Pengertian Tafsir Bi Al-Ra’Yi, Syarat-Syarat Mufassir Dan Penjabaran Tafsir Bi Al-Ra’Yi
Thursday, April 30, 2020
Edit
Pengertian Tafsir bi al-Ra’yi.
Tafsir bi al-ra’yi berasal dari kata tafsir, bi dan al-ra’yi. Secara bahasa al ra’yi berarti keyakinan, pengaturan dan akal. Al-ra’yi juga identik dengan ijtihad. Berdasarkan pengertian ini, para pakar ilmu tafsir menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tafsir bi al-Ra’yi yakni menyingkap isi kandungan al-Qur`an dengan ijtihad yang dilakukan oleh akal.
Secara istilah, tafsir bi al-ra’yi yakni penafsiran yang dilakukan dengan menetapkan nalar sebagai titik tolak. Bentuk ini dinamakan juga dengan al-tafsir bi al-ijtihadi, yaitu penafsiran yang memakai ijtihad. Karena penafsiran ibarat ini didasarkan atas hasil pemikiran seorang mufassir. Perbedaan-perbedaan antara satu mufassir dengan mufassir lain lebih mungkin terjadi, dibandingkan al-tafsir bil-ma’sur. Karena alasan tersebut, beberapa ulama menolak penafsiran ini, dan menyebutnya sebagai al-tafsir bi al-hawa (tafsir atas dasar hawa nafsu).
Namun, banyak para ulama yang sanggup mendapatkan tafsir ini juga, tapi dengan syarat-syarat tertentu pula. Penerimaan ini didasarkan pada ayat-ayat al-Qur`an sendiri, yang berdasarkan mereka, memang menganjurkan insan untuk memikirkan dan memahami kandungan al-Qur`an. Adapun ayat-ayat yang mendukung kebolehan tafsir ini, sebagaimana yang dikutip subhi al-salih, yakni sebagai berikut.
Artinya: “Apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur`an ataukah hati mereka terkunci”. (QS. Muhammad : 24).
Artinya: “Ini yakni kitab yang kami turunkan kepadamu, penuh dengan berkah, semoga mereka memperhatikan ayat-ayat dan orang-orang yang memiliki pikiran sanggup memperoleh pelajaran darinya”. (QS. as-Sad : 29).
Syarat-syarat Mufassir.
Meskipun mufassir dalam hal ini memakai pemikiran, namun tidaklah bebas mutlak. Mufassir harus mendasarkan pemahamannya pada nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur`an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw.. akan tetapi pemahaman tersebut tidak cukup untuk menjamin penafsiran cara ini. Karena itu, dalam memakai cara ini diberlakukan syarat-syarat mufassir dan kaidah-kaidah penafsiran yang ketat, antara lain:
1) Memiliki pengetahuan bahasa Arab dan segala seluk beluknya.
2) Menguasai ilmu-ilmu al-Qur`an.
3) Menguasai ilmu- ilmu yang berafiliasi dengan ilmu-ilmu al-Qur`an, ibarat hadis, Usul fiqh dan lain sebagainya.
4) Beraqidah yang benar.
5) Mengetahui prinsip-prinsip pokok agama Islam.
6) Menguasai ilmu yang berafiliasi dengan pokok bahasan ayat yang ditafsirkan.
Klasifikasi Tafsir bi al-Ra’yi.
Tafsir bi al-ra’yi juga dibagi menjadi dua; tafsir bi al-mahmud (yang terpuji) dan al-ra’yi al-mazmum (yang tercela). Ibnu Ḥajar al-Asqalani menjelaskan bahwa pada mulanya seluruh tafsir bi al-ra’yi adalah tercela. Hal ini sebab adanya hadis yang melarang penafsiran al-Qur`an dengan al-ra’yi. Namun pada kala kelima Hijriyah, sebab kebutuhan dan tuntutan zaman, berkembang pendapat bahwa tidak semua tafsir bi al-ra’yi tercela, ada juga yang terpuji, yaitu tafsir bi al-ra’yi yang berdasarkan dalil.
