Ibu, Ayah, Cukuplah Berlangsung Di Sisik
Sunday, August 13, 2017
Edit
Apa yang menghasilkan mereka sanggup menjadi tanggu menyerupai ini?
PERNAH tidak, menyaksikan seorang Ibu, Ayah yang menggandeng anaknya dengan tergesa? Lihatlah betapa anaknya sekuat tenaga, terpontang panting, bahkan terjatuh untuk mengejar-ngejar tindakan besar sang penuntun.
Lalu dengan emosi, ibu dan ayahnya malah menyalahkan wacana langkahnya yang lambat, konsentrasinya yang kurang. Cobalah renungkan, siapa yang salah sebenarnya?
Kadang kita tidak menyadari bahwa kita selaku orangtua terlalu egois menuntut anak untuk sanggup mengimbangi kita.
Makan mesti cepat, tidak berhambur. Jalan mesti cepat dan fokus, tidak menoleh kanan kiri. Bermain yang higienis saja. Berbicara secukupnya saja. Allahu Akbar!
Betapa semua terasa menyakitkan begitu mendengar lugunya berkata sembari meniadakan isak alasannya yakni terjatuh:
“Ummi gandeng mbak tapi ummi jalan cepat-cepat. Kaki mbak kecil, nggak menyerupai kakiummi.”
Ya, sebagian besar anak tidak berani menegur orangtuanya saat berada pada suasana ini. Mereka lebih menegaskan bungkam.
Sbagian lagi mengambil resiko gres dengan menangis saja. Sekalipun nantinya akan memanggil dilema baru.
Mereka sejatinya yakni cerminan para orangtua. Apa yang ditangani orangtua akan membekas pada kehidupannya kelak. Lihatlah bila anak terus diperlakukan demikian.
Kelak saat besar, anak akan susah mengontrol sikapnya. Percaya dirinya berkurang. Takut salah. Hingga pada tingkat pengejar kesempurnaan.
Ingin semua berlangsung sesuai keinginannya. Tidak sanggup menangguhkan keinginan. Kurang kesabaran. Dan yang bertanggung jawab atas semua itu yakni apa yang dilalui semasa kecilnya.
Lihatlah bawah umur sekarang. Orangtua sibuk membelikan gadget brand modern untuk menggembirakan anak. Pasang channel televisi full time untuk memberi hiburan terhadap anak. Mendaftarkan anak untuk les hingga waktu 24 jam terasa kurang.
Banyak orangtua mengabaikan bawah umur mereka mencar ilmu watak dan sunnah Nabi. Tapi merasa rugi jikalau tak mengajarkan les berenang, memanah atau berkuda.
Spesifikasinya bukan pula cuma terbatas pada ketiga hal itu saja. Tetapi contoh kemajuan psikologi dan motorik anak juga mesti dikembangkan.
Mengajari anak berenang, memanah dan berkuda tentunya sanggup membangun keyakinan diri dan keberaniannya. Olahraga dan olah badan semacamnya juga sanggup dijadikan pengganti bila keadaan tidak memungkinkan.
Tetapi, olah badan dan olah fisik tak akan mempunyai arti apa-apa jikalau ruhiyah dan karakternya tidak bagus.
Lihatlah bagaimana bawah umur Gaza di Palestina berkembang menjadi anak yang sungguh mengasihi agamanya di usia belia. Keberanian dan mental baja tertanam begitu besar lengan berkuasa dan tertanam dalam diri mereka sejak lahir.
Bukan cuma alasannya yakni mereka tinggal di tempat konflik. Tapi alasannya yakni mereka lahir dan hidup pendidikan huruf mereka yang dikawal dengan kurikulum al-Qur’an dan as-Sunnah.
Lihatlah bagaimana sanggup terlahir generasi menyerupai Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Khalid bin Walid, Hamzah, Bilal yang dimengerti tangguh. Bahkan dengar seorang Umar Bin Khattab jalan, syetan dan jin sanggup lari terbirit-birit.
Di riwiyatkan ‘Aisyah R.A, Rasulullah pernah bersabda: “Sungguh saya menyaksikan setan-setan jin dan manusia, lari terbirit-birit saat menyaksikan Umar.” (HR: al-Tirmidzi)
Egoisme
Ya, sering kali kita lupa. Egoisme kita selaku orangtua terlalu tinggi. Keinginan dan prospek kita terlalu banyak.
Sehingga kita terbawa menyebabkan anak selaku ujung tombak tanpa mengasahnya apalagi dahulu.
Hanya mengandalkan kekuatan lemparan untuk hingga ke sasaran. Padahal tanpa runcingnya ujung tombak, beliau tidak akan menancap sempurna.
Hanya mengandalkan kekuatan lemparan untuk hingga ke sasaran. Padahal tanpa runcingnya ujung tombak, beliau tidak akan menancap sempurna.
Cukuplah berlangsung di sisinya. Jadikan beliau rekan kerja, sobat bermain, sahabat, murid dan guru.
Belajar menjadi orangtua yang baik, selama nafas masih sanggup dihembus.Astaghfirullahal ‘adzhiim.
Rabbiy habliy minas shalihin. Wallaahu a’lam.*/Rizky N. Dyah, seorang guru, tinggal di Kutai Barat