Memahami Makna Al-Asma’ Al-Husna Al-Aziz, Al-’Adl Dan Al-Qayyum
Tuesday, July 21, 2020
Edit
1) AL’AZIZ (Maha Perkasa)
Al-Aziz ialah nama Allah Swt yang menunjuk pada pengertian kekuatan, hegemoni, ketinggian, dan mengendalikan. Al-’Aziz juga merupakan nama Allah Swt yang mengatakan keperkasaan Allah Swt. KeperkasaanNya tidaklah bisa diukur oleh insan ataupun makhluk lainnya. Allah Swt berfirman dalam QS. Yasin ayat 1-5 yang mengatakan bahwa diriNya yang mempunyai Maha Keperkasaan dan Maha kasih sayang. Yaitu:
“Wahai Yasin (Muhammad), demi Al-Quran yang penuh hikmah, bersama-sama engkau sungguh ialah termasuk para Rasul. Yang berada di atas jalan yang lurus. Yang diturunkan oleh Allah Yang Maha Perkasa dan Bijaksana”.
Dalam ayat ini, Allah memaklumatkan bahwa diriNya-lah yang Maha Perkasa dan Maha Bijaksana, tiada yang bisa mengungguli keperkasaan Allah Swt. Misalnya dalam menggerakkan matahari di atas kita, Allah Swt Maha Perkasa untuk menjaganya hingga nanti hari kiyamat.
Dalam Al-Quran penyebutan kata Al-Aziz sering kali diiringi dengan kata al-hakim atau kata al-Rahim. Misalnya dalam surah al-Maidah :118:
“Jika Engkau mengampuni mereka, maka bersama-sama Engkaulah al-Aziz dan al-Hakim (yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana)”.
Hal ini mengatakan bahwa sifat Maha Keperkasaan, Maha KekuatanNya, sifat Maha Mengendalikan-Nya senantiasa diiringi dengan Kebijaksanaan Allah dan kasih sayang Allah Swt.
2) Al-‘Adl (Maha Adil).
Kata ‘adl di dalam Al-Qur’an mempunyai aspek dan objek yang beragam, begitu pula pelakunya. Keragaman tersebut menjadikan keragaman makna ‘adl (keadilan).
Menurut penelitian M. Quraish Shihab bahwa —paling tidak— ada empat makna keadilan.
Pertama, ‘adl di dalam arti ‘sama’.
Kedua, ‘adl di dalam arti ‘seimbang’.
Ketiga, ‘adl di dalam arti ‘perhatian terhadap hak-hak individu dan memberi kan hakhak itu kepada setiap pemiliknya’. Pengertian inilah yang didefnisikan dengan ‘menempatkan sesuatu pada tempatnya’ atau ‘memberi pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat’
Keempat, ‘adl di dalam arti ‘yang dinisbahkan kepada Allah’. ‘Adl di sini berarti ‘memelihara kewajaran atas ber lanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan keberadaan dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak ke mungkin an untuk itu’. Jadi, keadilan Allah Swt intinya merupakan rahmat dan kebaikan-Nya. Keadilan Allah Swt mengan dung konsekuensi bahwa rahmat Allah swt. tidak tertahan untuk diperoleh sejauh makhluk itu sanggup meraihnya. Allah Swt mempunyai hak atas semua yang ada, sedangkan semua yang ada tidak mempunyai sesuatu di sisiNya.
M. Quraish Shihab menegaskan bahwa insan yang bermaksud meneladani sifat Allah yang al-‘Adl ini—setelah meyakini keadilan Allah—dituntut untuk menegak kan keadilan walau terhadap keluarga, ibu bapak, dan dirinya, bahkan terhadap musuhnya sekalipun. Keadilan pertama yang dituntut ialah dari dirinya dan terhadap dirinya sendiri, yakni dengan jalan meletakkan syahwat dan amarahnya sebagai tawanan yang harus mengikuti perintah nalar dan agama; bukan menjadikannya tuan yang mengarahkan nalar dan tuntunan agama. Karena jikalau demikian, ia justru tidak berlaku ‘adl, yakni menempatkan sesuatu pada tempatnya yang wajar.
3) Al-Qayyum: (Maha Berdiri Sendiri Mengurusi Makhluk).
Al-Qayyum ialah salah satu dari AsmƗul ۉusnƗ . Al-Qayyum artinya Maha (cermat) Berdiri sendiri dalam Mengurusi hamba-hambaNya. Allah Swt berfirman dalam ayat Kursi (al-Baqarah 2:255), bahwa Allah tak tersentuh oleh rasa kantuk sedikitpun, tidak juga tersentuh oleh tidur. Hal ini disebabkan lantaran Allahlah yang Maha Suci dari sifat-sifat kekurangan yang hanya dialami oleh makhlukNya.
“Allah, tiada Tuhan selain Dia, yang Maha Hidup dan Maha Mengurusi. Dia tak tersentuh oleh rasa kantuk dan tidur” (QS. al-Baqarah :255).
Nabi dalam doa hariannya juga berdoa memakai lafal Ya Hayyu Ya Qayyum, yaitu:
“Ya Allah Yang Maha Hidup lagi Maha Mengurusi hambaNya, dengan rahmatMu kami mohon pertolongan, perbaikilah keadaan kusemuanya, dan jangan Engkau serahkan padaku (akal dan kekuatanku), sekejap mata-pun”.
Allah lah yang mengurusi dan memperbaiki alam semesta sehabis di lakukan perusakan oleh manusia, tiada yang lebih baik daripada perbuatan Allah Swt dalam mengurusi dan memperbaikinya. Misalnya ada insan yang mengotori tanah dengan limbah-limbah, nanti Allah swt akan memperbaiki juga walau jikalau kita melihatnya akan memerlukan waktu yang lama.
Allah Swt tidaklah tersentuh oleh rasa lelah, kantuk dan tidur. Suatu dikala Nabi Musa As. bertanya kepada Allah Swt: “Ya Allah, tidakkah Engkau merasa lelah dalam menjaga makhluk-makhlukMu, juga alam semesta ini?” Maka, Allah memerintah Musa As. untuk mengambil sebuah cermin. Allah Swt berfirman: “Ambillah sebuah cermin wahai Musa, kemudian peganglah ia, satu malam saja dengan berdiri, jangan hingga cermin tersebut jatuh”.
Lalu Nabi Musa mengambil dan memegang cermin itu, dan berusaha bangun semalam untuk menjaga cermin tersebut supaya tidak jatuh. Dan sampailah pertengahan malam, dan lantaran lelah dan berat rasa kantuk Nabi Musa, maka terjatuhlah cermin itu dari tangan Mabi Musa. Setelah terjatuh, maka cermin itu jatuh berkeping-keping. Lalu Nabi Musa mengambil pecahan-pecahan cermin.
Al-Aziz ialah nama Allah Swt yang menunjuk pada pengertian kekuatan, hegemoni, ketinggian, dan mengendalikan. Al-’Aziz juga merupakan nama Allah Swt yang mengatakan keperkasaan Allah Swt. KeperkasaanNya tidaklah bisa diukur oleh insan ataupun makhluk lainnya. Allah Swt berfirman dalam QS. Yasin ayat 1-5 yang mengatakan bahwa diriNya yang mempunyai Maha Keperkasaan dan Maha kasih sayang. Yaitu:
يس. وَالْقُرْآنِ الْحَكِيمِ . إِنَّكَ لَمِنَ الْمُرْسَلِينَ . عَلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ . تَنْزِيلَ الْعَزِيزِ الرَّحِيمِ
“Wahai Yasin (Muhammad), demi Al-Quran yang penuh hikmah, bersama-sama engkau sungguh ialah termasuk para Rasul. Yang berada di atas jalan yang lurus. Yang diturunkan oleh Allah Yang Maha Perkasa dan Bijaksana”.
Dalam ayat ini, Allah memaklumatkan bahwa diriNya-lah yang Maha Perkasa dan Maha Bijaksana, tiada yang bisa mengungguli keperkasaan Allah Swt. Misalnya dalam menggerakkan matahari di atas kita, Allah Swt Maha Perkasa untuk menjaganya hingga nanti hari kiyamat.
Dalam Al-Quran penyebutan kata Al-Aziz sering kali diiringi dengan kata al-hakim atau kata al-Rahim. Misalnya dalam surah al-Maidah :118:
إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ ۖ وَإِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Jika Engkau mengampuni mereka, maka bersama-sama Engkaulah al-Aziz dan al-Hakim (yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana)”.
Hal ini mengatakan bahwa sifat Maha Keperkasaan, Maha KekuatanNya, sifat Maha Mengendalikan-Nya senantiasa diiringi dengan Kebijaksanaan Allah dan kasih sayang Allah Swt.
2) Al-‘Adl (Maha Adil).
Kata ‘adl di dalam Al-Qur’an mempunyai aspek dan objek yang beragam, begitu pula pelakunya. Keragaman tersebut menjadikan keragaman makna ‘adl (keadilan).
Menurut penelitian M. Quraish Shihab bahwa —paling tidak— ada empat makna keadilan.
Pertama, ‘adl di dalam arti ‘sama’.
Kedua, ‘adl di dalam arti ‘seimbang’.
