Pengertian Mujmal, Mubayyan Dan Macam-Macam Mubayyan

A. Mujmal.
Pengertian Mujmal.
Secara bahasa mujmal berarti kurang jelas dan beragam/majemuk. Mujmal ialah suatu lafal yang belum jelas, yang tidak sanggup menawarkan arti sebetulnya apabila tidak ada keterangan lain yang menjelaskan. Dapat juga dimengerti sebagai  lafadh yang global, masih membutuhkan klarifikasi (bayan) atau penafsiran (tafsir). Seperti pada Al-Qur'an Surat An Nur ayat 56, yang masih memerlukan klarifikasi wacana tatacara melaksanakanya.
 
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“ dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kau diberi rahmat.” (QS. An Nur : 56)

Kata “mendirikan shalat” dalam ayat di atas masih mujmal/belum terperinci sebab tidak diketahui tata caranya, maka butuh dalil lainnya untuk memahami tata caranya. Dan Kata ”menunaikan zakat” dalam ayat di atas masih mujmal sebab belum diketahui  ukurannya sehingga untuk memahaminya masih diharapkan dalil lainnya.

B. Mubayyan.
1. Pengertian Mubayyan.
Mubayyan artinya yang ditampakkan dan yang dijelaskan, secara istilah berarti lafadh yang sanggup dipahami maknanya berdasar asal awalnya atau sehabis dijelaskan oleh lainnya. Al Bayyan artinya ialah penjelasan, di sini maksudnya ialah menjelaskan lafal atau susunan yang mujmal.

2. Klasifikasi Mubayyan.
a. Mubayyan Muttashil, yaitu mujmal yang disertai klarifikasi yang terdapat dalam satu nash. Misalnya dalam Al-Qur'an Surat An Nisa’ (4) : 176,

يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلَالَةِ ۚ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ ۚ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ ۚ وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالًا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۗ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ أَنْ تَضِلُّوا ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“ mereka meminta pedoman kepadamu (tentang kalalah)  Katakanlah: "Allah memberi pedoman kepadamu wacana kalalah (yaitu): kalau seorang meninggal dunia, dan ia tidak memiliki anak dan memiliki saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang wanita itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang pria mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), kalau ia tidak memiliki anak; tetapi kalau saudara wanita itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan kalau mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara pria sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah membuktikan (hukum ini) kepadamu, supaya kau tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. An Nisa’ (4) : 176)

Lafazh “kalalah” yaitu mujmal yang kemudian dijelaskan dalam satu nash; “Mereka meminta pedoman kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi pedoman kepadamu wacana kalalah, (yaitu) kalau seorang meninggal dunia dan ia tidak memiliki anak dan memiliki saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang wanita itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya dan saudaranya yang pria mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), kalau ia tidak memiliki anak, tetapi kalau saudara wanita itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara pria dan perempuan, maka pecahan seorang saudara pria sebanyak pecahan dua orang saudara perempuan. Allah membuktikan (hukum ini) kepadamu, supaya kau tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Kalalah yaitu orang yang meninggal dunia yang tidak memiliki anak. Makna inilah yang diambil oleh Umar bin Khtattab, yang meyatakan: “Kalalah yaitu orang yang tidak memiliki anak.”

b. Mubayyan Munfashil, yaitu bentuk mujmal yang disertai klarifikasi yang tidak terdapat dalam satu nash. Dengan kata lain, klarifikasi tersebut terpisah dari dalil mujmal.

C. Macam-macam Mubayyan.
1. Bayan Perkataan.
Penjelasan dengan perkataan (bayan bil qaul), misalnya pada Al-Qur'an Surat Al Baqarah ayat 196:

وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ ۚ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۖ وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ ۚ فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۚ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ۗ ذَٰلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

” dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah sebab Allah. kalau kau terkepung (terhalang oleh musuh atau sebab sakit), Maka (sembelihlah) korban yang gampang didapat, dan jangan kau mencukur kepalamu  sebelum korban hingga di daerah penyembelihannya. kalau ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), Maka wajiblah atasnya berfid-yah, Yaitu: berpuasa atau beramal atau berkorban. apabila kau telah (merasa) aman, Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan 'umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang gampang didapat. tetapi kalau ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kau telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.” (QS. Al Baqarah ayat 196)

Ayat tersebut merupakan bayan (penjelasan) terhadap rangkaian kalimat sebelumnya mengenai kewajiban mengganti korban (menyembelih binatang) bagi orang-orang yang tidak menemukan hewan sembelihan atau tidak mampu.

2. Bayan Perbuatan.
Penjelasan dengan perbuatan (bayan fi’li) Contohnya Rasulullah Saw melaksanakan perbuatan-perbuatan yang menjelaskan cara-cara berwudhu yakni: memulai dengan yang kanan, batas-batas yang dibasuh, Rasulullah Saw mempraktekkan cara-cara haji, shalat dan sebagainya.

3. Bayan Isyarat.
Penjelasan dengan perkataan dan perbuatan sekaligus Firman Allah dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 43:

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ

“…dan dirikanlah shalat…”  (QS. Al-Baqarah : 43)

Perintah mendirikan shalat tersebut masih kalimat global (mujmal) yang masih butuh klarifikasi bagaimana tata cara shalat yang dimaksud, maka untuk menjelaskannya Rasulullah naik keatas bukit kemudian melaksanakan shalat hingga sempurna, kemudian bersabda: “Shalatlah kalian, sebagaimana kalian telah melihat saya shalat” (HR Bukhari).

4. Bayan dengan Tulisan.
Penjelasan dengan goresan pena Penjelasan wacana ukuran zakat, yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. dengan cara menulis surat (Rasulullah mendiktekannya, kemudian ditulis oleh para Sahabat) dan dikirimkan kepada petugas zakat beliau.

5. Bayan dengan Isyarat.
Penjelasan dengan instruksi misalnya menyerupai klarifikasi wacana hitungan hari dalam satu bulan, yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. dengan cara isyarat, yaitu dia mengangkat kesepuluh jarinya dua kali dan sembilan jari pada yang ketiga kalinya, yang maksudnya dua puluh sembilan hari.

6. Bayan dengan Meninggalkan Perbuatan.
Penjelasan dengan meninggalkan perbuatan misalnya menyerupai Qunut pada shalat. Qunut pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw dalam waktu yang relatif lama, yaitu kurang lebih satu bulan kemudian dia meninggalkannya.

7. Bayan dengan Taqrir/tidak Melarang/Diam.
Penjelasan dengan membisu (taqrir). Yaitu dikala Rasulullah Saw melihat suatu kejadian, atau Rasulullah Saw mendengar suatu penuturan insiden tetapi Rasulullah Saw mendiamkannya (tidak mengomentari atau memberi instruksi melarang), itu artinya Rasulullah Saw tidak melarangnya. Kalau Rasulullah Saw membisu tidak menjawab suatu pertanyaan,  itu artinya Rasulullah Saw masih menunggu turunnya wahyu untuk menjawabnya.

Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan wacana pengertian mujmal, mubayyan, pembagian terstruktur mengenai mubayyan dan macam-macam Mubayyan. Sumber Buku Fiqih Ushul Fiqih Kelas XII MA. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel