Pengertian Dzahir, Takwil Macam-Macam Takwil Dan Syarat Takwil
Tuesday, July 21, 2020
Edit
a. Dzahir
Dzahir secara bahasa : Yang terang (الواضح) dan yang terperinci (البين).
Dalam pengertian istilah yakni apa-apa yang menawarkan atas makna yang rojih dengan lafadhnya sendiri dengan adanya kemungkinan makna lainnya.
Misalnya sabda Nabi, SAW.,
“Berwudhulah kalian lantaran memakan daging unta!”
Maka bergotong-royong yang dzohir dari yang dimaksud dengan wudhu yakni membasuh anggota tubuh yang empat dengan sifat yang syar’i bukan wudhu yang berarti membersihkan diri.
b. Takwil.
1. Pengertian Takwil.
Secara etimologi berarti at-Tafsir, al-Marja’, al-Mashir, sehingga dari sudut bahasa mengandung arti tafsir (penjelasan, uraian), atau al-Marja’, al-Mashir (kembali, daerah kembali), atau al-Jaza’ (balasan yang kembali kepadanya).
Menurut Imam Ghazali takwil merupakan ungkapan perihal pengambilan makna dari lafazh yang bersisfat probabilitas yang didukung oleh dalil dan mengakibatkan arti yang lebih berpengaruh dari makna yang ditunjukkan oleh lafaz zhair tersebut.
2. Macam-macam Takwil.
a. Ta’wil yang shahih yang ditunjukkan atas makna tersebut dengan dalil yang shahih, seperti ta’wil terhadap firman Allah Swt :
“bertanyalah kepada desa.”
Kepada makna “bertanyalah kepada penduduk desa”, lantaran desa mustahil untuk diberi pertanyaan kepadanya.
b. Ta’wil yang rusak: yang tidak ada dalil yang shahih yang menawarkan makna tersebut, seperti ta’wil orang-orang mu’aththilah (ahli ta’thil) terhadap firman Allah Swt QS. Thoha (20) : 5
“Ar-Rohman bersemayam di atas arsy”
Kepada makna istawa (menguasai), dan yang benar bahwa maknanya yakni ketinggian dan menetap, tanpa takyif dan tamtsil.
3. Syarat Takwil.
a. Lafadh yang dita’wil harus betul-betul memenuhi kriteria dan kajiannya.
b. Tawil itu harus berdasarkan dalil shahih yang sanggup menguatkan ta’wil.
Contoh: ta’wil dari nash yang di dalamnya terdapat kontradiksi antara zahir nash yang mengandung arti juz’i dengan dasar umum syari’at yakni hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW., bersabda:
Berkata, Ibnu 'Umar ra kepada 'Amru bin 'Utsman: "Bukankan tidak boleh menangis dan sungguh Rasulullah Saw telah bersabda: "Sesungguhnya mayat niscaya akan disiksa disebabkan tangisan keluarganya kepadanya?"(HR. Bukhari)
Siti Aisyah menolak hadis tersebut lantaran menurutnya hal itu bertentangan dengan dasar umum syari’at yang ada dalam al Qur’an yaitu firman Allah SWT:
Sebagian mujtahid mena’wilkan kemutlakan hadis tersebut kemudian mereka menaqyid dengan mayit dikala masa hidupnya.
Maka maksud ayat tersebut menjadi tidak bertentangan sehabis ditaqyid. Pengompromian ini dilakukan dengan mengamalkan dua nash secara bersamaan. Metode menyerupai itulah yang dianggap terbaik daripada mencela salah satunya. dengan rujukan di atas sanggup diketahui bahwa ta’wil itu ada lantaran adanya kontradiksi dalam nash yang artinya zahir.
1. Ta’wil berdasarkan dalil yakni maslahat, yang dimaksud maslahat disini bukan berarti bahwa pesan tersirat syari’at itu harus nash tertentu, tetapi dalil yang mentaksis dalil umum atau meng-istisna dari landasan umum baik secara khas ataupun ‘amm, dengan cara menyerupai itu dalil yang keluar dari landasan umum melalui taksis, menyalahi aturan yang umum atau keadaan umum.
Taksis merupakan salah satu belahan dari ta’wil bahkan yang paling banyak dipakai. Contoh:
“Para ibu hendaknya menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh”.
Imam Malik mentaksis keumumannya dengan perbuatan budpekerti (urf amaliyah). Dia berpandangan bahwa seorang ibu diharuskan menyusui anaknya lantaran kesempurnaan derajatnya. Maka jika seorang ibu sakit sehingga tidak sanggup menyusui anaknya, ia tidak diwajibkan menyusui anaknya lantaran menjaga dari kemudharatan. Dan menjaga maslahat yakni maslahat.
2. Mentaksis keadaan umum dengan kemaslahatan, yang dimaksud keadaan umum yakni kemerdekaan umum atau dasar kebolehan.
Kemerdekaan umum yakni kemerdekaan jual beli dan hak mempunyai terhadap barang yakni sesuatu yang sangat fundamental bagi insan dengan mengutamakan persamaan lantaran hal itu termasuk perbuatan yang dibolehkan.
Rasulullah Saw melarang perdagangan yang diadakan untuk kaum badawi lantaran jual beli semacam itu dikategorikan jual beli yang menggambarkan adanya penghinaan terhadap makanan yang sangat penting terhadap manusia. Taksis menyerupai itu yakni berdasarkan kemaslahatan umum begitu pula larangan jual beli yang mengandung riba, lantaran didalamnya terdapat erosi keadilan dan terdapat unsur memakan harta insan secara batil, yakni kaidah yang menghilangkan keridhaan.
3. Lafadh yang meliputi arti yang dhasilkan melalui takwil berdasarkan bahasa.
Penakwilan berdasarkan bahasa dilakukan dengan cara tekstual, kontekstual atau majaz.
4. Takwil tidak boleh bertentangan dengan nasah yang qath’i lantaran nash tersebut belahan dari aturan syara’ yang umum.
Takwil yakni metode ijtihad yang bersifat zanni, sedangkan zanni tidak akan berpengaruh melawan yang qath’i. Contohnya menakwillan kisah- cerita yang ada dalam al Qur’an dengan mengubah arti yang zahir menjadi fiksi (yang tidak terjadi). Penakwilan menyerupai iu bertentangan dengan kejelasan ayat yang qath’i yang mengakibatkan cerita tersebut sebagai insiden sejarah yang nyata.
5. Arti dari penakwilan nash harus lebih berpengaruh dari arti zahir yakni dikuatkan dengan dalil.
Contoh perihal petentangan antara juz’i dan dasar umum. Nash yang berarti juz’i dikompromikan artinya dengan dasar umum yaitu dengan cara mentaqyid dan dasar umum itu merupkan dalil yang lebih kuat. Telah dijelaskan beberapa mentaqyid hak kekuasaan atas harta tanpa memadaratkan tetangga dengan mengamalkan dasar umum yakni sabda Nabi SAW:
”Tidak madarat dan tidak memadaratkan ”
Hal itu termasuk kamaslahatan individu, sedang penakwilannya berdasarkan kemaslahatan umum yang dijadikan dalil yakni lebih berpengaruh dari pada zahir lafadh. Begitu pula bertentangan antara zahir dengan nash tidak diragukan lagi bahwa nash itu menaksis yang zahir lantaran nash lebih berpengaruh dan lebih jelas. Selain itu ucapan juga membutuhkan arti orisinil maksud harus diutamakan.
Juga perihal penakwilan yang berdasarkan pesan tersirat pelatihan syari’at. Hal itu merupakan roh nash yang menguatkan dan merupakan tujuan pokok. Tidak diragukan lagi bahwa maksud disyari’atkannya sesuatu itu lebih berpengaruh daripada zahir lafadhnya.
Dzahir secara bahasa : Yang terang (الواضح) dan yang terperinci (البين).
Dalam pengertian istilah yakni apa-apa yang menawarkan atas makna yang rojih dengan lafadhnya sendiri dengan adanya kemungkinan makna lainnya.