Ketiga, ‘adl di dalam arti ‘perhatian terhadap hak-hak individu dan memberi kan hakhak itu kepada setiap pemiliknya’. Pengertian inilah yang didefnisikan dengan ‘menempatkan sesuatu pada tempatnya’ atau ‘memberi pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat’
Keempat, ‘adl di dalam arti ‘yang dinisbahkan kepada Allah’. ‘Adl di sini berarti ‘memelihara kewajaran atas ber lanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan keberadaan dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak ke mungkin an untuk itu’. Jadi, keadilan Allah Swt intinya merupakan rahmat dan kebaikan-Nya. Keadilan Allah Swt mengan dung konsekuensi bahwa rahmat Allah swt. tidak tertahan untuk diperoleh sejauh makhluk itu sanggup meraihnya. Allah Swt mempunyai hak atas semua yang ada, sedangkan semua yang ada tidak mempunyai sesuatu di sisiNya.
M. Quraish Shihab menegaskan bahwa insan yang bermaksud meneladani sifat Allah yang al-‘Adl ini—setelah meyakini keadilan Allah—dituntut untuk menegak kan keadilan walau terhadap keluarga, ibu bapak, dan dirinya, bahkan terhadap musuhnya sekalipun. Keadilan pertama yang dituntut ialah dari dirinya dan terhadap dirinya sendiri, yakni dengan jalan meletakkan syahwat dan amarahnya sebagai tawanan yang harus mengikuti perintah nalar dan agama; bukan menjadikannya tuan yang mengarahkan nalar dan tuntunan agama. Karena jikalau demikian, ia justru tidak berlaku ‘adl, yakni menempatkan sesuatu pada tempatnya yang wajar.
3) Al-Qayyum: (Maha Berdiri Sendiri Mengurusi Makhluk).
Al-Qayyum ialah salah satu dari AsmƗul ۉusnƗ . Al-Qayyum artinya Maha (cermat) Berdiri sendiri dalam Mengurusi hamba-hambaNya. Allah Swt berfirman dalam ayat Kursi (al-Baqarah 2:255), bahwa Allah tak tersentuh oleh rasa kantuk sedikitpun, tidak juga tersentuh oleh tidur. Hal ini disebabkan lantaran Allahlah yang Maha Suci dari sifat-sifat kekurangan yang hanya dialami oleh makhlukNya.
اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ۚ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ
“Allah, tiada Tuhan selain Dia, yang Maha Hidup dan Maha Mengurusi. Dia tak tersentuh oleh rasa kantuk dan tidur” (QS. al-Baqarah :255).
Nabi dalam doa hariannya juga berdoa memakai lafal Ya Hayyu Ya Qayyum, yaitu:
“Ya Allah Yang Maha Hidup lagi Maha Mengurusi hambaNya, dengan rahmatMu kami mohon pertolongan, perbaikilah keadaan kusemuanya, dan jangan Engkau serahkan padaku (akal dan kekuatanku), sekejap mata-pun”.
Allah lah yang mengurusi dan memperbaiki alam semesta sehabis di lakukan perusakan oleh manusia, tiada yang lebih baik daripada perbuatan Allah Swt dalam mengurusi dan memperbaikinya. Misalnya ada insan yang mengotori tanah dengan limbah-limbah, nanti Allah swt akan memperbaiki juga walau jikalau kita melihatnya akan memerlukan waktu yang lama.
Allah Swt tidaklah tersentuh oleh rasa lelah, kantuk dan tidur. Suatu dikala Nabi Musa As. bertanya kepada Allah Swt: “Ya Allah, tidakkah Engkau merasa lelah dalam menjaga makhluk-makhlukMu, juga alam semesta ini?” Maka, Allah memerintah Musa As. untuk mengambil sebuah cermin. Allah Swt berfirman: “Ambillah sebuah cermin wahai Musa, kemudian peganglah ia, satu malam saja dengan berdiri, jangan hingga cermin tersebut jatuh”.
Lalu Nabi Musa mengambil dan memegang cermin itu, dan berusaha bangun semalam untuk menjaga cermin tersebut supaya tidak jatuh. Dan sampailah pertengahan malam, dan lantaran lelah dan berat rasa kantuk Nabi Musa, maka terjatuhlah cermin itu dari tangan Mabi Musa. Setelah terjatuh, maka cermin itu jatuh berkeping-keping. Lalu Nabi Musa mengambil pecahan-pecahan cermin.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan wacana memahami makna al-Asma’u al-Husna: Al-Aziz, Al-’Adl dan Al-Qayyum. Semoga kita bisa mengamalkan sifat Allah Swt Al-Aziz, Al-’Adl dan Al-Qayyum dalam kehidupan sehari-hari. Aamiin. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.