Tarikat Rifa’Iyah | Tokoh Tarikat Rifa’Iyah Dan Aliran Tarikat Rifa’Iyah

Ajaran tarekat ini dibangun oleh Syekh Ahmad ar-Rifa’i (1182) di Bashra. Tarekat ini menyebar ke Mesir, Syria, Anatolia di Turki, Eropa Timur dan akhir-akhir ini di Amerika Utara. Ciri khas tarekat ialah pelaksanaan zikirnya yg dilakukan tolong-menolong & di iringi oleh bunyi gendang yg bertalu-talu. Zikir itu dilakukan hingga mencapai suatu keadaan dimana mereka sanggup melaksanakan perbuatan yg menakjubkan, antara lain berguling-guling dalam bara & tidak mempan oleh senjata tajam.

Rifa’iyah ialah sebuah Organisasi para santri K.H. Ahmad Rifa’i Desa Kalisalak Kecamatan Limpung – Batang – Jawa Tengah Indonesia. Untuk lebih mengenal perihal Rifaiyah disini saya paparkan mengenai tokoh utama Rifa’iyah yaitu Kyai Haji Ahmad Rifa’i.

Saya mengutip goresan pena ini dari buku karangan H. Ahmad Syadirin Amin yang berjudul "Pemikiran Kiai Ahmad Rifai Tentang Rukun Islam Satu" terbitan Jama’ah Masjid Baiturrahman Jakarta Pusat Tahun 1994/1415 H dengan harapan akan membantu anda mengenal siapa Kiai Ahmad Rifai sehingga diketahui asal muasal Rifa’iyah.

Tradisi K.H. Ahmad Rifa’i yang harus kita lestarikan ialah dia selalu mengawali setiap goresan pena dengan bacaan bismillah, hamdallah dan sholawat.

a. Tokoh Tarikat Rifa’iyah.
K. H. Ahmad Rifai dilahirkan pada 9 Muharam 1200 H atau 1786 di desa Tempuran Kabupaten Semarang (saat itu) dari pasangan suami isteri K.H. Muhammad Marhum Bin Abi Sujak, seorang Penghulu Landerad di Kendal dan Siti Rahmah. Pada waktu usia dia sekitar 6 tahun, ayah dia wafat (Semoga Allah Mengasihinya), sehingga Beliau menerima sentuhan kasih sayang dari seorang ayah dalam waktu yang sangat singkat.

Pada usianya yang begitu muda itu (6 tahun), dia (Kiai Ahmad) sudah diasuh oleh kakaknya yang berjulukan Nyai Rajiyah, istri Kiai As’ari seorang ulama pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Kaliwungu.

Di sinilah Kiai Ahmad Rifa’i berguru ilmu agama kepada kiai As’ari dan diamalkan melalui dakwah verbal dan goresan pena kepada rakyat sekitarnya, sebelum hingga kesuksesannya menelurkan banyak karya ilmiah yang sarat ilmu dan patriotisme serta impian kemerdekaan. Hal itu justru menghadirkannya pada suatu keadaan yang tidak menguntungkan baginya, yaitu: berpisah dengan keluarga dan menghabiskan masa-masa terakhir hidupnya dalam pengasingan.

Meski sempat ada komunikasi lewat surat-menyurat dengan Maufuro tetapi hubungan tersebut benar-benar terputus sesudah diketahui oleh Belanda. Para murid menjadi semakin terpojok oleh isolasi, kitab-kitab banyak disita Belanda dan hingga kini kisah ini hanya diketahui oleh beberapa orang saja.

Setelah beberapa kali keluar masuk penjara di Kendal dan Semarang, dalam usia 30 tahun Ahmad Rifai berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji, ke Madinah untuk berziarah ke makam Rosulullah Saw. dan memperdalam ilmu di sana selama 8 tahun. Di Haramain (Mekkah dan Madinah) ia berguru kepada Syaikh Abdul Aziz Al Habisyi, Syaikh Ahmad Ustman dan Syaikh Is Al -Barawi. Kemudian dia menuju Mesir untuk berguru kepada Syaikh Ibrahim Al Bajuri dan lain-lain.

Menjelang kembali ke kampung halaman di Kendal, K. H. Ahmad Rifai bertemu dengan ulama-ulama Indonesia di Mekkah, di antaranya, K. H. Nawawi dari Banten, K. H. Muhammmad Khalil dari Madura dan kiai yang lain. Dalam pertemuan itu, mereka mengadakan musyawarah untuk memikirkan nasib umat di Indonesia yang sedang terbelenggu oleh takhayul, kufarat dan mistis.

Dari hasil musyawarah, mereka bersepakat mengadakan pembaharuan dan pemurnian islam lewat pengajian, diskusi, obrolan dan penerjemahan kitab-kitab bahasa Arab ke bahasa Jawa ( Jarwa’ake!).

