Pengertian Muthlaq, Muqayyad Dan Macam-Macam Muthlaq Dan Muqayyad Serta Hukumnya

a. Muthlaq.
Muthlaq ialah lafazh yang mengatakan suatu hakikat tanpa suatu pembatas (qayid). Contohnya dalam Al-Qur'an Surat Al Mujadalah ayat 3,

وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا

“Dan orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atas mereka) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.” (QS. Al Mujadalah : 3)

Lafadh “budak” diatas tanpa dibatasi, mencakup segala jenis budak, baik yang mukmin maupun kafir.

b. Muqayyad.
Muqayyad ialah lafazh yang mengatakan suatu hakikat dengan suatu pembatas (qayid). Contohnya dalam Al-Qur'an Surat An Nisa’ ayat 92 :

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً ۚ وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ

“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain) kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaknya) ia memerdekakan seorang budak yang beriman.” (QS. An Nisa’: 92)

Lafazh “budak” diatas dibatasi dengan “yang beriman”

c. Macam-Macam Muthlaq dan Muqayyad serta Hukumnya
1. Lafadh yang mutlaq tetap pada ke mutlaqannya, selama tidak ada dalil yang meng-qayyid-kannya (membatasinya). Makara terdapat dalil yang memberi batasan (qayyid) maka dalil itu sanggup mengalihkan ke mutlaqannya dan menjelaskan pengertiannya. Contohnya, pada Al-Qur'an Surat An Nisa’ ayat 11,

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۚ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا 

“ Allah mensyari'atkan bagimu wacana (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan, dan jikalau anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jikalau anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jikalau yang meninggal itu memiliki anak; jikalau orang yang meninggal tidak memiliki anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya menerima sepertiga; jikalau yang meninggal itu memiliki beberapa saudara, Maka ibunya menerima seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sehabis dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sehabis dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kau tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih erat (banyak) keuntungannya bagimu. ini ialah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An Nisa’ : 11)

“(Pembagian harta pusaka) tersebut sehabis dipenuhi wasiat yang ia buat dan sehabis dibayar hutangnya.” Wasiat yang dimaksud dalam ayat diatas bersifat muthlaq, tidak dibatasi jumlahnya, minimal-maksimalnya, kemudian wasiat tersebut diberi batasan oleh nash hadis yang menegaskan bahwa, “Tidak ada wasiat lebih dari sepertiga harta pusaka.” Oleh karena itu maka wasiat dalam ayat diatas menjadi tidak muthlaq lagi dan niscaya diartikan dengan “wasiat yang kurang dari batas sepertiga dari harta pusaka.”

2. Sebab dan hukumya sama, maka pengetian lafazh muthlaq dibawa ke kepada makna muqayyad. Contohnya pada Al-Qur'an Surat Al-Maidah ayat 3,

 حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ 

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah dan daging babi.” (QS. Al Maidah : 3)

Lafazh “darah” pada ayat diatas ialah muthlaq tanpa ada batasan.

Pada Al-Qur'an Surat Al-An’am ayat 145,

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ 

“Katakanlah, ‘Tidaklah saya peroleh dalam apa apa yang diwahyukan kepadaku (tentang) suatu (makanan) yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau kuliner itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi.” (QS. Al An’am : 145)

Lafazh “darah” pada ayat ini bersifat muqayyad karena dibatasi dengan lafazh “yang mengalir.”  Karena ada persamaan aturan dan sebab, maka lafazh “darah” yang tersebut pada QS Al Maidah ayat 3 yang muthlaq wajib dibawa (diartikan) ke muqayyad, yaitu “darah yang mengalir.”

3. Sebab dan aturan salah satu atau keduanya berbeda, maka lafadh yang mutlaq tetap diartikan sesuai dengan ke mutlaqannya.

4. Kaidah Makna Kata yaitu makna lahir. Pada kalimat “Singa menerkam rusa pada lehernya” maka kata “singa” itu bermakna hakikat yaitu hewan buas. Makna Majaz yaitu makna kiasan. Pada kalimat “Singa padang pasir menerkam musuhnya dengan pedangnya” maka kata singa itu bermakna kiasan untuk seseorang yang dikenal berani. Musytarak yaitu kata yang punya lebih dari satu makna (ambigu). Adanya makna hakikat, majaz dan musytarak ini salah satu penyebab timbulnya perbedaan penafsiran dari para imam mujtahid yang membawa pada perbedaan pendapat.

5. Amr (perintah) dan Nahi (larangan). Lafazh amr (perintah) sanggup berdampak hukum: mengatakan wajib, mengatakan sunah, mengatakan suruhan saja, mengatakan kebolehan. Sedangkan larangan (nahi), berdasarkan Imam Syaukani dalam Irsyadul Fuhul: larangan karena diri perbuatan, ibarat larangan zina, larangan perempuan haid mengerjakan shalat, larangan karena sesuatu kepingan perbuatan, ibarat larangan menjual anak hewan yang masih dalam perut induknya, larangan karena sesuatu sifat yang tidak sanggup lepas, ibarat larangan puasa pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, karena sudah menjadi sifat yang menempel pada hari raya untuk makan-minum, mengadakan jamuan, larangan karena sesuatu sifat yang tidak lazim, ibarat jual-beli sesuatu sehabis azan shalat Jum’at dikumandangkan.

6. Pertentangan dan kompromi antar dalil: ta’arudl Yaitu kontradiksi antar dalil, kompromi, tarjih yaitu bila ada dua dalil yang saling bertentangan maka ditentukan mana dalil yang lebih berpengaruh (rajih) dan mana yang lebih lemah (marjuh), nasakh apabila tidak sanggup dikompromikan atau ditarjihkan, bila diketahui mana yang tiba terdahulu dan mana yang tiba kemudian, maka dalil yang tiba diakhir akan menasakh yang telah lalu.


Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan wacana pengertian muthlaq, muqayyad dan macam-macam muthlaq dan muqayyad serta hukumnya. Sumber Buku Fiqih Ushul Fiqih Kelas XII MA. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel