Macam-Macam Hadis Ditinjau Dari Segi Kuantitas Dan Kualitas
Tuesday, July 21, 2020
Edit
Hadis dari satu segi sanggup dibagi menjadi dua, yaitu secara kuantitas dan kualitas. Yang dimaksud segi kuantitasnya ialah penggolongan hadis ditinjau dari banyaknya rawi yang meriwayatkan hadis. Sedangkan hadis berdasarkan kualitasnya ialah penggolongan hadis dilihat dari aspek diterima atau ditolaknya.
1. Hadis Ditinjau dari Segi Kuantitas.
Dalam menransmisikan hadis, Nabi Muhammad Saw. terkadang berhadapan eksklusif dengan sobat yang jumlahnya sangat banyak lantaran pada dikala itu nabi sedang menunjukkan khutbah di hadapan kaum Muslimin, kadang hanya beberapa sahabat, bahkan juga bisa terjadi hanya satu atau dua orang sobat saja. Demikian itu terus terjadi dari sobat ke tabi’in hingga pada generasi yang menghimpun hadis dalam banyak sekali kitab. Dan sudah barang tentu gosip yang dibawa oleh banyak rawi lebih meyakinkan apabila dibandingkan dengan gosip yang dibawa oleh satu atau dua orang rawi saja. Dari sinilah, para jago hadis membagi hadis berdasarkan jumlah rawinya.
a. Hadis Mutawatir.
Kata Mutawatir secara etimologi berarti Muttabi’ atau yang artinya yang tiba beturut-turut dan tidak ada jarak. Sedangkan secara terminologi hadis mutawatir adalah,
“Hadis mutawatir ialah hadis yang merupakan balasan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang berdasarkan kebiasaan tidak mungkin mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta.”
Menurut Khatib al-Bagdadi, hadis mutawatir ialah suatu hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dengan jumlah tertentu yang berdasarkan kebiasaan tidak mungkin bersepakat untuk berdusta. Dan sebelum al-Bagdadi berdasarkan imam Syafi’i, ia telah mengemukakan istilah hadis mutawatir dengan istilah khabar al-‘ammah.
Ada ulama yang menunjukan hadis mutawatir dengan terang dan terperinci yaitu Ibnu Hajar al-Asqalani. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, hadis mutawatir yaitu hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang tidak mungkin melaksanakan janji untuk berdusta. Mereka itulah yang meriwayatkan hadis dari awal hingga simpulan sanad.
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama wacana ketentuan batas minimal berapa jumlah rawi pada hadis mutawatir. Menurut Abu Gayyib ialah sekurang-kurangnya ada 4 orang pada tiap tabaqah (tingkatan) rawinya. Imam Syafi’i mengemukakan paling sedikit (minimal) 5 orang pada tiap habaqah. Ada juga ulama lain yang memilih paling sedikit 20 orang pada tiap habaqah. Ada juga pendapat yang keras dari sebagian ulama’ bahwa mereka memilih hadis mutawatir harus memenuhi syarat 40 rawi pada tiap-tiap habaqah (tingkatan).
Perbedaan pendapat di atas akan kuat pada kedudukan suatu hadis. karena, niscaya setiap jago hadis berbeda pula dalam melihat sebuah hadis, apakah mutawatir atau tidak. Contohnya Ibnu Hibban dan al-Hazimi beropini bahwa hadis mutawatir mungkin jadi tidak ada, kalau hadis mutawatir syarat-syaratnya sangat ketat. Namun berdasarkan Ibnu alah, hadis mutawatir tetap ada namun jumlahnya tidak banyak.
Hadis mutawatir terbagi menjadi dua macam; pertama, mutawatir lafdzi, kedua, mutawatir ma’na.
Mutawatir lafdzi yaitu hadis mutawatir yang diriwayatkan oleh rawi yang banyak dan mencapai syarat-syarat mutawatir dengan redaksi dan makna hadis yang sama antara riwayat satu dan riwayat yang lain. Sedangkan mutawatir ma’na yaitu hadis yang mempunyai tingkat derajat mutawatir namun susunan redaksinya berbeda antara yang diriwayatkan satu rawi dengan rawi yang lain, namun isi kandungan maknanya sama.
Menurut pendapat para ulama jago hadis, bahwa dihentikan ada keraguan sedikit pun dalam menggunakan hadis mutawatir. Hadis mutawatir harus diyakini dan dipercayai dengan sepenuh hati. Hal ini sama halnya dengan pengetahuan kita wacana adanya udara, angin, panas, dingin, air, api dan jiwa, yang tanpa membutuhkan penelitian ulang kita sudah percaya akan keberadaannya. Jadi, dengan kata lain nahwa aturan hadis mutawatir ialah bersifat qat’i (pasti).
b. Hadis Ahad.
Yang dimaksud hadis ahad yaitu hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua, tiga orang atau lebih namun tidak mencapai tingkatan mutawatir. Artinya, pada tiap tiap tabaqah (tingkatan), jumlah rawi hadis minggu bisa hanya terdiri dari satu rawi, dua, atau tiga rawi saja dan tidak mencapai derajat mutawatir.
Di kalangan para ulama’ jago hadis terjadi perbedaan pendapat mengenai kedudukan hadis minggu untuk digunakan sebagai landasan hukum. Sebagian ulama’ jago hadis berkeyakinan bahwa hadis minggu tidak bisa dijadikan landasan aturan untuk dilema akidah. Sebab, berdasarkan mereka, hadis minggu bukanlah qat’i as-Subut (pasti ketetapannya). Namun berdasarkan para jago hadis yang lain dan lebih banyak didominasi ulama, bahwa hadis minggu wajib diamalkan kalau telah memenuhi syarat kesahihan hadis yang telah disepakati.
Hadis minggu dibagi menjadi tiga macam, yaitu hadis masyhur, hadis aziz, dan hadis garib.
1) Hadis Masyhur.
Definisi hadis masyhur adalah,
"Hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, namun belum mencapai derajat mutawatir."
Dari definisi tersebut di atas, sanggup disimpulkan bahwa hadis masyhur ialah hadis yang diriwayatkan dari Nabi saw. oleh beberapa orang sobat namun tidak mencapai tingkat mutawatir. bisa jadi, pada thabaqah (tingkatan) tabiin atau setelahnya hadis itu diriwayatkan secara mutawatir. Tetapi, ini tidak terjadi pada setiap thabaqah.
Dari segi tingkatannya, hadis masyhur ialah termasuk paling tinggi, alasannya ialah rawi hadis masyhur ini yang paling akrab untuk mencapai derajat mutawatir. Hanya saja, ada pada salah satu tingkatan rawinya tidak mencapai derajat mutawatir.
2) Hadis Aziz.
Definisi hadis azrz adalah:
“Hadis yang diriwayatkan oleh dua orang pada satu habaqah. Kemudian pada habaqah selanjutnya banyak rawi yang meriwayatkannya.”
Dari definisi tersebut di atas, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan hadis aziz yaitu hadis yang pada salah satu atau setiap thabaqah (tingkatan) rawinya hanya dijumpai dua rawi saja.
Suatu hadis yang dikatagorikan sebagai hadis aziz yaitu:
• Pada tiap-tiap thabaqah (tingkatan) hanya terdapat dua rawi saja.
• Pada salah satu thabaqah (tingkatan) hanya terdapat dua rawi, meskipun thabaqah yang lainnya lebih dari tiga rawi.
3) Hadis Garib.
Secara etimologi kata garib dari garaba - yagribu yang artinya menyendiri, asing, atau terpisah. Sedangkan secara terminologi hadis garib adalah:
“Hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi, di manapun daerah sanad itu terjadi.”
Dari definisi tersebut di atas, sanggup katakan bahwa yang dimaksud dengan hadis garib yaitu hadis yang diriwayatkan oleh hanya seorang rawi saja, baik dalam seluruh tingkatan sanad atau pada salah satu tingkatan sanadnya. Adapun yang dimaksud dengan sanad menyendiri pada suatu hadis yaitu rawi yang meriwayatkan hadis secara sendirian tanpa ada rawi yang lain.
Hadis garib juga biasa disebut hadis fardun yang artinya sendirian. Ibnu Hajar menganggap bahwa antara garib dan fardun ialah sinonim, baik secara bahasa maupun secara istilah. Akan tetapi, kebanyakan para jago hadis membedakan antara garib dan fardun, yakni istilah fardun merujuk kepada garib mutlak, sedangkan istilah garib digunakan pada garib nisbi. Hal ini sesuai dengan pengklasifisian hadis garib yang memang dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a) Hadis Garib Mutlak (fardun).