Isi dalam karya diutamakan membahas ilmu pokok yaitu, akidah, ibadah, muamalah dan Akhlak. Kiai Nawawi mengemban kiprah menyusun kitab akidah, Kiai Ahmad Rifai menyusun fiqih dan Kiai Muhammad Khallil menyusun tasawuf.

b. Ajaran Tarikat Rifa’iyah.
Dakwah Kiai Ahmad Rifai diawali dengan menyelenggarakan pengajian untuk anak-anak. Namun forum itu kemudian bermetamorfosis majelis pendidikan yang diikuti oleh orang-orang dewasa, baik pria maupun perempuan, sehingga pengajian dia menjadi cepat terkenal. Metodenya ialah menterjemahkan al-Quran, al-Hadits maupun kitab-kitab karangan ulama Arab dan Aceh terlebih ke dalam bahasa Jawa sebelum diajarkan kepada para murid. Bahkan tersurat dalam satu bait kitab Ri’ayatal Himmah, dengan ungkapan sebagai berikut:

Wajib saben alim adil nuliyan narajumah kitab Arab rinetenan supoyo wong jawi akeh ngerti pitutur saking Qur’an lan kitab – kitab Arab jujur kaduwe wong awam enggal ngerti milahur ningali kitab Tarjamah jawi pitutur. 

Artinya: Diwajibkan bagi setiap alim adil ( ulama alam abadi ) untuk menejemahkan kitab Arab, semoga orang jawa lebih mengerti pedoman dari Al Alquran dan kitab-kitab Arab ( Hadits dan Ulama ) dengan benar sehingga orang awam mengerti dan segera melaksanakannya.

Kiai Ahmad Rifai ialah satu–satunya tokoh yang bisa menawarkan uraian perihal agama Islam tanpa menggunakan idiom–idiom Arab dan bisa mengarang buku dalam bahasa yang menarik alasannya menggunakan bentuk syair. Metodologi yang dipakai dalam pengajarannnya menggaunakan empat tahapan . Keempat tahapan itu adalah:

Tahapan Pertama ; Seorang santri harus berguru membaca kitab tarjamah terbatas pada goresan pena Jawa. Sistem pengajaran ini dinamakan ngaji irengan, mengejakan satu persatu abjad kemudian merangkum menjadi bacaan atau kalimat. Tingkatan ini merupakan awal dari cara membaca kitab tarjamah. Di samping itu para santri harus menghafal rukun iman dan islam, ibadah sholat dan wiridan ” Angawaruhi Ati Ningsun…….!” atau ” Sahadat Loro ”. Setelah Sholat fardlu, diwajibkan mengikuti praktek Sholat yang dipimpin oleh lurah -pondok yang bersangkutan .

Tahapan Kedua ; mengaji dalil – dalil Al – Qur’an, Hadist dan pendapat Ulama’ yang terdapat pada kitab tarjamah. Dalam tahapan ini seorang lurah pondok harus menguasai ilmu tajwid al–Qur’an dan bisa mengaplikasikannya dalam bacaan Al-Qur’an dengan benar. Pengajian tahap ini disebut ngaji abangan alasannya memang goresan pena Arab untuk dalil ialah berwarna merah atau ABANG atau disebut juga ngaji dalil alasannya hanya dalil saja yang dibaca. Di samping itu santri harus hafal dan bisa serta paham perihal Syarat – Rukun Puasa dan Sholat.

Tahapan Ketiga ; mengaji dalil dan makna jadi satu dari kitab – kitab tarjamah. Tahapan ini dinamakan ngaji lafal makno ( berguru menerjemahkan tiap kata dalil / kalimat dalil dengan bahasa jawa yang ada dibawah dalil itu ). Di sini para santri membutuhkan kejelian dalam mencari arti.

Tahapan Keempat ; Seorang santri diajak memahami maksud yang terkandung dalam kitab–kitab tarjamah, alasannya hampir setiap kalimat memiliki makna harfiah dan tafsiriah yang tentunya membutuhkan keterangan dan pemahaman yang dalam. Kitab–kitab tarjamah disusun dengan formula lengkap : Kamaknanan, Kamurodan, Kasarahan, Kamaksudan dan Kapertelanan, atau dengan kata lain ngaji maksud, ngaji sorah, ngaji bandungan, atau ngaji sorogan. Pengajian ini berupa pembacaan dan penerangan isi kandungannya dan dilakukan oleh Syaik Kiai Ahmad Rifai sendiri di hadapan para santri dan murid pilihan. Kemudian mereka satu persatu memcoba menirukan menyerupai apa kata beliau. Dalam pengajian ini diajarkan pula oleh ulama’ perihal ilmu dan amalan kesunahan yang tidak tertulis didalam kitab – kitab tarjamahnya.

Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan perihal tokoh tarikat Rifa’iyah dan pedoman tarikat Rifa’iyah. Sumber buku Siswa Kelas XII MA Akhlak Tasawuf Kementerian Agama Republik Indonesia, 2016. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel