkan paham bahwa dewa mempunyai sifat-sifat jasmani. Secara tidak eksklusif Abduh menyampaikan bahwa kata-kata wajah, tangan, duduk dan sebagainya mesti dipahami sesuai dengan pengertian yang diberikan secara majazi (pengandaian) yang terkenal dikalangan masyarakat Arab. Dengan demikian, kata al-‘Arsy dalam al-Qur’an berarti kerajaan atau kekuasaan, kata al-Kursy berarti pengetahuan.
4. Melihat Tuhan.
Muhammad Abduh menyebutkan bahwa orang yang percaya pada tanzih (keyakinan bahwa tidak ada suatupun dari makhluk yang mirip tuhan) bahwa dewa tidak sanggup dilukiskan dengan gambar ataupun dijelaskan melalui kata-kata. Di akhirat, dewa akan menganugerahi orang-orang tertentu untuk melihat diriNya. Akan tetapi Muhammad Abduh tidak menjelaskan bahwa dewa yang bersifat ruhani, dihari perhitungan kelak sanggup dilihat melalui panca indera manusia.
5. Firman Tuhan.
Firman atau sabda dewa bagi Abduh tidak sanggup menjadi sifat tuhan, dan tidak sanggup diartikan lebih dari kata-kata yang diucapkan melalui lidah. Sehingga Abduh menyampaikan bahwa firman ialah ciptaan dan tidak qadim, sebagaimana pandangan mu’tazilah. Fungsi sabda atau firman dewa ialah sebagai pembimbing insan dalam menuju kesempurnaan.
G. Perbuatan Tuhan.
Pemikiran Abduh sejalan dengan pedoman mu’tazilah terkait perbuatan tuhan, bahwa dewa mempunyai kewajiban pada insan alasannya ialah sejalan dengan sunatullah yang diciptakanNya. Tuhan juga melaksanakan perbuatan baik pada manusia, dengan merujuk pada konsepnya wacana keadilan tuhan. Abduh juga mengungkapkan melalui perbuatan baik dewa pada manusia, maka dewa tidak akan menunjukkan beban insan di luar kemampuan.
Akal insan mempunyai keterbatasan alasannya ialah itu dewa wajib mengirim rasul sehingga insan sanggup menyempurnakan pengetahuannya. Selain itu dewa pastimenempati janji dan ancamanNya, alasannya ialah dikala tidak dilakukan berarti dewa tidak tepat dan ini menjadi bertentangan.
H. Iman.
Abduh menyampaikan iktikad ialah ‘ilm (pengetahuan), i’tikad (kepercayaan), atau yaqin (keyakinan). Artinya pengetahuan yang dihasilkan nalar melalui argumenargumen berpengaruh dan membawa jiwa seseorang menjadi tunduk dan menyerah.
Selain itu, Abduh memandang bahwa iktikad terdiri atas dua bentuk yaitu, pertama iman taqlidi ialah iktikad tradisional yang diterima turun temurun dari nenek moyang dan dimiliki oleh golongan insan awam; Kedua iman haqiqi ialah iktikad sebenarnya, yang mempunyai kesanggupan untuk mengetahui dewa dan alam mistik dan dimiliki oleh golongan insan khawas;
A. Alam.
Alam dalam pandangan Muhammad Abduh terbagi atas dua, yaitu alam abstrak, dan alam nyata. Alam abstrak ialah alam yang tidak sanggup dijelaskan apalagi dilihat oleh panca indera. Dalam alam abnormal juga terdapat alam gaib, akan tetapi alam mistik berbeda dengan alam abnormal itu sendiri (kehidupan sehabis meninggal); Sedangkan alam nyata atau alam fisik merupakan alam yang sanggup dilihat dengan panca indera. Alam fisik dilihat dari kedudukannya terbagi menjadi tiga, yaitu;
1. Alam tumbuh-tumbuhan, yang mempunyai kekerabatan dengan dewa melalui penciptaan dan penerimaan hayat;
2. Alam hewan, yang mempunyai kekerabatan dengan dewa melalui penciptaan, penerimaan hayat, dan insting;
3. Alam manusia, yang mempunyai kekerabatan dengan dewa melalui penciptaan, penerimaan hayat, insting, dan wahyu;
B. Manusia.
Manusia sebagaimana dijelaskan sebelumnya yakni mempunyai keunggulan dibandingkan dengan makhluk lainnya, hal ini dikarenakan insan diberikan wahyu oleh tuhan. Akan tetapi, Muhammad Abduh menyampaikan antara insan satu dengan yang lainnya sanggup dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Manusia awam, yaitu insan yang tidak bisa memakai akalnya secara maksimal atau insan yang hanya dianugrahi nalar secara seherhana oleh tuhan. Sehingga pemahaman wacana wahyu sebatas sebagai informasi.
2. Manusia khawas, yaitu insan yang dianugrahi oleh dewa memilki kelebihan nalar atau insan yang bisa memakai nalar secara maksimal. Sehingga pemahaman wacana wahyu selain sebagai informasi juga sebagai konfirmasi.
C. Akal.
Ada dua dilema pokok yang menjadi fokus utama pedoman Abduh terkait akal, sebagaimana diakuinya sendiri, yaitu:
1. Membebaskan nalar pedoman dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana halnya salaf al-ulama (ulama sebelum era ke-3 hijriah), sebelum timbulnya perpecahan yakni memahami eksklusif dari sumber pokoknya, al-Qur’an.
2. Memperbaiki gaya bahasa arab, baik yang dipakai dalam percakapan resmi di pemerintahan maupun dalam tulisan-tulisan media massa.
Dua dilema pokok itu muncul dikala melihat perkembangan umat islam yang sebagaimana dijelaskan Sayyid Qutub, kondisi umat islam sanggup digambarkan sebagai suatu masyarakat yang beku, kaku, menutup rapat-rapat pintu ijtihad, mengabaikan peranan nalar dalam memahami syari’at Allah atau istinbath hukum-hukum, alasannya ialah mereka telah merasa cukup dengan hasil karya pendahulunya yang juga hidup dalam masa kebekuan nalar (jumud) serta yang berdasarkan khurafat-khurafat.
Baca Juga :
Atas dasar kedua fokus pikirannya itu, Muhammad Abduh menunjukkan perhatian lebih kepada nalar bahkan lebih tinggi daripada yang diberikan mu’tazilah. Adapun berdasarkan Abduh nalar sanggup mengetahui hal-hal berikut ini, yaitu:
1. Tuhan dan sifat-sifatnya.
2. Keberadaan hidup di akhirat.
3. Kebahagiaan jiwa di darul abadi bergantung pada upaya mengenal dewa dan berbuatbaik, sedangkan kesengsaraanya bergantung pada perilaku tidak mengenal dewa dan melaksanakan perbuatan jahat.
1. Kewajiban insan mengenal tuhan.
2. Kewajiban insan untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiaan di akhirat.
3. Hukum-hukum mengenai kewajiban itu.
Abduh berpandangan bahwa Islam ialah agama pertama yang mengikat persaudaraan antara nalar dan agama. Selain itu juga memandang bahwa salah satu dasar Islam ialah dengan penggunaan akal. Seseorang akan mempunyai iktikad yang tepat jika didukung oleh akal. Karena nalar difungsikan sebagai alat atau perjuangan untuk mengenal tuhan.
