Kisah-Kisah Di Balik Keajaiban Shalat Hajat
Monday, August 21, 2017
Edit
Mereka yang mendapat keajaiban Shalat Hajat
A. Menghidupkan Keledai yang Mati
Diriwayatkan dari Abu Sirah an-Nakh’iy, beliau berkata,“Seorang pria menempuh perjalanan dari Yaman. Di tengah perjalan keledainya mati, kemudian beliau mengambil wudhu kemudian shalat dua rakaat, sehabis itu berdoa. Dia mengucapkan, “Ya Allah, sesungguhnya saya tiba dari negeri yang sungguh jauh guna berjuang di jalan-Mu dan mencari ridha-Mu. Saya bersaksi tolong-menolong Engkau menggugah makhluk yang mati dan menggugah insan dari kuburnya, janganlah Engkau jadikan saya berhutang akal terhadap seseorang pada hari ini. Pada hari ini saya memohon terhadap Engkau agar menggugah keledaiku yang sudah mati ini.” Maka, keledai itu bangun seketika, kemudian mengibaskan kedua telinganya.” (HR Baihaqi; ia mengatakan, sanad dongeng ini shahih)
B. Tercapainya Seluruh Hajat
Di dalam kitab Hasyiyatu Ibnu ‘Aabidiin, disebutkan bahwa di dalam shalat hajat, pada rakaat pertama dibaca surah Al-Fatihah dan ayat Kursi tiga kali kemudian pada tiga rakaat sisanya dibaca surah Al-Fatihan dan Al-Ikhlash, Al-Falak, dan An-Nas satu kali. Maka itu seimbang dengan Lailatul Qadr . Guru-gurunya melaksanakan shalat ini, dan tercapai seluruh hajatnya.
C. Dikabulkan Permintaannya Oleh Khalifah Utsman bin Afan
Dalam kitab Mu’jamu ash-Shoghir wal Kabiir, Imam Thabrani menceritakan:
Ada seorang pria memiliki keperluan (hajat), kemudian ia memintanya terhadap Amirulmukminin Utsman bin Afan, tetapi Utsam bin Afan tidak menampilkan apa yang dimintanya. Kemudian ia berjumpa seseorang, yakni Utsman bin Hunaif. Lalu ia mengadukan permasalannya kepadanya. Akhirnya, Utsman bin Hunaif menyuruhnya untuk melaksanakan shalat hajat, sebagaimana yang sudah diajarkan –tata caranya– dalam hadits. Kemudian, ia pun mengerjakannya. Setelah itu, ia pun tiba kembali menemui Utsam bin Afan. Tidak disangka, Utsam bin Afan memuliakannya dan mengabulkan undangan pria tersebut. Dengan insiden itu, ia pun menemui Utman bin Hunaif (yang sudah mengajarkannya shalat hajat) dan mengucapkan terima kasih kepadanya.
D. Ditolong Oleh Gubernur Thulun –Mesir–
Abu Al-Hasan As-Shaffar Al-Faqih berkata dan menceritakan,
Suatu ketika, kami bareng Al-Hasan bin Sufyan An-Naswi. Banyak orang-orang terhormat yang mengunjunginya dari banyak sekali negeri yang jauh untuk mengikuti majelis taklimnya, guna menuntut ilmu dan mencatat riwayat hadits.
Suatu hari, ia pergi menuju majelisnya, wilayah ia menyodorkan riwayat-riwayat hadis, kemudian ia berkata, “Dengarkanlah apa yang mau saya sampaikan terhadap kalian sebelum kita mengawali pelajaran. Kami memaklumi bahwa kalian merupakan sekelompok orang yang diberikan banyak kenikmatan dan tergolong orang-orang yang terpandang. Kalian lewati negeri kalian, berpisah dari kampung halaman dan teman-teman, cuma demi menuntut ilmu dan mencatat riwayat hadits. Kalian tidak menyadari bahwa kalian sudah menempuh semua kesusahan ini demi ilmu, atau sudah menanggung apa yang sudah kalian tanggung, yakni berupa kesusahan dan kecapekan yang menjadi salah satu konsekuensinya. Sesungguhnya saya ingin menceritakan terhadap kalian sebagian kesusahan yang saya alami di dalam menuntut ilmu, serta bagaimana Allah SWT menampilkan jalan keluar untukku dan para sahabatku –dengan keberkahan ilmu dan kemurnian aqidah– dari segala kesempitan dan kesulitan. Ketahuilah, sejak muda saya sudah meninggalkan kampung halaman untuk menuntut ilmu dan mencatat riwayat hadits.
Takdir membawaku hingga ke Maroko, kemudian menuju Mesir, bareng tujuh orang sahabatku sesama penuntut ilmu dan pendengar hadits. Kami kemudian menimba ilmu terhadap seorang guru, ulama yang paling menonjol pada waktu itu. Paling banyak meriwayatkan hadits, paling mengenali sanad-sanadnya, dan paling asli periwayatan hadisnya. Ia menerangkan hadis saban hari sedikit demi sedikit, sehingga mengkonsumsi waktu yang cukup lama. Akibatnya, kami menjadi kekurangan bekal. Kondisinya hingga memaksa kami untuk memasarkan barang-barang yang kami bawa, berupa baju dan celana. Akhirnya, tidak ada lagi milik kami yang tersisa untuk menemukan ongkos makan satu hari pun.
Tiga hari tiga malam kami lalui tanpa sanggup merasakan sesuatu apa pun. Sampai pada suatu pagi di hari keempat, tak satu pun di antara kami yang sanggup bergerak lantaran kelaparan. Kondisinya memaksa kami mesti menahan rasa malu dan mengorbankan tampang kami untuk meminta-minta, padahal diri kami menolak dan hati kami merasa keberatan.
Setiap orang dari kami menolak melaksanakan hal itu, tetapi suasana dan kondisinya sungguh-sungguh memaksa untuk meminta-minta. Akhirnya, seluruhnya sepakat untuk menuliskan nama-nama kami di atas suatu kain dan meletakkannya di atas air, barangsiapa yang namanya timbul ke permukaan, maka ia yang mesti pergi meminta dan mencari masakan untuk dirinya serta sahabat-sahabatnya.
Kain yang tertulis dengan namaku kemudian timbul ke permukaan. Aku gelisah dan terkejut, dalam hatiku menolak untuk meminta-minta dan menanggung hina. Lalu, saya bergegas pergi ke satu sudut masjid untuk melaksanakan shalat dua rakaat dalam waktu cukup lama. Berdoa terhadap Allah SWT dengan nama-nama-Nya yang Mahaagung dan kalimat-kalimat-Nya yang Mahamulia, biar menetralisir kesusahan ini dan menampilkan jalan keluarnya.
Belum simpulan saya melaksanakan shalat, seorang cowok ganteng tiba-tiba masuk ke dalam masjid dengan busana higienis dan amis yang wangi, dibarengi oleh seorang pengawal yang memegang suatu sapu tangan.
Ia bertanya, “Siapa di antara kalian yang berjulukan Al-Hasan bin Sufyan?”
Aku mengangkat kepalaku dari sujudku, kemudian menjawab, “Aku Al-Hasan bin Sufyan, apa yang Anda inginkan?”
Ia menjawab, “Sesungguhnya sahabatku, Gubernur Ibnu Thulun menyodorkan salam hormat dan tuntutan maafnya atas kelalaiannya di dalam menampilkan perhatian perihal keadaan kalian, juga atas kelalaian yang terjadi di dalam menyanggupi hak-hak kalian. Ia mengantarkan sejumlah bekal untuk hari ini. Sedangkan besok, ia sendiri yang mau mendatangi kalian untuk meminta maaf secara langsung.”
Pemuda tersebut menampilkan di tanganku masing-masing suatu pundi berisi duit seratus dinar. Aku heran dan kebingungan.
Maka, saya berkata terhadap cowok tersebut, “Ada kisah apakah dibalik ini semua?”
Ia berkata, “Aku merupakan salah seorang pramusaji khusus Gubernur Ibnu Thulun.
Pagi tadi, saya menemuinya bareng sejumlah kawan dekat yang lain, kemudian gubernur menyampaikan kepadaku, “Hari ini saya ingin menyendiri, maka pulanglah kalian ke tempat tinggal masing-masing!”
Aku pun pulang bareng yang lainnya. Sesampainya di rumah, belum sempat saya duduk, seorang delegasi gubernur mendatangiku dengan tergesa-gesa, memintaku untuk kembali. Aku secepatnya menyanggupi panggilannya dan mendapat gubernur sedang berada sendirian di rumahnya. Ia menaruh tangan kanannya di atas pinggangnya, menahan rasa sakit yang teramat sungguh di dalam perutnya.
Ia berkata kepadaku, “Apakah engkau mengenal Al-Hasan bin Sufyan dan sahabat-sahabatnya?”
Aku menjawab, “Tidak.”
Ia berkata lagi, “Pergilah ke sektor fulan dan masjid fulan, bawalah pundi-pundi ini dan serahkan kepadanya dan para sahabatnya. Sudah tiga hari mereka kelaparan dengan keadaan yang mengenaskan. Sampaikan undangan maafku, dan katakan bahwa besok pagi saya akan mendatangi mereka untuk meminta maaf secara langsung.”
Pemuda itu berkata, “Aku menanyakan ihwal alasannya yang menjadikannya berbuat demikian, maka ia berkata, ‘Ketika saya masuk ke dalam rumah ini sendiri untuk beristirahat sesaat, saya tertidur dan berkhayal menyaksikan seorang penunggang kuda sedang berlari di angkasa dengan begitu stabilnya –seperti layaknya berlari di atas hamparan bumi– sambil memegang sebilah tombak. Aku melihatnya sambil tercengang hingga ia turun di depan pintu rumah ini, kemudian menaruh tombaknya di atas pinggangku, dan berkata, ‘Bangun, dan temuilah Al-Hasan bin Sufyan dan para sahabatnya.’ Bangun, dan temuilah mereka, sesungguhnya mereka kelaparan sejak tiga hari yang kemudian di masjid fulan!’
Aku bertanya, ‘Siapakah engkau?” Ia menjawab, ‘Aku Ridhwan, penjaga pintu surga.’ Semenjak ia menaruh ujung tombaknya di pinggangku, saya merasakan sakit yang teramat sangat, membuatku tidak sanggup bergerak. Maka, segeralah engkau sampaikan duit ini terhadap mereka, biar rasa sakit ini menghilang dariku.”
Al-Hasan berkata, “Kami tercengang mendengar kisah tersebut, bersyukur terhadap Allah SWT dan sanggup memperbaiki kembali keadaan kami. Namun, diri kami merasa tidak tenteram lagi untuk menetap di wilayah itu. Agar kami tidak dikunjungi oleh gubernur dan belakang layar kami dikenali oleh orang lain, sehingga menyembabkan melambungnya reputasi dan kedudukan kami, dan semua itu akan membuat sifat riya’. Maka, malam itu juga kami meninggalkan Mesir. Dan, ternyata setiap orang dari kami menjadi seorang tokoh ulama dan terpandang di zamannya.
Keesokan paginya, Gubernur Ibnu Thulun tiba ke wilayah itu untuk mendatangi kami, kemudian dikabarkan kepadanya perihal kepergian kami. Kemudian, ia mengutus untuk berbelanja pertokoan/pasar seluruhya dan mewakafkannya untuk kepentingan masjid dan para perantau, orang-orang penting, dan para penuntut ilmu selaku bekal mereka, biar keperluan mereka tidak lagi terabaikan dan tidak mengalami menyerupai yang kami alami. Semua itu disebabkan oleh kekuatan agama, kebersihan aqidah dan Allah SWT Maha Pemberi Taufiq.”
***
Dari Sahabat
Sumber:http://ervakurniawan.wordpress.com/2012/01/11/kisah-kisah-di-balik-keajaiban-shalat-hajat/