Biografi Prof. Dr. Nurcholish Madjid Serta Pendidikan Dan Karyanya
Thursday, April 23, 2020
Edit
Prof. Dr. Nurcholish Madjid lahir pada 17 Maret 1939, di tengah gejolak usaha politik menuju kemerdekaan Indonesia, di Desa Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur. Desa ini mempunyai dinamika keagamaan yang istimewa, tempat penghuninya meletakkan pendidikan pada posisi yang utama. Mayoritas penduduk Jombang yaitu santri, dengan tradisi tarekat (sufisme) yang besar lengan berkuasa dan secara otomatis menjadi bab alami dari diri Nurcholish.
Orangtua Nurcholish tiba dari lingkungan Nahdlatul Ulama dan Masyumi. Ibunda Nurcholish, Fathonah, dipilih menjadi istri ayahnya, Abdul Madjid, atas perintah Kiai Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Fathonah putri keluarga pengusaha yang taat beragama. Abdul Madjid yaitu petani dan guru, yang bersama istrinya kemudian mendirikan Madrasah Al-Wathaniah di Mojoanyar. Sang ayah yaitu politisi Masyumi, yang jarang berada di tempat itu, meski tetap memegang tradisi NU secara kuat. Tradisi yang kosmopolit dan menghargai keragaman ibarat itulah yang kelak akan mewarnai Paramadina, forum yang didirikannya.
Kepribadian dan pikiran Nurcholish terbentuk pada masa dewasa dikala ia sekolah di Pondok Modern Gontor. Pesantren ini sangat progresif dan modern, baik dalam metode pengajaran maupun gaya hidup para santrinya. Santri diperbolehkan main musik dan mengenakan celana, bukannya sarung. Kurikulum di Gontor mengkombinasikan kajian Islam dan sekular dengan metode pengajaran modern: pengantar bahasa Arab dan Inggris.
Selesai dari Gontor, Nurcholish pergi ke Jakarta untuk melanjutkan pelajaran di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta (sekarang Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta). Dia menentukan Fakultas Adab (sastra dan peradaban) sebagai tempat ia memperoleh gelar sarjana pada 1968. Nurcholish menulis skripsi berjudul: “Al Quran: Arab dalam Kata, Universal dalam Makna”.
Selama menjadi mahasiswa di IAIN sampai beberapa tahun kemudian, Nurcholish sering mendengar khutbah Jumat di Masjid Al-Azhar, Jakarta. Khatib favoritnya yaitu Buya Hamka, ulama sufi modern Indonesia, memenuhi kerinduannya akan tradisi tarekat di kampungnya. Melalui Hamka ia diperkenalkan pada gagasan Ibnu Taimiyah, yang kelak akan menjadi subjek disertasi doktornya di Universitas Chicago, Amerika Serikat: “Ibn Taymiyya on Kalam and Falsafa: A Problem of Reason and Revelation in Islam”.
Pada 1963, Nurcholish mulai terlibat dalam acara mahasiswa dan bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan empat tahun kemudian ia terpilih menjadi Ketua Umum untuk masa jabatan dua tahun. Dia menjadi ketua pertama yang mempunyai latar belakang pendidikan Islam dan terpilih kembali untuk masa jabatan berikutnya pada 1969. Nurcholish juga menjadi Ketua Perhimpunan Mahasiswa Asia Tenggara 1967-1969, dan dengan itu ia mengenal pemimpin muda Islam Malaysia, Anwar Ibrahim, yang kemudian menjadi teman bertukar gagasan.
Nurcholish juga Asisten Sekjen dan pendiri International Islamic Federation of Students Organizations 1968-1971 yang memberinya kesempatan bepergian ke luar negeri: ke Amerika Serikat, Mesir, Saudi Arabia, dan Suriah. Menurut Nurcholish, perjalanan ke Timur Tengah itu membuatnya yakin bahwa pembaruan drastis dalam pemikiran Islam sangat dibutuhkan, dan ia menyisihkan waktu untuk menulis ideologi Islam versinya sendiri.
Pada 1969, ia menelurkan booklet berjudul Nilai nilai Dasar Perjuangan (NDP), yang dikenal pula sebagai panduan orientasi ideologis anggota HMI dan juga diterima di kalangan intelektual muda Islam non HMI. Pada 1965, terjadi perubahan besar dalam politik Indonesia, Soekarno jatuh dan digantikan Soeharto. Orde Baru membawa perbaikan ekonomi Indonesia. Namun, pada masa ini pula meningkat represi terhadap ekspresi politik, khususnya yang berbasis Islam.
Di tengah situasi ibarat itu, pada Januari 1970, Nurcholish meluncurkan makalah dengan judul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” yang memicu perdebatan riuh di kalangan umat Islam. Kontroversi itu telah melejitkan Nurcholish menjadi tokoh publik. Namun, Nurcholish tetap menjaga diri dan menyisakan waktunya untuk acara lain berbagi gagasannya.
Pada awal 1970-an Nurcholish juga menerbitkan artikel di beberapa harian Jakarta. Artikel-artikel itu banyak membahas soal taktik pembangunan ekonomi di bawah Orde Baru dan menunjukkan tenggang rasa sosialnya yang besar kepada mereka yang miskin dan rentan. Artikel-artikel itu dibukukan 1993 di bawah judul “Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan”.
Setelah menerima gelar doktor dan kembali ke Indonesia pada 1985, banyak teman mendorongnya berbagi gagasan ke masyarakat Indonesia lebih luas. Dari sinilah kemudian Paramadina didirikan. Demokratisasi merupakan tema penting dalam debat nasional sepanjang 1990-an. Pada periode ini Nurcholish menjadi kontributor tetap di banyak sekali harian dan majalah, mendiskusikan banyak sekali tema dari iman, budaya sampai moral dalam politik Muslim kontemporer. Artikel pendek dan gampang dicerna ini, yang dibukukan dengan judul “Pintu-Pintu Menuju Tuhan” (1994) ibarat ingin menjawab kritik bahwa goresan pena Nurcholish terlalu akademis dan sulit bagi publik awam untuk memahaminya.
Pada waktu yang bersamaan, Paramadina menerbitkan buku lain Nurcholish, “Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah”. Buku ini berisi makalah Klub Kajian Agama (KAA) Paramadina semenjak awal 1990-an, mendiskusikan banyak sekali subjek, termasuk neo-sufisme. Buku dengan judul hampir sama, “Islam: Doktrin dan Peradaban” (1992) menjadi bukunya yang paling diminati.
Merenungkan peradaban Islam kian mendalam memandu Nurcholish mencari landasan kerjasama antar-agama. Pada selesai 1992 ia kembali menciptakan pidato yang isinya diperdebatkan secara luas: “Kehidupan Keagamaan di Indonesia untuk Generasi Mendatang”. Nurcholish berbicara wacana agama secara umum, tidak hanya Islam. Dia juga bicara soal agama yang inklusif dan universal, serta menekankan pencarian kesamaan platform antar-agama. Melawan belakang layar batas keterbukaan politik Soeharto, Nurcholish juga terus terlibat dalam debat publik pada 1990-an, mendorong keterbukaan, dan kemungkinan kritik publik dalam pembetukan masyarakat demokratis. Pada masa ini Nurcholish menulis sebuah artikel penting berjudul “Islamic Roots of Modern Pluralism, Indonesian Experience”.
Kumpulan goresan pena Nurcholish yang berisi balasan terhadap meningkatnya polarisasi agama dalam politik Indonesia, juga wacana humanisme, keadilan dan hak asasi insan terbit pada 1995 di bawah judul “Islam Agama Kemanusiaan”. Tak heran dikala angin puting-beliung demonstrasi mahasiswa melanda Indonesia pada 1997, menuntut mundurnya Soeharto, Nurcholish menjadi tempat orang untuk mencari panduan. Setelah Soeharto jatuh, Nurcholish ikut terlibat mendorong demokratisasi dengan antara lain menjadi Ketua Komite Pemberdayaan Pemilih (KPP) untuk pemilihan umum 1999. Sebuah periode gres demokratisasi di Indonesia, salah satu buah usaha Nurcholish Madjid.
Orangtua Nurcholish tiba dari lingkungan Nahdlatul Ulama dan Masyumi. Ibunda Nurcholish, Fathonah, dipilih menjadi istri ayahnya, Abdul Madjid, atas perintah Kiai Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Fathonah putri keluarga pengusaha yang taat beragama. Abdul Madjid yaitu petani dan guru, yang bersama istrinya kemudian mendirikan Madrasah Al-Wathaniah di Mojoanyar. Sang ayah yaitu politisi Masyumi, yang jarang berada di tempat itu, meski tetap memegang tradisi NU secara kuat. Tradisi yang kosmopolit dan menghargai keragaman ibarat itulah yang kelak akan mewarnai Paramadina, forum yang didirikannya.
Kepribadian dan pikiran Nurcholish terbentuk pada masa dewasa dikala ia sekolah di Pondok Modern Gontor. Pesantren ini sangat progresif dan modern, baik dalam metode pengajaran maupun gaya hidup para santrinya. Santri diperbolehkan main musik dan mengenakan celana, bukannya sarung. Kurikulum di Gontor mengkombinasikan kajian Islam dan sekular dengan metode pengajaran modern: pengantar bahasa Arab dan Inggris.
Selesai dari Gontor, Nurcholish pergi ke Jakarta untuk melanjutkan pelajaran di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta (sekarang Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta). Dia menentukan Fakultas Adab (sastra dan peradaban) sebagai tempat ia memperoleh gelar sarjana pada 1968. Nurcholish menulis skripsi berjudul: “Al Quran: Arab dalam Kata, Universal dalam Makna”.
Selama menjadi mahasiswa di IAIN sampai beberapa tahun kemudian, Nurcholish sering mendengar khutbah Jumat di Masjid Al-Azhar, Jakarta. Khatib favoritnya yaitu Buya Hamka, ulama sufi modern Indonesia, memenuhi kerinduannya akan tradisi tarekat di kampungnya. Melalui Hamka ia diperkenalkan pada gagasan Ibnu Taimiyah, yang kelak akan menjadi subjek disertasi doktornya di Universitas Chicago, Amerika Serikat: “Ibn Taymiyya on Kalam and Falsafa: A Problem of Reason and Revelation in Islam”.
Pada 1963, Nurcholish mulai terlibat dalam acara mahasiswa dan bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan empat tahun kemudian ia terpilih menjadi Ketua Umum untuk masa jabatan dua tahun. Dia menjadi ketua pertama yang mempunyai latar belakang pendidikan Islam dan terpilih kembali untuk masa jabatan berikutnya pada 1969. Nurcholish juga menjadi Ketua Perhimpunan Mahasiswa Asia Tenggara 1967-1969, dan dengan itu ia mengenal pemimpin muda Islam Malaysia, Anwar Ibrahim, yang kemudian menjadi teman bertukar gagasan.
Nurcholish juga Asisten Sekjen dan pendiri International Islamic Federation of Students Organizations 1968-1971 yang memberinya kesempatan bepergian ke luar negeri: ke Amerika Serikat, Mesir, Saudi Arabia, dan Suriah. Menurut Nurcholish, perjalanan ke Timur Tengah itu membuatnya yakin bahwa pembaruan drastis dalam pemikiran Islam sangat dibutuhkan, dan ia menyisihkan waktu untuk menulis ideologi Islam versinya sendiri.
Pada 1969, ia menelurkan booklet berjudul Nilai nilai Dasar Perjuangan (NDP), yang dikenal pula sebagai panduan orientasi ideologis anggota HMI dan juga diterima di kalangan intelektual muda Islam non HMI. Pada 1965, terjadi perubahan besar dalam politik Indonesia, Soekarno jatuh dan digantikan Soeharto. Orde Baru membawa perbaikan ekonomi Indonesia. Namun, pada masa ini pula meningkat represi terhadap ekspresi politik, khususnya yang berbasis Islam.
Di tengah situasi ibarat itu, pada Januari 1970, Nurcholish meluncurkan makalah dengan judul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” yang memicu perdebatan riuh di kalangan umat Islam. Kontroversi itu telah melejitkan Nurcholish menjadi tokoh publik. Namun, Nurcholish tetap menjaga diri dan menyisakan waktunya untuk acara lain berbagi gagasannya.
Pada awal 1970-an Nurcholish juga menerbitkan artikel di beberapa harian Jakarta. Artikel-artikel itu banyak membahas soal taktik pembangunan ekonomi di bawah Orde Baru dan menunjukkan tenggang rasa sosialnya yang besar kepada mereka yang miskin dan rentan. Artikel-artikel itu dibukukan 1993 di bawah judul “Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan”.
Setelah menerima gelar doktor dan kembali ke Indonesia pada 1985, banyak teman mendorongnya berbagi gagasan ke masyarakat Indonesia lebih luas. Dari sinilah kemudian Paramadina didirikan. Demokratisasi merupakan tema penting dalam debat nasional sepanjang 1990-an. Pada periode ini Nurcholish menjadi kontributor tetap di banyak sekali harian dan majalah, mendiskusikan banyak sekali tema dari iman, budaya sampai moral dalam politik Muslim kontemporer. Artikel pendek dan gampang dicerna ini, yang dibukukan dengan judul “Pintu-Pintu Menuju Tuhan” (1994) ibarat ingin menjawab kritik bahwa goresan pena Nurcholish terlalu akademis dan sulit bagi publik awam untuk memahaminya.
Pada waktu yang bersamaan, Paramadina menerbitkan buku lain Nurcholish, “Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah”. Buku ini berisi makalah Klub Kajian Agama (KAA) Paramadina semenjak awal 1990-an, mendiskusikan banyak sekali subjek, termasuk neo-sufisme. Buku dengan judul hampir sama, “Islam: Doktrin dan Peradaban” (1992) menjadi bukunya yang paling diminati.
Merenungkan peradaban Islam kian mendalam memandu Nurcholish mencari landasan kerjasama antar-agama. Pada selesai 1992 ia kembali menciptakan pidato yang isinya diperdebatkan secara luas: “Kehidupan Keagamaan di Indonesia untuk Generasi Mendatang”. Nurcholish berbicara wacana agama secara umum, tidak hanya Islam. Dia juga bicara soal agama yang inklusif dan universal, serta menekankan pencarian kesamaan platform antar-agama. Melawan belakang layar batas keterbukaan politik Soeharto, Nurcholish juga terus terlibat dalam debat publik pada 1990-an, mendorong keterbukaan, dan kemungkinan kritik publik dalam pembetukan masyarakat demokratis. Pada masa ini Nurcholish menulis sebuah artikel penting berjudul “Islamic Roots of Modern Pluralism, Indonesian Experience”.
Kumpulan goresan pena Nurcholish yang berisi balasan terhadap meningkatnya polarisasi agama dalam politik Indonesia, juga wacana humanisme, keadilan dan hak asasi insan terbit pada 1995 di bawah judul “Islam Agama Kemanusiaan”. Tak heran dikala angin puting-beliung demonstrasi mahasiswa melanda Indonesia pada 1997, menuntut mundurnya Soeharto, Nurcholish menjadi tempat orang untuk mencari panduan. Setelah Soeharto jatuh, Nurcholish ikut terlibat mendorong demokratisasi dengan antara lain menjadi Ketua Komite Pemberdayaan Pemilih (KPP) untuk pemilihan umum 1999. Sebuah periode gres demokratisasi di Indonesia, salah satu buah usaha Nurcholish Madjid.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan wacana biografi Prof. Dr. Nurcholish Madjid Serta pendidikan dan karyanya. Sumber Buku SKI Kelas XII MA Hal 200-203 Kementerian Agama Republik Indonesia, 2016. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.