D. Wahyu.
Manusia sebagaimana telah disinggung, yakni hidup di alam fisik. Tetapi dikala jiwa insan meninggalkan badan maka badan akan mati dan jiwa tersebut akan hidup kembali, walaupun dengan bentuk atau wujud yang lain di dalam kehidupan alam gaib. Abduh menitikberatkan pendapatnya terkait wahyu sebagai fungsi, yang terdiri atas sebagaimana berikut:
1. Mengetahui keadaan kehidupan insan di alam fisik, yakni menolong nalar dalam mengatur masyarakat melalui prinsip-prinsip umum yang dibawakan oleh wahyu yakni mengatur insan untuk hidup tenang dan menumbuhkan rasa cinta sebagai dasar ketentraman, dan membawa syariat yang mendorong insan untuk menjalankannya, mirip kejujuran, kebenaran, bertanggungjawab, menempati janji, dan lainnya;
2. Mengetahui kehidupan alam akhirat, yakni mengetahui akan adanya kehidupan kedua sehabis meninggal, dan mengetahui bahwa jiwa akan tetap hidup sehabis meninggalkan tubuh;
3. Menolong nalar dalam menyempurnakan pengetahuan-nya, yakni pengetahuan wacana tuhan, sifat-sifat tuhan, kewajiban-kewajiban insan pada tuhan, kebaikan, dan kejahatan;
4. Menguatkan pendapat nalar melalui kesakralan dan keabsolutan yang dimiliki oleh wahyu;
Secara umum, Abduh berpandangan bahwa wahyu berfungsi untuk memperkuat atau sebagai konfirmasi atas yang diketahui oleh nalar itu sendiri, dan wahyu sebagaiinformasi (memberitahu) wacana yang tidak sanggup diketahui atau dijangkau oleh akal. Sehingga bagi Abduh wahyu ialah penolong (al-mu’in) nalar itu sendiri.
E. Kebebasan Manusia dan Fatalisme.
Pandangan Abduh wacana kebebasan insan memandang bahwa insan mempunyai daya pikir, dan mempunyai kebebasan menentukan sebagai sifat dasar alami yang dimiliki. Manusia melalui nalar sehingga bisa mempertimbangkan sendiri jawaban perbuatannya, kemudian mengambil keputusan melalui kemampuannya dan selanjutnya akan mewujudkan perbuatannya dengan daya yang ada dalam dirinya.
Secara umum Abduh menyampaikan insan berdasarkan sunnahtullah yang mempunyai kemampuan berpikir, maka segala daya, perbuatan, dan kemauan insan berasal dari diri insan itu sendiri. Tetapi kebebasan yang dimiliki tidak bersifat diktatorial (tidak mutlak/ ada batasannya), dan menyebut sebagai orang yang takabur dan arogan dikala mengaku mempunyai kebebasan mutlak.
F. Sifat-sifat Tuhan.
Muhammad Abduh berbicara terkait sifat-sifat dewa dalam karyanya yaitu risalah al-Tauhid. Akan tetapi dalam karyanya tersebut tidak dijelaskan secara terang dan tegas pendapatnya terkait sifat tuhan. Yaitu, apakah sifat dewa itu esensi atau esensi lain dari sifat tuhan, dan apakah sifat itu abadi atau tidak kekal. Akan tetapi, Abduh lebih terlihat sebagai seorang yang menunjukkan tanggapan atas penjelasanpenjelasan yang diberikan oleh ulama kalam terkait sifat-sifat tuhan.
Muhammad Abduh berkaitan wacana sifat-sifat dewa menyampaikan sebagaimana berikut:
1. Kehendak Mutlak Tuhan.
Hukum alam atau sunnatulllah yang diberikan dewa kepada insan menimbulkan insan mempunyai kebebasan dan kemampuan dalam melaksanakan dan mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Melaui sunnatullah yang ditetapkan itu pula dewa membatasi kehendaknya. Artinya melalui sunnatullah yang diciptakanNya dalam mengatur alam, dewa melalui kemauanNya sendiri telah membatasi kehendakNya.
2. Keadilan Tuhan.
Muhammad Abduh memandang keadilan dewa bukan hanya dari segi kemahasempurnaanNya, tetapi juga dari pedoman rasional manusia. Bahwa alam diciptakan untuk kepentingan insan dan tidak ada ciptaan dewa yang tidak membawa manfaat bagi manusia. Adapun masalah ketidakadilan tidakdapat diberikan kepada dewa alasannya ialah tidak sejalan dengan kesempurnaan aturan alam semesta.
3. Antrofomorfisme.
Abduh yang menunjukkan kekuatan besar pada nalar beropini bahwa mustahil esensi dan sifat-sifat dewa mengambil bentuk badan atau ruh mahluk di alam ini. Karena dewa termasuk ke dalam alam ruhani, rasio tidak sanggup mendapatkan paham bahwa dewa mempunyai sifat-sifat jasmani. Secara tidak eksklusif Abduh menyampaikan bahwa kata-kata wajah, tangan, duduk dan sebagainya mesti dipahami sesuai dengan pengertian yang diberikan secara majazi (pengandaian) yang terkenal dikalangan masyarakat Arab. Dengan demikian, kata al-‘Arsy dalam al-Qur’an berarti kerajaan atau kekuasaan, kata al-Kursy berarti pengetahuan.
4. Melihat Tuhan.
Muhammad Abduh menyebutkan bahwa orang yang percaya pada tanzih (keyakinan bahwa tidak ada suatupun dari makhluk yang mirip tuhan) bahwa dewa tidak sanggup dilukiskan dengan gambar ataupun dijelaskan melalui kata-kata. Di akhirat, dewa akan menganugerahi orang-orang tertentu untuk melihat diriNya. Akan tetapi Muhammad Abduh tidak menjelaskan bahwa dewa yang bersifat ruhani, dihari perhitungan kelak sanggup dilihat melalui panca indera manusia.
5. Firman Tuhan.
Firman atau sabda dewa bagi Abduh tidak sanggup menjadi sifat tuhan, dan tidak sanggup diartikan lebih dari kata-kata yang diucapkan melalui lidah. Sehingga Abduh menyampaikan bahwa firman ialah ciptaan dan tidak qadim, sebagaimana pandangan mu’tazilah. Fungsi sabda atau firman dewa ialah sebagai pembimbing insan dalam menuju kesempurnaan.
G. Perbuatan Tuhan.
Pemikiran Abduh sejalan dengan pedoman mu’tazilah terkait perbuatan tuhan, bahwa dewa mempunyai kewajiban pada insan alasannya ialah sejalan dengan sunatullah yang diciptakanNya. Tuhan juga melaksanakan perbuatan baik pada manusia, dengan merujuk pada konsepnya wacana keadilan tuhan. Abduh juga mengungkapkan melalui perbuatan baik dewa pada manusia, maka dewa tidak akan menunjukkan beban insan di luar kemampuan.
Akal insan mempunyai keterbatasan alasannya ialah itu dewa wajib mengirim rasul sehingga insan sanggup menyempurnakan pengetahuannya. Selain itu dewa pastimenempati janji dan ancamanNya, alasannya ialah dikala tidak dilakukan berarti dewa tidak tepat dan ini menjadi bertentangan.
H. Iman.
Abduh menyampaikan iktikad ialah ‘ilm (pengetahuan), i’tikad (kepercayaan), atau yaqin (keyakinan). Artinya pengetahuan yang dihasilkan nalar melalui argumenargumen berpengaruh dan membawa jiwa seseorang menjadi tunduk dan menyerah.
Selain itu, Abduh memandang bahwa iktikad terdiri atas dua bentuk yaitu, pertama iman taqlidi ialah iktikad tradisional yang diterima turun temurun dari nenek moyang dan dimiliki oleh golongan insan awam; Kedua iman haqiqi ialah iktikad sebenarnya, yang mempunyai kesanggupan untuk mengetahui dewa dan alam mistik dan dimiliki oleh golongan insan khawas;
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan wacana pedoman Muhammad Abduh wacana Alam, manusia, akal, wahyu, kebebasan insan dan fatalisme, perbuatan dewa dan iman. Sumber buku Siswa Kelas XII MA Ilmu Kalam Kementerian Agama Republik Indonesia, 2016. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.