Sedangkan dari segi penyandarannya terhadap dalil naqli, tafsir bi al-ra’yi dibagi kepada dua, yaitu tafsir naqli dan tafsir ‘aqli. Dari dua jenis tafsir tersebut timbullah tafsir yang didasarkan pada pendapat pribadi. Jenis tafsir ini dihentikan mutlak oleh para ulama. Inilah yang oleh al-Mawardi disebut tafsir al-mazmum. Larangan tersebut berdasarkan pada sebuah hadis; “Barang siapa yang berbicara mengenai al-Qur`an berdasarkan pendapatnya sendiri, walaupun ternyata benar, maka beliau tetap telah berbuat sesuatu yang keliru”.
Maksud “pendapat” dalam hadis tersebut ialah perkataan yang diucapkan tanpa dalil yang sah berdasarkan syara’. Orang yang berbuat demikian itu tidak menempuh jalan yang lurus dalam menafsirkan al-Qur`an. Akan tetapi kalau orang menafsirkan al-Qur`an berdasarkan dalil-dalil yang sah berdasarkan syara’, tentu pendapatnya patutdipuji dan sama sekali tidak membahayakan agama. Tafsir ibarat ini yang disebut al-mahmud .
Kitab-kitab yang tergolong Tafsir bir Ra’yi. antara lain:
• Al-Bahr al-Muhit karya Muhammad al-Andalusi.
• Gara’ib al-Qur’ān wa Raga’ib al-Furqān karya Nizamuddin ‘an-Nisaburi.
• Ruh al-Ma`ani fi Tafsir al-Qur`an al-‘Azim wa as-Sab’ al-Masani karya‘Allāmah al Alusi.
• Amali asy-Syarif al-Murtada karya Abu al-Qasim ‘Ali at-Tahir.
• Al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq at-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujud at-Tanzil karya Abu al- Qasim Mahmud ibn `Umar az-Zamakhsyari.
Tafsir bi al-ra’yi berasal dari kata tafsir, bi dan al-ra’yi. Secara bahasa al ra’yi berarti keyakinan, pengaturan dan akal. Al-ra’yi juga identik dengan ijtihad. Berdasarkan pengertian ini, para pakar ilmu tafsir menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tafsir bi al-Ra’yi yakni menyingkap isi kandungan al-Qur`an dengan ijtihad yang dilakukan oleh akal.
Secara istilah, tafsir bi al-ra’yi yakni penafsiran yang dilakukan dengan menetapkan nalar sebagai titik tolak. Bentuk ini dinamakan juga dengan al-tafsir bi al-ijtihadi, yaitu penafsiran yang memakai ijtihad. Karena penafsiran ibarat ini didasarkan atas hasil pemikiran seorang mufassir. Perbedaan-perbedaan antara satu mufassir dengan mufassir lain lebih mungkin terjadi, dibandingkan al-tafsir bil-ma’sur. Karena alasan tersebut, beberapa ulama menolak penafsiran ini, dan menyebutnya sebagai al-tafsir bi al-hawa (tafsir atas dasar hawa nafsu).
Namun, banyak para ulama yang sanggup mendapatkan tafsir ini juga, tapi dengan syarat-syarat tertentu pula. Penerimaan ini didasarkan pada ayat-ayat al-Qur`an sendiri, yang berdasarkan mereka, memang menganjurkan insan untuk memikirkan dan memahami kandungan al-Qur`an. Adapun ayat-ayat yang mendukung kebolehan tafsir ini, sebagaimana yang dikutip subhi al-salih, yakni sebagai berikut.
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
Artinya: “Apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur`an ataukah hati mereka terkunci”. (QS. Muhammad : 24).
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
Artinya: “Ini yakni kitab yang kami turunkan kepadamu, penuh dengan berkah, semoga mereka memperhatikan ayat-ayat dan orang-orang yang memiliki pikiran sanggup memperoleh pelajaran darinya”. (QS. as-Sad : 29).
Syarat-syarat Mufassir.
Meskipun mufassir dalam hal ini memakai pemikiran, namun tidaklah bebas mutlak. Mufassir harus mendasarkan pemahamannya pada nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur`an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw.. akan tetapi pemahaman tersebut tidak cukup untuk menjamin penafsiran cara ini. Karena itu, dalam memakai cara ini diberlakukan syarat-syarat mufassir dan kaidah-kaidah penafsiran yang ketat, antara lain:
1) Memiliki pengetahuan bahasa Arab dan segala seluk beluknya.
2) Menguasai ilmu-ilmu al-Qur`an.
3) Menguasai ilmu- ilmu yang berafiliasi dengan ilmu-ilmu al-Qur`an, ibarat hadis, Usul fiqh dan lain sebagainya.
4) Beraqidah yang benar.
5) Mengetahui prinsip-prinsip pokok agama Islam.
6) Menguasai ilmu yang berafiliasi dengan pokok bahasan ayat yang ditafsirkan.
Klasifikasi Tafsir bi al-Ra’yi.
Tafsir bi al-ra’yi juga dibagi menjadi dua; tafsir bi al-mahmud (yang terpuji) dan al-ra’yi al-mazmum (yang tercela). Ibnu Ḥajar al-Asqalani menjelaskan bahwa pada mulanya seluruh tafsir bi al-ra’yi adalah tercela. Hal ini sebab adanya hadis yang melarang penafsiran al-Qur`an dengan al-ra’yi. Namun pada kala kelima Hijriyah, sebab kebutuhan dan tuntutan zaman, berkembang pendapat bahwa tidak semua tafsir bi al-ra’yi tercela, ada juga yang terpuji, yaitu tafsir bi al-ra’yi yang berdasarkan dalil.
Sedangkan dari segi penyandarannya terhadap dalil naqli, tafsir bi al-ra’yi dibagi kepada dua, yaitu tafsir naqli dan tafsir ‘aqli. Dari dua jenis tafsir tersebut timbullah tafsir yang didasarkan pada pendapat pribadi. Jenis tafsir ini dihentikan mutlak oleh para ulama. Inilah yang oleh al-Mawardi disebut tafsir al-mazmum. Larangan tersebut berdasarkan pada sebuah hadis; “Barang siapa yang berbicara mengenai al-Qur`an berdasarkan pendapatnya sendiri, walaupun ternyata benar, maka beliau tetap telah berbuat sesuatu yang keliru”.
Maksud “pendapat” dalam hadis tersebut ialah perkataan yang diucapkan tanpa dalil yang sah berdasarkan syara’. Orang yang berbuat demikian itu tidak menempuh jalan yang lurus dalam menafsirkan al-Qur`an. Akan tetapi kalau orang menafsirkan al-Qur`an berdasarkan dalil-dalil yang sah berdasarkan syara’, tentu pendapatnya patutdipuji dan sama sekali tidak membahayakan agama. Tafsir ibarat ini yang disebut al-mahmud .
Kitab-kitab yang tergolong Tafsir bir Ra’yi. antara lain:
• Al-Bahr al-Muhit karya Muhammad al-Andalusi.
• Gara’ib al-Qur’ān wa Raga’ib al-Furqān karya Nizamuddin ‘an-Nisaburi.
• Ruh al-Ma`ani fi Tafsir al-Qur`an al-‘Azim wa as-Sab’ al-Masani karya‘Allāmah al Alusi.
• Amali asy-Syarif al-Murtada karya Abu al-Qasim ‘Ali at-Tahir.
• Al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq at-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujud at-Tanzil karya Abu al- Qasim Mahmud ibn `Umar az-Zamakhsyari.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan perihal pengertian tafsir bi al-ra’yi, syarat-syarat mufassir dan penjabaran tafsir bi al-ra’yi. Sumber buku Tafsir-Ilmu Tafsir Kelas X MA Kementerian Agama Republik Indonesia, 2014. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.