Hadis Garib Mutlak (fardun) ialah hadis yang ke-gariban-nya terletak pada asal sanad. Maksudnya, hadis pada dikala disampaikan oleh Rasul saw. hanya diterima oleh satu orang sahabat.
b) Hadis Garib Nisbi.
Yang termasuk sebagai hadis garib nisbi yaitu apabila kegariban terjadi pada pertengahan sanadnya, bukan pada asal sanadnya. Maksudnya satu hadis yang diriwayatkan oleh lebih dari satu orang rawi pada asal sanadnya, kemudian dari semua rawi itu hadis ini diriwayatkan oleh satu orang rawi saja yang mengambil dari para rawi tersebut.
2. Hadis Ditinjau dari Segi Kualitas.
a. Hadis Sahih.
Definisi hadis sahih berdasarkan Ibnu Shalah adalah:
"Hadis sahih ialah hadis musnad (hadis yang mempunyai sanad) yang bersambung sanadnya, dan dinukil oleh seorang yang adil dan dabit dari orang yang adil dan dlabit, hingga simpulan sanadnya, tanpa ada kejanggalan dan cacat."
Dari definisi tersebut di atas, sanggup dikatakan bahwa yang dimaksud dengan hadis sahih yaitu hadis yang sanadnya bersambung (tidak putus) dan para rawi yang meriwayatkan hadis tersebut ialah adil dan dlabit, serta dalam matan hadis tersebut tidak ada kejanggalan (syak) dan cacat (‘illah).
Untuk memudahkan dalam memahami de¿nisi hadis sahih di atas, sanggup dijelaskan bahwa hadis sahih ialah hadis yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- Hadisnya musnad. Maksudnya yaitu hadis tersebut disandarkan kepada Nabi saw. dengan disertai sanad.
- Sanadnya bersambung. Artinya, antara rawi dari sanad hadis tersebut pernah bertemu eksklusif dengan gurunya.
- Seluruh rawinya adil dan dlabih. Maksud rawi yang adil yaitu rawi yang bertakwa dan menjaga kehormatan dirinya, serta sanggup menjauhi perbuatan jelek dan dosa besar menyerupai syirik, fasik, dan bid’ah. Adapun yang dimaksud dengan dlabit ialah kemampuan seorang rawi dalam menghafal hadis.
- Tidak ada syadz. Artinya, hadis tersebut tidak bertentangan dengan hadis dari rawi lain yang lebih kuat darinya.
- Tidak ada ‘illah. Artinya, dalam hadis tersebut tidak ditemukan cacat yang merusak kesahihan hadis.
Hadis sahih diklasifikasikan menjadi dua, yaitu sahih li katihi dan sahih li gairihi.
1) Sahih li Zatihi.
Yaitu Hadis yang memenuhi syarat-syarat hadis sahih, menyerupai rawi harus adil, rawi kuat ingatannya (dhabih), sanadnya tidak putus, matannya tidak mempunyai cacat, dan tidak ada kejanggalan.
2) Sahih li Gairihi.
Artinya yang sahih lantaran yang lainnya, yakni menjadi sahih lantaran dikuatkan oleh sanad atau keterangan lain.
Hukum menggunakan hadis sahih ialah wajib, sebagaimana janji para jago hadis dan para fuqaha. Argumennya ialah hadis sahih ialah salah satu sumber aturan syariat, sehingga tidak ada alasan untuk mengingkarinya.
b. Hadis Hasan,
Kata hasan berasal dari kata al-husnu yang berarti al-jamalu, yang artinya kecantikan dan keindahan. Adapun wacana definisi hadis hasan, ada perbedaan pendapat di kalangan para muhaddisin. Pendapat Abu Isa at-Tirmizi wacana hadis hasan:
"Hadis yang dalam sanadnya tidak terdapat orang yang tertuduh bohong, hadisnya tidak janggal, serta diriwayatkan tidak hanya dalam satu jalur rawian."
Definisi hadis hasan yang dikemukakan oleh at-Tirmizi ini masih umum dan hampir sama dengan definisi hadis sahih. Sebab, hadis sahih juga mensyaratkan sanadnya tidak tertuduh dusta, hadisnya tidak janggal, dan tidak hanya terdapat satu jalur rawi saja.
Definisi yang lebih terang dan detail ialah yang dikemukakan oleh kebanyakan ulama hadis, yaitu:
Hadis yang dinukil oleh seorang yang adil tetapi tidak begitu kuat ingatannya, bersambung sanadnya, dan tidak terdapat cacat serta kejanggalan pada matannya.
Perbedaan antara hadis sahih dan hadis hasan memang sangat sedikit dan tipis. Bahkan sebagian ulama’ hadis menyampaikan bahwa antara hadis sahih li gairihi dan hadis hasan li zatihi ialah sama.
Hal ini bisa dilihat dari definisi yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani bahwa hadis hasan ialah hadis yang diriwayatkan oleh seorang yang adil, sanadnya bersambung, mempunyai daya ingat yang kuat, tidak terdapat ‘illah, dan tidak syadz. Maka inilah yang disebut sahih dzatihi. Namun, kalau daya ingat (kedlabithan) rawi kurang, maka hadis yang diriwayatkannya dinamakan hasan li dzatihi.
Hukum menggunakan hadis hasan sama dengan hadis sahih, walaupun dari sisi kekuatannya hadis hasan berada di bawah level hadis sahih. Demikian berdasarkan ahli fikih (fuqaha’) dan lebih banyak didominasi jago hadis juga menggunakan hadis hasan sebagai hujjah, menyerupai al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah. Namun, pengelompokan hadis hasan ke dalam hadis sahih itu disertai pendapat bahwa hadis hasan tersebut di bawah kualitas hadis sahih.
c. Hadis Da’if.
Definisi hadis daif adalah:
“Hadis yang tidak memenuhi syarat diterimanya suatu hadis dikarenakan hilangnya salah satu syarat dari beberapa syarat yang ada.”
Dari definisi tersebut di atas sanggup dikatakan bahwa kalau salah satu syarat dari beberapa syarat diterimanya suatu hadis tidak ada, maka hadis tersebut diklasifi- kasikan ke dalam hadis daif.
Para ulama ada perbedaan pendapat mengenai dilema aturan menggunakan hadis da’if. Mayoritas ulama membolehkan mengambil hadis iaif sebagai hujjah, apabila terbatas pada dilema fadal’ilul 'amal.
1. Hadis Ditinjau dari Segi Kuantitas.
Dalam menransmisikan hadis, Nabi Muhammad Saw. terkadang berhadapan eksklusif dengan sobat yang jumlahnya sangat banyak lantaran pada dikala itu nabi sedang menunjukkan khutbah di hadapan kaum Muslimin, kadang hanya beberapa sahabat, bahkan juga bisa terjadi hanya satu atau dua orang sobat saja. Demikian itu terus terjadi dari sobat ke tabi’in hingga pada generasi yang menghimpun hadis dalam banyak sekali kitab. Dan sudah barang tentu gosip yang dibawa oleh banyak rawi lebih meyakinkan apabila dibandingkan dengan gosip yang dibawa oleh satu atau dua orang rawi saja. Dari sinilah, para jago hadis membagi hadis berdasarkan jumlah rawinya.
a. Hadis Mutawatir.
Kata Mutawatir secara etimologi berarti Muttabi’ atau yang artinya yang tiba beturut-turut dan tidak ada jarak. Sedangkan secara terminologi hadis mutawatir adalah,
“Hadis mutawatir ialah hadis yang merupakan balasan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang berdasarkan kebiasaan tidak mungkin mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta.”
Menurut Khatib al-Bagdadi, hadis mutawatir ialah suatu hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dengan jumlah tertentu yang berdasarkan kebiasaan tidak mungkin bersepakat untuk berdusta. Dan sebelum al-Bagdadi berdasarkan imam Syafi’i, ia telah mengemukakan istilah hadis mutawatir dengan istilah khabar al-‘ammah.
Ada ulama yang menunjukan hadis mutawatir dengan terang dan terperinci yaitu Ibnu Hajar al-Asqalani. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, hadis mutawatir yaitu hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang tidak mungkin melaksanakan janji untuk berdusta. Mereka itulah yang meriwayatkan hadis dari awal hingga simpulan sanad.
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama wacana ketentuan batas minimal berapa jumlah rawi pada hadis mutawatir. Menurut Abu Gayyib ialah sekurang-kurangnya ada 4 orang pada tiap tabaqah (tingkatan) rawinya. Imam Syafi’i mengemukakan paling sedikit (minimal) 5 orang pada tiap habaqah. Ada juga ulama lain yang memilih paling sedikit 20 orang pada tiap habaqah. Ada juga pendapat yang keras dari sebagian ulama’ bahwa mereka memilih hadis mutawatir harus memenuhi syarat 40 rawi pada tiap-tiap habaqah (tingkatan).
Perbedaan pendapat di atas akan kuat pada kedudukan suatu hadis. karena, niscaya setiap jago hadis berbeda pula dalam melihat sebuah hadis, apakah mutawatir atau tidak. Contohnya Ibnu Hibban dan al-Hazimi beropini bahwa hadis mutawatir mungkin jadi tidak ada, kalau hadis mutawatir syarat-syaratnya sangat ketat. Namun berdasarkan Ibnu alah, hadis mutawatir tetap ada namun jumlahnya tidak banyak.
Hadis mutawatir terbagi menjadi dua macam; pertama, mutawatir lafdzi, kedua, mutawatir ma’na.
Mutawatir lafdzi yaitu hadis mutawatir yang diriwayatkan oleh rawi yang banyak dan mencapai syarat-syarat mutawatir dengan redaksi dan makna hadis yang sama antara riwayat satu dan riwayat yang lain. Sedangkan mutawatir ma’na yaitu hadis yang mempunyai tingkat derajat mutawatir namun susunan redaksinya berbeda antara yang diriwayatkan satu rawi dengan rawi yang lain, namun isi kandungan maknanya sama.
Menurut pendapat para ulama jago hadis, bahwa dihentikan ada keraguan sedikit pun dalam menggunakan hadis mutawatir. Hadis mutawatir harus diyakini dan dipercayai dengan sepenuh hati. Hal ini sama halnya dengan pengetahuan kita wacana adanya udara, angin, panas, dingin, air, api dan jiwa, yang tanpa membutuhkan penelitian ulang kita sudah percaya akan keberadaannya. Jadi, dengan kata lain nahwa aturan hadis mutawatir ialah bersifat qat’i (pasti).
b. Hadis Ahad.
Yang dimaksud hadis ahad yaitu hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua, tiga orang atau lebih namun tidak mencapai tingkatan mutawatir. Artinya, pada tiap tiap tabaqah (tingkatan), jumlah rawi hadis minggu bisa hanya terdiri dari satu rawi, dua, atau tiga rawi saja dan tidak mencapai derajat mutawatir.
Di kalangan para ulama’ jago hadis terjadi perbedaan pendapat mengenai kedudukan hadis minggu untuk digunakan sebagai landasan hukum. Sebagian ulama’ jago hadis berkeyakinan bahwa hadis minggu tidak bisa dijadikan landasan aturan untuk dilema akidah. Sebab, berdasarkan mereka, hadis minggu bukanlah qat’i as-Subut (pasti ketetapannya). Namun berdasarkan para jago hadis yang lain dan lebih banyak didominasi ulama, bahwa hadis minggu wajib diamalkan kalau telah memenuhi syarat kesahihan hadis yang telah disepakati.
Hadis minggu dibagi menjadi tiga macam, yaitu hadis masyhur, hadis aziz, dan hadis garib.
1) Hadis Masyhur.
Definisi hadis masyhur adalah,
"Hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, namun belum mencapai derajat mutawatir."
Dari definisi tersebut di atas, sanggup disimpulkan bahwa hadis masyhur ialah hadis yang diriwayatkan dari Nabi saw. oleh beberapa orang sobat namun tidak mencapai tingkat mutawatir. bisa jadi, pada thabaqah (tingkatan) tabiin atau setelahnya hadis itu diriwayatkan secara mutawatir. Tetapi, ini tidak terjadi pada setiap thabaqah.
Dari segi tingkatannya, hadis masyhur ialah termasuk paling tinggi, alasannya ialah rawi hadis masyhur ini yang paling akrab untuk mencapai derajat mutawatir. Hanya saja, ada pada salah satu tingkatan rawinya tidak mencapai derajat mutawatir.
2) Hadis Aziz.
Definisi hadis azrz adalah:
“Hadis yang diriwayatkan oleh dua orang pada satu habaqah. Kemudian pada habaqah selanjutnya banyak rawi yang meriwayatkannya.”
Dari definisi tersebut di atas, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan hadis aziz yaitu hadis yang pada salah satu atau setiap thabaqah (tingkatan) rawinya hanya dijumpai dua rawi saja.
Suatu hadis yang dikatagorikan sebagai hadis aziz yaitu:
• Pada tiap-tiap thabaqah (tingkatan) hanya terdapat dua rawi saja.
• Pada salah satu thabaqah (tingkatan) hanya terdapat dua rawi, meskipun thabaqah yang lainnya lebih dari tiga rawi.
3) Hadis Garib.
Secara etimologi kata garib dari garaba - yagribu yang artinya menyendiri, asing, atau terpisah. Sedangkan secara terminologi hadis garib adalah:
“Hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi, di manapun daerah sanad itu terjadi.”
Dari definisi tersebut di atas, sanggup katakan bahwa yang dimaksud dengan hadis garib yaitu hadis yang diriwayatkan oleh hanya seorang rawi saja, baik dalam seluruh tingkatan sanad atau pada salah satu tingkatan sanadnya. Adapun yang dimaksud dengan sanad menyendiri pada suatu hadis yaitu rawi yang meriwayatkan hadis secara sendirian tanpa ada rawi yang lain.
Hadis garib juga biasa disebut hadis fardun yang artinya sendirian. Ibnu Hajar menganggap bahwa antara garib dan fardun ialah sinonim, baik secara bahasa maupun secara istilah. Akan tetapi, kebanyakan para jago hadis membedakan antara garib dan fardun, yakni istilah fardun merujuk kepada garib mutlak, sedangkan istilah garib digunakan pada garib nisbi. Hal ini sesuai dengan pengklasifisian hadis garib yang memang dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a) Hadis Garib Mutlak (fardun).
Hadis Garib Mutlak (fardun) ialah hadis yang ke-gariban-nya terletak pada asal sanad. Maksudnya, hadis pada dikala disampaikan oleh Rasul saw. hanya diterima oleh satu orang sahabat.
b) Hadis Garib Nisbi.
Yang termasuk sebagai hadis garib nisbi yaitu apabila kegariban terjadi pada pertengahan sanadnya, bukan pada asal sanadnya. Maksudnya satu hadis yang diriwayatkan oleh lebih dari satu orang rawi pada asal sanadnya, kemudian dari semua rawi itu hadis ini diriwayatkan oleh satu orang rawi saja yang mengambil dari para rawi tersebut.
2. Hadis Ditinjau dari Segi Kualitas.
a. Hadis Sahih.
Definisi hadis sahih berdasarkan Ibnu Shalah adalah:
"Hadis sahih ialah hadis musnad (hadis yang mempunyai sanad) yang bersambung sanadnya, dan dinukil oleh seorang yang adil dan dabit dari orang yang adil dan dlabit, hingga simpulan sanadnya, tanpa ada kejanggalan dan cacat."
Dari definisi tersebut di atas, sanggup dikatakan bahwa yang dimaksud dengan hadis sahih yaitu hadis yang sanadnya bersambung (tidak putus) dan para rawi yang meriwayatkan hadis tersebut ialah adil dan dlabit, serta dalam matan hadis tersebut tidak ada kejanggalan (syak) dan cacat (‘illah).
Untuk memudahkan dalam memahami de¿nisi hadis sahih di atas, sanggup dijelaskan bahwa hadis sahih ialah hadis yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- Hadisnya musnad. Maksudnya yaitu hadis tersebut disandarkan kepada Nabi saw. dengan disertai sanad.
- Sanadnya bersambung. Artinya, antara rawi dari sanad hadis tersebut pernah bertemu eksklusif dengan gurunya.
- Seluruh rawinya adil dan dlabih. Maksud rawi yang adil yaitu rawi yang bertakwa dan menjaga kehormatan dirinya, serta sanggup menjauhi perbuatan jelek dan dosa besar menyerupai syirik, fasik, dan bid’ah. Adapun yang dimaksud dengan dlabit ialah kemampuan seorang rawi dalam menghafal hadis.
- Tidak ada syadz. Artinya, hadis tersebut tidak bertentangan dengan hadis dari rawi lain yang lebih kuat darinya.
- Tidak ada ‘illah. Artinya, dalam hadis tersebut tidak ditemukan cacat yang merusak kesahihan hadis.
Hadis sahih diklasifikasikan menjadi dua, yaitu sahih li katihi dan sahih li gairihi.
1) Sahih li Zatihi.
Yaitu Hadis yang memenuhi syarat-syarat hadis sahih, menyerupai rawi harus adil, rawi kuat ingatannya (dhabih), sanadnya tidak putus, matannya tidak mempunyai cacat, dan tidak ada kejanggalan.
2) Sahih li Gairihi.
Artinya yang sahih lantaran yang lainnya, yakni menjadi sahih lantaran dikuatkan oleh sanad atau keterangan lain.
Hukum menggunakan hadis sahih ialah wajib, sebagaimana janji para jago hadis dan para fuqaha. Argumennya ialah hadis sahih ialah salah satu sumber aturan syariat, sehingga tidak ada alasan untuk mengingkarinya.
b. Hadis Hasan,
Kata hasan berasal dari kata al-husnu yang berarti al-jamalu, yang artinya kecantikan dan keindahan. Adapun wacana definisi hadis hasan, ada perbedaan pendapat di kalangan para muhaddisin. Pendapat Abu Isa at-Tirmizi wacana hadis hasan:
"Hadis yang dalam sanadnya tidak terdapat orang yang tertuduh bohong, hadisnya tidak janggal, serta diriwayatkan tidak hanya dalam satu jalur rawian."
Definisi hadis hasan yang dikemukakan oleh at-Tirmizi ini masih umum dan hampir sama dengan definisi hadis sahih. Sebab, hadis sahih juga mensyaratkan sanadnya tidak tertuduh dusta, hadisnya tidak janggal, dan tidak hanya terdapat satu jalur rawi saja.
Definisi yang lebih terang dan detail ialah yang dikemukakan oleh kebanyakan ulama hadis, yaitu:
Hadis yang dinukil oleh seorang yang adil tetapi tidak begitu kuat ingatannya, bersambung sanadnya, dan tidak terdapat cacat serta kejanggalan pada matannya.
Perbedaan antara hadis sahih dan hadis hasan memang sangat sedikit dan tipis. Bahkan sebagian ulama’ hadis menyampaikan bahwa antara hadis sahih li gairihi dan hadis hasan li zatihi ialah sama.
Hal ini bisa dilihat dari definisi yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani bahwa hadis hasan ialah hadis yang diriwayatkan oleh seorang yang adil, sanadnya bersambung, mempunyai daya ingat yang kuat, tidak terdapat ‘illah, dan tidak syadz. Maka inilah yang disebut sahih dzatihi. Namun, kalau daya ingat (kedlabithan) rawi kurang, maka hadis yang diriwayatkannya dinamakan hasan li dzatihi.
Hukum menggunakan hadis hasan sama dengan hadis sahih, walaupun dari sisi kekuatannya hadis hasan berada di bawah level hadis sahih. Demikian berdasarkan ahli fikih (fuqaha’) dan lebih banyak didominasi jago hadis juga menggunakan hadis hasan sebagai hujjah, menyerupai al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah. Namun, pengelompokan hadis hasan ke dalam hadis sahih itu disertai pendapat bahwa hadis hasan tersebut di bawah kualitas hadis sahih.
c. Hadis Da’if.
Definisi hadis daif adalah:
“Hadis yang tidak memenuhi syarat diterimanya suatu hadis dikarenakan hilangnya salah satu syarat dari beberapa syarat yang ada.”
Dari definisi tersebut di atas sanggup dikatakan bahwa kalau salah satu syarat dari beberapa syarat diterimanya suatu hadis tidak ada, maka hadis tersebut diklasifi- kasikan ke dalam hadis daif.
Para ulama ada perbedaan pendapat mengenai dilema aturan menggunakan hadis da’if. Mayoritas ulama membolehkan mengambil hadis iaif sebagai hujjah, apabila terbatas pada dilema fadal’ilul 'amal.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan wacana macam-macam hadis ditinjau dari segi kuantitas dan kualitas. Semoga kita sanggup mengambil pelajaran dari pembahasan tersebut. Aamiin. Sumber Al-Qur'an Hadis Kelas X MA, Kementerian Agama Republik Indonesia, Jakarta 2014. Kujnjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.