Misalnya sabda Nabi, SAW.,
توضؤوا من لحوم الإبل
“Berwudhulah kalian lantaran memakan daging unta!”
Maka bergotong-royong yang dzohir dari yang dimaksud dengan wudhu yakni membasuh anggota tubuh yang empat dengan sifat yang syar’i bukan wudhu yang berarti membersihkan diri.
b. Takwil.
1. Pengertian Takwil.
Secara etimologi berarti at-Tafsir, al-Marja’, al-Mashir, sehingga dari sudut bahasa mengandung arti tafsir (penjelasan, uraian), atau al-Marja’, al-Mashir (kembali, daerah kembali), atau al-Jaza’ (balasan yang kembali kepadanya).
Menurut Imam Ghazali takwil merupakan ungkapan perihal pengambilan makna dari lafazh yang bersisfat probabilitas yang didukung oleh dalil dan mengakibatkan arti yang lebih berpengaruh dari makna yang ditunjukkan oleh lafaz zhair tersebut.
2. Macam-macam Takwil.
a. Ta’wil yang shahih yang ditunjukkan atas makna tersebut dengan dalil yang shahih, seperti ta’wil terhadap firman Allah Swt :
وَاسْأَلْ أَهْلَ الْقَرْيَةِ
“bertanyalah kepada desa.”
Kepada makna “bertanyalah kepada penduduk desa”, lantaran desa mustahil untuk diberi pertanyaan kepadanya.
b. Ta’wil yang rusak: yang tidak ada dalil yang shahih yang menawarkan makna tersebut, seperti ta’wil orang-orang mu’aththilah (ahli ta’thil) terhadap firman Allah Swt QS. Thoha (20) : 5
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Ar-Rohman bersemayam di atas arsy”
Kepada makna istawa (menguasai), dan yang benar bahwa maknanya yakni ketinggian dan menetap, tanpa takyif dan tamtsil.
3. Syarat Takwil.
a. Lafadh yang dita’wil harus betul-betul memenuhi kriteria dan kajiannya.
b. Tawil itu harus berdasarkan dalil shahih yang sanggup menguatkan ta’wil.
Contoh: ta’wil dari nash yang di dalamnya terdapat kontradiksi antara zahir nash yang mengandung arti juz’i dengan dasar umum syari’at yakni hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW., bersabda:
فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا لِعَمْرِو بْنِ عُثْمَانَ أَلَا تَنْهَى عَنْ الْبُكَاءِ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْمَيِّتَ لَيُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ
Berkata, Ibnu 'Umar ra kepada 'Amru bin 'Utsman: "Bukankan tidak boleh menangis dan sungguh Rasulullah Saw telah bersabda: "Sesungguhnya mayat niscaya akan disiksa disebabkan tangisan keluarganya kepadanya?"(HR. Bukhari)
Siti Aisyah menolak hadis tersebut lantaran menurutnya hal itu bertentangan dengan dasar umum syari’at yang ada dalam al Qur’an yaitu firman Allah SWT:
وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ اُخْرَى
Sebagian mujtahid mena’wilkan kemutlakan hadis tersebut kemudian mereka menaqyid dengan mayit dikala masa hidupnya.
Maka maksud ayat tersebut menjadi tidak bertentangan sehabis ditaqyid. Pengompromian ini dilakukan dengan mengamalkan dua nash secara bersamaan. Metode menyerupai itulah yang dianggap terbaik daripada mencela salah satunya. dengan rujukan di atas sanggup diketahui bahwa ta’wil itu ada lantaran adanya kontradiksi dalam nash yang artinya zahir.
1. Ta’wil berdasarkan dalil yakni maslahat, yang dimaksud maslahat disini bukan berarti bahwa pesan tersirat syari’at itu harus nash tertentu, tetapi dalil yang mentaksis dalil umum atau meng-istisna dari landasan umum baik secara khas ataupun ‘amm, dengan cara menyerupai itu dalil yang keluar dari landasan umum melalui taksis, menyalahi aturan yang umum atau keadaan umum.
