Pengertian Muradhif, Musytarak, Penerapan Kaidah Musytarak Dan Pola Musytarak
Tuesday, July 21, 2020
Edit
A. Muradif.
1. Pengertian Muradhif.
Muradif ialah beberapa lafadh yang menyampaikan satu arti. Misalnya lafadhnya banyak, sedang artinya dalam peribahasa Indonesia satu, sering disebut dengan sinonim.
اللَّيْثُ, الاَسَدُ :singa
الاستاذ, المدرَس, المعلم, المؤدّب : pendidik (guru)
الهرّ, القط : kucing
2. Kaidah Muradhif.
“Mendudukkan dua muradhif itu pada kawasan yang sama itu diperbolehkan kalau tidak ditetapkan oleh syara’.”
Mempertukarkan dua muradif satu sama lain itu diperbolehkan kalau dibenarkan oleh syara’. Namun kaidah ini tidak berlaku bagi Al Qur’an, lantaran ia dihentikan diubah. Bagi mazhab malikiah, takbir shalat dihentikan dilakukan kecuali dengan lafal “Allah akbar.” Imam Syafi’i membolehkan dengan lafal “Allahu Akbar”. Sementara imam Abu Hanifah membolehkan lafal “Allah Akbar” diganti dengan lafal “Allah Al-Azim” atau “Allah Al-Ajal”.
Ulama’ yang tidak membolehkan beralasan lantaran adanya halangan syar’i yaitu bersifat ta’abudi (menerima apa adanya dihentikan diubah). Sedang yang membolehkan, beralasan lantaran adanya kesamaan makna dan tidak mengurangi maksud ibadah tersebut.
2. Musytarak.
1. Pengertian Musytarak.
Musytarak ialah satu lafadh yang menyampaikan dua makna atau lebih. Maksudnya satu lafadh mengandung maknanya yang banyak atau berbeda-beda.
Adapun definisi yang diketengahkan oleh para ulama’ ushul yakni antara lain:
“Satu lafadh (kata) yang menyampaikan lebih dari satu makna yang berbeda, dengan penunjukan yang sama berdasarkan orang andal dalam bahasa tersebut ”
Kata musytarak tidak sanggup diartikan dengan semua makna yang terkandung dalam kata tersebut secara bersamaan, akan tetapi harus diartikan dengan arti salah satunya. Seperti kata قرء yang dalam pemakaian bahasa arab sanggup berarti masa suci dan bisa pula masa haidh, lafadh عين bisa berarti mata, sumber mata air, dzat, harga, orang yang memata-matai dan emas, kata يد musytarak antara ajun dan kiri, kekuasaan kata سنة sanggup berarti tahun untuk hijriyah, syamsiyah, bisa pula tahun masehi.
2. Kaidah Musytarak.
“Penggunaan musytarak berdasarkan makna yang dikehendaki ataupun untuk beberapa maknanya itu diperbolehkan.”
Jadi, memutuskan salah satu makna dari suatu lafadh musytarak tidak dibatasi. Beberapa makna musytarak tersebut boleh dipergunakan. Contohnya, kata “sujud”. Kata ini bisa berarti meletakkan kepala di tanah dan bisa pula berarti inqiyad (kepatuhan). Lihat misalnya, firman Allah Swt dalam Al-Qur'an Surat Al Hajj ayat 26,
“Dan ingatlah ketika kami tempatkan Ibrahim di kawasan Baitullah (dengan mengatakan), ‘Janganlah engkau mempersekutukan dengan apa pun dan sucikanlah rumahKu bagi orang-orang yang tawaf, dan orang-orang yang beribadah dan orang-orang yang rukuk dan sujud’.” (QS Al Hajj : 26)
Jumhur Ulama’ termasuk Imam Syafi’i, Qodi Abu Bakar dan Al Juba’i beropini bahwa pemakaian lafadh musytarak untuk dua atau beberapa makna hukumnya boleh, dengan alasan Firman Allah SWT., dalam Al-Qur'an Surat Al Hajj ayat 18
“Apakah kau tidak mengetahui bahwa kepada Allah sujud apa yang ada di langit dan di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung-gunung, pohon-pohon, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar manusia?” (QS. Al-Haj : 18)
Lafadh سْجُد itu memiliki dua arti yang sama-sama hakiki yaitu tunduk dan meletakkan dahi di bumi. Bagi makhluk-makhluk yang tidak berilmu menyerupai matahari, bulan, bintang, gunung, pohon dan hewan melata, kata sujud berarti tunduk, tetapi bagi insan yang berilmu sujud berarti meletakkan dahi di atas bumi. Apabila arti sujud ini hanya tunduk maka Allah SWT tidak mengakhiri firman-Nya dengan كَثِيْرٌ مِنَ النَاسِ . oleh lantaran itu, imam Syafi’i mengartikan kata “mulamasah” dalam firman Allah SWT: اوْ لَمَسْتُمُ النِّسَاء dengan arti menyentuh dengan tangan dan menyentuh dengan bersetubuh secara bersama-sama.
3. Sebab-sebab terjadinya Lafadh Musytarak.
a. Terjadinya perbedaan kabilah-kabilah arab di dalam memakai suatu kata untuk menyampaikan terhadap satu makna. Seperti perbedaan dalam pemakain kata يد , dalam satu kabilah, kata ini dipakai menyampaikan arti “hasta secara sempurna” (كله ذراع). Satu kabilah untuk menyampaikan (الساعدوالكف). Sedangkan kabilah yang lain untuk menyampaikan khusus “telapak tangan”.
b. Terjadinya makna yang berkisar/ keragu-raguaan تردد antara makna hakiki dan majaz.
c. Terjadinya makna yang berkisaran/keragu-raguaan تردد antara makna hakiki dan makna istilah urf. Sehingga terjadi perubahan arti satu kata dari arti bahasa kedalam arti istilah, menyerupai kata-kata yang dipakai dalam istilah syara’. Seperti lafadh الصلاةyang dalam arti bahasa bermakna do’a, kemudian dalam istilah syara’ dipakai untuk menyampaikan ibadah tertentu yang telah kita maklumi.
4. Ketentuan Hukum Lafadh Musytarak.
a. Apabila lafadh tersebut mengandung kebolehan terjadinya hanya musytarak antara arti bahasa dan istilah syara’, maka yang ditetapkan yakni arti istilah syara’, kecuali ada indikasi-indikasi yang menyampaikan bahwa yang dimaksud yakni arti dalam istilah bahasa.
b. Apabila lafadh tersebut mengandung kebolehan terjadinya banyak arti, maka yang ditetapkan yakni salah satu arti saja dengan dalil-dalil (qarinah) yang menguatkan dan menyampaikan salah satu arti tersebut. Baik berupa qarinah lafdziyah maupun qarinah haliyah. Yang dimaksud qarinah lafdziyah yakni suatu kata yang menyertai nash. Sedangkan qarinah haliyah yakni keadaan/kondisi tertentu masyarakat arab pada dikala turunnya nash tersebut.
c. Jika tidak ada qarinah yang sanggup menguatkan salah satu arti lafadh lafadh tersebut, berdasarkan golongan Hanafiyah harus dimauqufkan hingga adanya dalil yang sanggup menguatkan salah satu artinya. Menurut golongan Malikiyah dan Syafi’iyah membolehkan memakai salah satu artinya.
5. Contoh Lafadh Musytarak.
Dalam Al-Qur’an banyak contoh-contoh musytarak, yang antara lainnya firman Allah Swt dalam Al-Qur'an Surat Al Baqarah ayat 222,
"Mereka bertanya kepadamu wacana haidh. Katakanlah: "Haidh itu yakni suatu kotoran". oleh lantaran itu hendaklah kau menjauhkan diri dari perempuan di waktu haidh; dan janganlah kau mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di kawasan yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al Baqarah : 22)
Lafadh المحيض sanggup berarti masa/waktu haidh (zaman) dan bisa pula berarti kawasan keluarnya darah haidh (makan). Namun dalam ayat tersebut berdasarkan ulama’ diartikan kawasan keluarnya darah haidh. Karena adanya qarinah haliyah yaitu bahwa orang-orang arab pada masa turunnya ayat tersebut tetap menggauli istri-istrinya dalam waktu haidh. Sehingga yang dimaksud lafadh المحيض diatas yakni bukanlah waktu haidh akan tetapi larangan untuk istimta’ pada kawasan keluarnya darah haidh (qubul).
Contoh lain sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur'an Surat Al Baqarah ayat 228 sebagai berikut:
"Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'." (QS. Al Baqarah : 228)
Lafadh quru’ dalam pemakaian bahasa arab bisa berarti masa suci dan bisa pula berarti masa haidh. Oleh lantaran itu, seorang mujtahid harus mengerahkan segala kemampuannya untuk mengetahui makna yang dimaksudkan oleh syari’ dalam ayat tersebut.
Para ulama’ berbeda pendapat dalam mengartikan lafadh quru’tersebut diatas. Sebagian ulama’ yaitu Imam Syafi’i mengartikannya dengan masa suci. Alasan dia antara lain yakni lantaran adanya indikasi tanda muannats pada ‘adad (kata bilangan : tsalatsah) yang berdasarkan kaidah bahasa arab ma’dudnya harus mudzakkar, yaitu lafadh al-thuhr (suci).
Sedangkan Imam Abu Hanifah mengartikannya dengan masa haidh. Dalam hal ini, dia beralasan bahwa lafadh tsalatsah yakni lafadh yang khas yang secara dzahir menyampaikan sempurnanya masing-masing quru’ dan tidak ada pengurangan dan tambahan. Hal ini hanya bisa terjadi kalau quru’ diartikan haidh. Sebab kalau lafadh quru’ diartikan suci, maka hanya ada dua quru’ (tidak hingga tiga).
Dalam Al-Qur'an Surat Al Baqarah ayat 229,
“Talak (yang sanggup dirujuki) dua kali. sehabis itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”. (QS. Al-Baqarah : 229)
Dalam ayat tersebut di atas lafadh al-thalaq harus diartikan dalam istilah syara’ yaitu “melepaskan tali ikatan korelasi suami istri yang sah”, bukan diartikan secara bahasa yang berarti “melepaskan tali ikatan secara mutlaq”. Seperti dalam hal lain.“Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat”. Lafadh الصلاة pada ayat tersebut sanggup bisa mengandung arti dalam istilah bahasa yaitu doa dan bisa pula berarti dalam istilah syara’ yaitu ibadah yang memiliki syarat-syarat dan rukun tertentu. Berikut ini pola lafadhالصلاة yang diartikan dengan makna istilah bahasa, yaitu dalam firman Allah Swt dalam Al-Qur'an Surat Al Ahzab ayat 56,
"Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kau untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al Ahzab : 56)
Lafadh الصلاة pada ayat tersebut bukan bermakna shalat dalam ibadah tertentu, akan tetapi memiliki makna dalam istilah bahasa yaitu doa. Karena الصلاة dalam ayat tersebut dinisbatkan kepada Allah Swt dan para malaikat. Sedangkan shalat dalam istilah syara’ hanya diwajibkan kepada manusia.
1. Pengertian Muradhif.
Muradif ialah beberapa lafadh yang menyampaikan satu arti. Misalnya lafadhnya banyak, sedang artinya dalam peribahasa Indonesia satu, sering disebut dengan sinonim.
اللَّيْثُ, الاَسَدُ :singa
الاستاذ, المدرَس, المعلم, المؤدّب : pendidik (guru)
الهرّ, القط : kucing
2. Kaidah Muradhif.
إِيْقَاعُ كُلٍّ مِنَ الْمُرَادِفَيْنِ مَكَانَ اْلآخَرِ يَجُوْزُ إِذَا لَمْ يَقُمْ عَلَيْهِ طَالِعٌ شَرْعِيٌّ
“Mendudukkan dua muradhif itu pada kawasan yang sama itu diperbolehkan kalau tidak ditetapkan oleh syara’.”
Mempertukarkan dua muradif satu sama lain itu diperbolehkan kalau dibenarkan oleh syara’. Namun kaidah ini tidak berlaku bagi Al Qur’an, lantaran ia dihentikan diubah. Bagi mazhab malikiah, takbir shalat dihentikan dilakukan kecuali dengan lafal “Allah akbar.” Imam Syafi’i membolehkan dengan lafal “Allahu Akbar”. Sementara imam Abu Hanifah membolehkan lafal “Allah Akbar” diganti dengan lafal “Allah Al-Azim” atau “Allah Al-Ajal”.
Ulama’ yang tidak membolehkan beralasan lantaran adanya halangan syar’i yaitu bersifat ta’abudi (menerima apa adanya dihentikan diubah). Sedang yang membolehkan, beralasan lantaran adanya kesamaan makna dan tidak mengurangi maksud ibadah tersebut.
2. Musytarak.
1. Pengertian Musytarak.
Musytarak ialah satu lafadh yang menyampaikan dua makna atau lebih. Maksudnya satu lafadh mengandung maknanya yang banyak atau berbeda-beda.
Adapun definisi yang diketengahkan oleh para ulama’ ushul yakni antara lain:
اللَّفْظُ الوَاحِدُ الدَّالُّ عَلَى مَعْنَيَيْنِ مُخْتَلِفَيْنِ أَوْ أَكْثَرَ دَلاَلَةً عَلَى السَّوَاءِ عِنْدَ أَهْلِ تِلْكَ اللُّغَةِ
“Satu lafadh (kata) yang menyampaikan lebih dari satu makna yang berbeda, dengan penunjukan yang sama berdasarkan orang andal dalam bahasa tersebut ”
Kata musytarak tidak sanggup diartikan dengan semua makna yang terkandung dalam kata tersebut secara bersamaan, akan tetapi harus diartikan dengan arti salah satunya. Seperti kata قرء yang dalam pemakaian bahasa arab sanggup berarti masa suci dan bisa pula masa haidh, lafadh عين bisa berarti mata, sumber mata air, dzat, harga, orang yang memata-matai dan emas, kata يد musytarak antara ajun dan kiri, kekuasaan kata سنة sanggup berarti tahun untuk hijriyah, syamsiyah, bisa pula tahun masehi.
2. Kaidah Musytarak.
اِسْتِعْمَالُ المُشْتَرَكِ فِى مَعْنَيْهِ اَوْ مَعَانِهِ يَجُوْزُ
“Penggunaan musytarak berdasarkan makna yang dikehendaki ataupun untuk beberapa maknanya itu diperbolehkan.”
Jadi, memutuskan salah satu makna dari suatu lafadh musytarak tidak dibatasi. Beberapa makna musytarak tersebut boleh dipergunakan. Contohnya, kata “sujud”. Kata ini bisa berarti meletakkan kepala di tanah dan bisa pula berarti inqiyad (kepatuhan). Lihat misalnya, firman Allah Swt dalam Al-Qur'an Surat Al Hajj ayat 26,
وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَنْ لَا تُشْرِكْ بِي شَيْئًا وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
“Dan ingatlah ketika kami tempatkan Ibrahim di kawasan Baitullah (dengan mengatakan), ‘Janganlah engkau mempersekutukan dengan apa pun dan sucikanlah rumahKu bagi orang-orang yang tawaf, dan orang-orang yang beribadah dan orang-orang yang rukuk dan sujud’.” (QS Al Hajj : 26)
Jumhur Ulama’ termasuk Imam Syafi’i, Qodi Abu Bakar dan Al Juba’i beropini bahwa pemakaian lafadh musytarak untuk dua atau beberapa makna hukumnya boleh, dengan alasan Firman Allah SWT., dalam Al-Qur'an Surat Al Hajj ayat 18
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَسْجُدُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُومُ وَالْجِبَالُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ وَكَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ
“Apakah kau tidak mengetahui bahwa kepada Allah sujud apa yang ada di langit dan di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung-gunung, pohon-pohon, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar manusia?” (QS. Al-Haj : 18)
Lafadh سْجُد itu memiliki dua arti yang sama-sama hakiki yaitu tunduk dan meletakkan dahi di bumi. Bagi makhluk-makhluk yang tidak berilmu menyerupai matahari, bulan, bintang, gunung, pohon dan hewan melata, kata sujud berarti tunduk, tetapi bagi insan yang berilmu sujud berarti meletakkan dahi di atas bumi. Apabila arti sujud ini hanya tunduk maka Allah SWT tidak mengakhiri firman-Nya dengan كَثِيْرٌ مِنَ النَاسِ . oleh lantaran itu, imam Syafi’i mengartikan kata “mulamasah” dalam firman Allah SWT: اوْ لَمَسْتُمُ النِّسَاء dengan arti menyentuh dengan tangan dan menyentuh dengan bersetubuh secara bersama-sama.
3. Sebab-sebab terjadinya Lafadh Musytarak.
a. Terjadinya perbedaan kabilah-kabilah arab di dalam memakai suatu kata untuk menyampaikan terhadap satu makna. Seperti perbedaan dalam pemakain kata يد , dalam satu kabilah, kata ini dipakai menyampaikan arti “hasta secara sempurna” (كله ذراع). Satu kabilah untuk menyampaikan (الساعدوالكف). Sedangkan kabilah yang lain untuk menyampaikan khusus “telapak tangan”.
b. Terjadinya makna yang berkisar/ keragu-raguaan تردد antara makna hakiki dan majaz.
c. Terjadinya makna yang berkisaran/keragu-raguaan تردد antara makna hakiki dan makna istilah urf. Sehingga terjadi perubahan arti satu kata dari arti bahasa kedalam arti istilah, menyerupai kata-kata yang dipakai dalam istilah syara’. Seperti lafadh الصلاةyang dalam arti bahasa bermakna do’a, kemudian dalam istilah syara’ dipakai untuk menyampaikan ibadah tertentu yang telah kita maklumi.
4. Ketentuan Hukum Lafadh Musytarak.
a. Apabila lafadh tersebut mengandung kebolehan terjadinya hanya musytarak antara arti bahasa dan istilah syara’, maka yang ditetapkan yakni arti istilah syara’, kecuali ada indikasi-indikasi yang menyampaikan bahwa yang dimaksud yakni arti dalam istilah bahasa.
b. Apabila lafadh tersebut mengandung kebolehan terjadinya banyak arti, maka yang ditetapkan yakni salah satu arti saja dengan dalil-dalil (qarinah) yang menguatkan dan menyampaikan salah satu arti tersebut. Baik berupa qarinah lafdziyah maupun qarinah haliyah. Yang dimaksud qarinah lafdziyah yakni suatu kata yang menyertai nash. Sedangkan qarinah haliyah yakni keadaan/kondisi tertentu masyarakat arab pada dikala turunnya nash tersebut.
c. Jika tidak ada qarinah yang sanggup menguatkan salah satu arti lafadh lafadh tersebut, berdasarkan golongan Hanafiyah harus dimauqufkan hingga adanya dalil yang sanggup menguatkan salah satu artinya. Menurut golongan Malikiyah dan Syafi’iyah membolehkan memakai salah satu artinya.
5. Contoh Lafadh Musytarak.
Dalam Al-Qur’an banyak contoh-contoh musytarak, yang antara lainnya firman Allah Swt dalam Al-Qur'an Surat Al Baqarah ayat 222,
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
"Mereka bertanya kepadamu wacana haidh. Katakanlah: "Haidh itu yakni suatu kotoran". oleh lantaran itu hendaklah kau menjauhkan diri dari perempuan di waktu haidh; dan janganlah kau mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di kawasan yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al Baqarah : 22)
Lafadh المحيض sanggup berarti masa/waktu haidh (zaman) dan bisa pula berarti kawasan keluarnya darah haidh (makan). Namun dalam ayat tersebut berdasarkan ulama’ diartikan kawasan keluarnya darah haidh. Karena adanya qarinah haliyah yaitu bahwa orang-orang arab pada masa turunnya ayat tersebut tetap menggauli istri-istrinya dalam waktu haidh. Sehingga yang dimaksud lafadh المحيض diatas yakni bukanlah waktu haidh akan tetapi larangan untuk istimta’ pada kawasan keluarnya darah haidh (qubul).
Contoh lain sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur'an Surat Al Baqarah ayat 228 sebagai berikut:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
"Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'." (QS. Al Baqarah : 228)
Lafadh quru’ dalam pemakaian bahasa arab bisa berarti masa suci dan bisa pula berarti masa haidh. Oleh lantaran itu, seorang mujtahid harus mengerahkan segala kemampuannya untuk mengetahui makna yang dimaksudkan oleh syari’ dalam ayat tersebut.
Para ulama’ berbeda pendapat dalam mengartikan lafadh quru’tersebut diatas. Sebagian ulama’ yaitu Imam Syafi’i mengartikannya dengan masa suci. Alasan dia antara lain yakni lantaran adanya indikasi tanda muannats pada ‘adad (kata bilangan : tsalatsah) yang berdasarkan kaidah bahasa arab ma’dudnya harus mudzakkar, yaitu lafadh al-thuhr (suci).
Sedangkan Imam Abu Hanifah mengartikannya dengan masa haidh. Dalam hal ini, dia beralasan bahwa lafadh tsalatsah yakni lafadh yang khas yang secara dzahir menyampaikan sempurnanya masing-masing quru’ dan tidak ada pengurangan dan tambahan. Hal ini hanya bisa terjadi kalau quru’ diartikan haidh. Sebab kalau lafadh quru’ diartikan suci, maka hanya ada dua quru’ (tidak hingga tiga).
Dalam Al-Qur'an Surat Al Baqarah ayat 229,
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Talak (yang sanggup dirujuki) dua kali. sehabis itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”. (QS. Al-Baqarah : 229)
Dalam ayat tersebut di atas lafadh al-thalaq harus diartikan dalam istilah syara’ yaitu “melepaskan tali ikatan korelasi suami istri yang sah”, bukan diartikan secara bahasa yang berarti “melepaskan tali ikatan secara mutlaq”. Seperti dalam hal lain.“Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat”. Lafadh الصلاة pada ayat tersebut sanggup bisa mengandung arti dalam istilah bahasa yaitu doa dan bisa pula berarti dalam istilah syara’ yaitu ibadah yang memiliki syarat-syarat dan rukun tertentu. Berikut ini pola lafadhالصلاة yang diartikan dengan makna istilah bahasa, yaitu dalam firman Allah Swt dalam Al-Qur'an Surat Al Ahzab ayat 56,
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
"Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kau untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al Ahzab : 56)
Lafadh الصلاة pada ayat tersebut bukan bermakna shalat dalam ibadah tertentu, akan tetapi memiliki makna dalam istilah bahasa yaitu doa. Karena الصلاة dalam ayat tersebut dinisbatkan kepada Allah Swt dan para malaikat. Sedangkan shalat dalam istilah syara’ hanya diwajibkan kepada manusia.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan wacana pengertian muradhif, musytarak, penerapan kaidah musytarak dan pola musytarak. Sumber Buku Fiqih Ushul Fiqih Kelas XII MA. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.