Taksis merupakan salah satu belahan dari ta’wil bahkan yang paling banyak dipakai. Contoh:
وَالْوَالِدَاتُ يَرْضِعْنَ اَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنَ
“Para ibu hendaknya menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh”.
Imam Malik mentaksis keumumannya dengan perbuatan budpekerti (urf amaliyah). Dia berpandangan bahwa seorang ibu diharuskan menyusui anaknya lantaran kesempurnaan derajatnya. Maka jika seorang ibu sakit sehingga tidak sanggup menyusui anaknya, ia tidak diwajibkan menyusui anaknya lantaran menjaga dari kemudharatan. Dan menjaga maslahat yakni maslahat.
2. Mentaksis keadaan umum dengan kemaslahatan, yang dimaksud keadaan umum yakni kemerdekaan umum atau dasar kebolehan.
Kemerdekaan umum yakni kemerdekaan jual beli dan hak mempunyai terhadap barang yakni sesuatu yang sangat fundamental bagi insan dengan mengutamakan persamaan lantaran hal itu termasuk perbuatan yang dibolehkan.
Rasulullah Saw melarang perdagangan yang diadakan untuk kaum badawi lantaran jual beli semacam itu dikategorikan jual beli yang menggambarkan adanya penghinaan terhadap makanan yang sangat penting terhadap manusia. Taksis menyerupai itu yakni berdasarkan kemaslahatan umum begitu pula larangan jual beli yang mengandung riba, lantaran didalamnya terdapat erosi keadilan dan terdapat unsur memakan harta insan secara batil, yakni kaidah yang menghilangkan keridhaan.
3. Lafadh yang meliputi arti yang dhasilkan melalui takwil berdasarkan bahasa.
Penakwilan berdasarkan bahasa dilakukan dengan cara tekstual, kontekstual atau majaz.
4. Takwil tidak boleh bertentangan dengan nasah yang qath’i lantaran nash tersebut belahan dari aturan syara’ yang umum.
Takwil yakni metode ijtihad yang bersifat zanni, sedangkan zanni tidak akan berpengaruh melawan yang qath’i. Contohnya menakwillan kisah- cerita yang ada dalam al Qur’an dengan mengubah arti yang zahir menjadi fiksi (yang tidak terjadi). Penakwilan menyerupai iu bertentangan dengan kejelasan ayat yang qath’i yang mengakibatkan cerita tersebut sebagai insiden sejarah yang nyata.
5. Arti dari penakwilan nash harus lebih berpengaruh dari arti zahir yakni dikuatkan dengan dalil.
Contoh perihal petentangan antara juz’i dan dasar umum. Nash yang berarti juz’i dikompromikan artinya dengan dasar umum yaitu dengan cara mentaqyid dan dasar umum itu merupkan dalil yang lebih kuat. Telah dijelaskan beberapa mentaqyid hak kekuasaan atas harta tanpa memadaratkan tetangga dengan mengamalkan dasar umum yakni sabda Nabi SAW:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
”Tidak madarat dan tidak memadaratkan ”
Hal itu termasuk kamaslahatan individu, sedang penakwilannya berdasarkan kemaslahatan umum yang dijadikan dalil yakni lebih berpengaruh dari pada zahir lafadh. Begitu pula bertentangan antara zahir dengan nash tidak diragukan lagi bahwa nash itu menaksis yang zahir lantaran nash lebih berpengaruh dan lebih jelas. Selain itu ucapan juga membutuhkan arti orisinil maksud harus diutamakan.
Juga perihal penakwilan yang berdasarkan pesan tersirat pelatihan syari’at. Hal itu merupakan roh nash yang menguatkan dan merupakan tujuan pokok. Tidak diragukan lagi bahwa maksud disyari’atkannya sesuatu itu lebih berpengaruh daripada zahir lafadhnya.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan perihal pengertian dzahir, takwil macam-macam takwil dan syarat takwil. Sumber Buku Fiqih Ushul Fiqih Kelas XII MA. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.