Pemikiran Kalam Ulama Nusantara
Thursday, April 30, 2020
Edit
1. Syamsuddin Al-Sumaterani.
a. Riwayat Hidup dan Karya Syamsuddin Al-Sumaterani.
Syaikh Syamsuddin ibn Abdullah al-Sumaterani (w. 1630 M) dikenal dengan nama Syamsuddin al-Sumaterani atau Syamsuddin Pasai. Syamsuddin al-Sumaterani hidup di Aceh antara final era ke-16 hingga pertengahan era ke-17 pada masa Sultan Iskandar Muda (w. 1045H/ 1639 M). Dalam karya S.M.N. Al-Attas, Syamsuddin al-Sumaterani wafat pada 1040 H/ 1630 M.
Syamsuddin al-Sumaterani adalah penganut mazhab Ibnu al-Arabi yaitu paham wahdat al-wujud atau wujudiyah, sekaligus murid Hamzah al-Fansuri. Syamsuddin al-Sumaterani merupakan orang penting istana yaitu sebagai kepala penasehat raja dengan gelar syaikh al-Islam. Syamsuddin al-Sumaterani terkenal sebagai seorang ahli ilmu tasuwuf, fasih berbicara bahasa Arab, dan alim dalam segala ilmu.
Paham wujudiyah Syamsuddin al-Sumaterani kemudian bertentangan dengan paham Nuruddin al-Raniri. Maka oleh Nuruddin al-Raniri dianggap sebagai fatwa menyesatkan. Akhirnya atas perintah Sultan Iskandar Tsani (w. 1641 M) karya-karyanya dalam bahasa Arab dan Melayu dibakar dan dimusnahkan.
Akan tetapi, terdapat beberapa kitab yang sanggup diselamatkan yaitu kitab mir’at al-Mu’minin, syarah ruba’i Hamzah Fansuri, jawahir al-Haqaiq, mir’at al-Mukminin, mir’at al-Iman, syarah mi’ratul qulb, kitab al-Martabah, dan kitab al-Harakat. Selain itu Syamsuddin al-Sumaterani merupakan pengikut dari tarekat qadiriyah, dan juga dikenal sebagai pemikir yang baik.
b. Pemikiran Kalam Syamsuddin al-Sumaterani.
1. Tentang Tuhan.
Syamsuddin al-Sumatrani memandang perlu mentasybihkan sekaligus mentanzihkan Tuhan. Sebagaimana terkandung makna bahwa di samping adanya Tuhan, diakui adanya wujud alam yang merupakan mitsalnya Tuhan (mirip dengan Tuhan). Walau mitsal yang dimaksud tidak sama atau tidak sebanding dengan Tuhan itu sendiri. Syamsuddin al-Sumaterani memandang Tuhan sebagimana berikut:
1. Tuhan adalah al-Qadim dan al-Baqa’, bukan baru, al-‘Ard, al-Jisim serta tidak sanggup ditentukan oleh suatu pihak atau menetap suatu tempat, artinya Tuhan tidak menempati dan membutuhkan ruang dan waktu;
2. Tuhan itu esa dan tidak sanggup dilihat oleh kasat mata;
3. Tuhan yaitu ruh;
2. Tentang Penciptaan Alam.
Syamsuddin al-Sumatrani memandang penciptaan terjadi melalui tingkatantingkatan, dimana penciptaan (pengaliran) bermula dari zat yang mutlak dan hingga kepada tingkat ketujuh. Sebagaimana klarifikasi dibawah ini:
1. Tingkat ahadiyyah (tingkat paling atas), yang merupakan tingkat la ta’ayyun (tanpa pembeda-beda);
Pada tingkat ini, zat yang mutlak masih berada dalam keadaan semula yaitu tingkat masih bebas atau belum mempunyai kekerabatan dari apapun. Pada tingkat ini sudah ada suatu daya yang berupa pengetahuan (‘ilm) dan belum ada pembedaan.
2. Tingkat wahdah (tingkat kedua) yaitu tingkat pembeda-pembeda yang pertama (ta’ayyum awwal);
Pada tingkat ini, zat Tuhan sadar akan diriNya dan mempunyai pengetahuan segala daya yang terpendam pada diriNya sebagai kesatuan. Artinya zat Tuhan tahu bahwa hanya dirinya sendiri yang ada, tiada yang lain kecuali Dia. Dia mengetahui bahwa Ia mempunyai daya untuk menjelmakan dariNya. Sedangkan yang terpendam yaitu pengetahuan (ilm), eksistensi (wujud), pengamatan (syuhud), dan cahaya (nur). Proses wahdah adalah pangkat, terjadi kepemilikan diri, dan zat kepemilikan diri menjadikan rindu (‘isyq) setelah rindu terciptalah cahaya pertama. Artinya penjelmaan pertama ini sebagai pengalir ada dari wahdahnya.
Penjelmaan terjadi menjadi dua, pertama penjelmaan terjadi dalam diri zat yang mutlak, sifat abadi; Dan kedua, penjelmaan terjadi di luar dari zat yang mutlak, dan sifatnya sanggup dilihat;
3. Tahap wahidiyyah (tingkat ketiga) atau tingkat perbedaan yang kedua (ta’ayyun tsani);
Pada tingkat ini, kesatuan terdiri dari hal jamak. Jamak yang dimaksud yaitu sesuatu yang dikenal sebagai hasil dari penelitian darinya sendiri, yaitu dari potensi (sebagai daya yang hadir terpendam) menjadi faktual (hadir, dalam kesatuan). Kejamakan ini ditentukan oleh a’yuun, sifat al-nama.
Demikianlah kejamakan itu sebagai yang dikenal hadir di dalam pengetahuan dan disebut yan tabitaí (realitaas yang terpendam). Realitas terpendam ini yaitu hakikat segala sesuatu yang masih memerlukan ada dari realitas yang tertinggal, lantaran hakikat yang terpendam itu yaitu tiada.
4. Tahap alam arwah (taham keempat) yaitu pangkat segala nyawa, baik nyawa manusia, nyawa binatang, dan lainnya;
5. Tahap alam mitsal (tahap kelima) yaitu pangkat segala rupa atau dunia ibarat;
6. Tahap alam ajsam/ raya (tahap keenam) yaitu pangkat segala badan atau dunia ibarat;
7. Tahap alam insan (tahap ketujuh) yaitu pangkat segala insan atau disebut pangkat insan sempurna (alam al-Insan al-Kamil);
3. Tentang Alam dan Manusia.
Pemikiran wacana alam dan insan terpusat atas pandangan al-Sumaterani pada ungkapan ma siwa Allah Swt(apa saja selain Allah), dimana Allah Swt yaitu satusatunya, sedangkan apapun selain Allah Swt termasuk dalam kategori alam. Alam dalam pandangan al-Sumaterani terbagi atas dua.
Pertama alam syahadah yaitu alam yang sanggup ditangkap oleh panca indera, baik yang di bumi maupun di langit;
Kedua alam gaib yaitu alam yang tidak sanggup ditangkap oleh panca indera dimanapun keberadaannya, mirip malaikat, jin, dan ruh manusia.
4. Tentang Alam Arwah dan Alam Mitsal.
Tajalli Tuhan yang ketiga tidak lagi berlangsung dalam diriNya, tapi pada bukan diriNya (fi ghayrih). Ini berarti bahwa Tuhan haruslah membuat alam. Menurutnya, penciptaan alam oleh Tuhan berawal dengan penciptaan makhluk pertama. Makhluk pertama adalah nur (cahaya), disebut juga dengan nama nur Muhammad, ruh Muhammad, akal, dan al-Qalam al-A’la (pena tertinggi).
Segenap makhluk atau alam yaitu berasal dari cahaya Tuhan, tetapi derajat diantara semua makhluk itu dibedakan. Nur Muhammad yaitu makhluk yang mempunyai derajat tertinggi. Perlu diketahui pula, bahwa ruh atau nur Muhammad di ciptakan oleh Tuhan bersama dengan arwah, dan masuk dalam kategori alam arwah, yakni dengan mencakup para malaikat, jin, setan, iblis, ruh manusia, ruh binatang, dan ruh tumbuh-tumbuhan.
5. Tentang Alam Ajsam.
Alam Ajsam adalah alam yang bisa ditangkap oleh panca indra. Nama lain dari alam ajsam (tubuh-tubuh materi) yaitu alam syahadah (kesaksian atau yang disaksikan), dan alam mulk. Alam ajsam berada pada martabat keenam dari tujuh martabat wujud.
6. Tentang Alam Manusia.
Manusia martabat ketujuh dari wujud Tuhan, disebut dengan kata syay’ jami’ dan dilihat dari unsur lahiriahnya (manusia kulit atau al-insan al-basyari) terlihat unsur tanah, air, udara, dan api. Sedangkan dilihat dari segi batiniah terdiri dari,
1) wujud, yang dimaksud yaitu zat;
2) ‘ilm, yang dimaksud yaitu sifat-sifat;
3) nur, yang dimaksud yaitu nama-nama; dan
4) syuhud, yang dimaksud yaitu perbuatan-perbuatan.
Sehingga insan secara ruhani yaitu hakiki sebagaiman Tuhan mempunyai unsur tersebut. Akan tetapi, semuanya yang dimiliki oleh insan yaitu ciptaan, pemberian, atau pinjaman dari Tuhan, sebagai wadah tajalli Tuhan dan sifat manusia itu sendiri hakikatnya fana (muhdas).
Walaupun mengikuti aliran yang sama, namun ada perbedaan kentara antara guru dan murid ini. Hamzah al-Fansuri yaitu seorang sufi pencari Tuhan, yang mencoba melaksanakan pencarian Tuhan lantaran didorong oleh batinnya.
Sedangkan, Syamsuddin al-Sumatrani spesialis sufi dan juga filosuf lebih mencicipi kebuTuhan mengenali hakikat dari segala sesuatu, serta mengetahui kesatuan yang tersembunyi. Syamsuddin al-Sumatrani berpandangan bahwa perjuangan mengenal Tuhan harus dibimbing oleh guru yang tepat lantaran bila tidak maka akan terjerumus dalam kesesatan.
2. Nuruddin al-Raniri.
a. Riwayat Hidup Nuruddin al-Raniri dan Karya Nuruddin al-Raniri.
Nur al-Din Muhammad bin Ali bin Hasanji al-Hamid (al-Humaid) al-Syafi’i al-As’ary al-Aydarusi al-Raniri (w. 1658 M), kemudian dikenal dengan Nuruddin al-Raniri atau al-Raniri lahir sekitar pertengahan kedua era ke-16 M di Ranir (Randir) kota pelabuhan renta di pantai Gujarat (India). Nuruddin al-Raniri meninggal pada tanggal 22 Zulhijah 1069 H atau bertepatan dengan 21 September 1658 M.
Keturunan nenek moyang dari Nuruddin al-Raniri dikalangan sejarahwan terjadi beda pendapat, pendapat pertama menyampaikan bahwa Nuruddin al-Raniri merupakan keturunan dari keluarga al-Hamid dari Zuhri (salah satu dari sepuluh keluarga Quraisy). Pendapat yang lain mengungkapkan bahwa Nuruddin al-Raniri merupakan keturunan dari al-Humaid, dengan nama lengkap Abu Bakr ‘Abd Allah bin Zubair al As’adi al-Humaid yang merupakan seorang mufti Makkah sekaligus murid termashur al-Syafii.
Perjalanan intelektual Nuruddin al-Raniri dimulai ditanah kelahirannya (Ranir) yaitu berguru ilmu agama, kemudian Nuruddin al-Raniri pindah ke Tarim, Hadramaut, dan Arab Selatan. Kemudian tahun 1621 M Nuruddin al-Raniri menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam nabi. Selama di Makkah dan Madinah Nuruddin al-Raniri menemui dan menjalin kekerabatan dengan para jamaah haji dan penduduk asal nusantara yang sudah menetap dan berguru di Arab.
Selaian itu, Nuruddin al-Raniri juga berguru ilmu tarekat rifa’iyyah, yang didirikan oleh Ahmad Rifai (w. 1183 M) kepada Syaikh Said Abu Hafs Umar bin ‘Abd Allah Ba Syaiban atau yang terkenal dengan nama Sayid Umar al-Aydarus dari Tarim. Setelah selasai kemudian Nuruddin al-Raniri oleh gurunya dijadikan sebagai Syaikh dan pengganti gurunya (khalifah). Walau demikian, Nuruddin al-Raniri ternyata juga berguru tarekat aydarusiyyah dan qadiriyyah.
Nuruddin al-Raniri selanjutnya merantau ke nusantara, tepatnya pada 31 Mei 1637 M, Nuruddin al-Raniri tiba ke Aceh di masa Sultan Iskandar Tsani. Ada dua perkiraan yang menyampaikan kenapa Nuruddin al-Raniri menentukan Aceh. Pertama lantaran Aceh pada saatitu telah menggantikan tugas Malaka yang dikuasai Portugis, sebagai sentra perdagangan, politik, dan studi islam di daerah Asia Tenggara. Kedua lantaran mengikuti jejak pamannya Muhammad al-Jailani bin Hasan bin Muhammad Hamid al-Raniri (1588 M).
Singkatnya, Nuruddin al-Raniri diterima dengan terbuka oleh Sultan Iskandar Tsani (menantu Iskandar Muda) terutama dalam hal pemikiran keagamaannya, yang dianggap sejalan dengan sang sultan. Sebagai bentuk penghormatan kepada Nuruddin al-Raniri kemudian Sultan Iskandar Tsani mengangkatnya sebagai mufti kerajaan (ketua penasehat). Aceh dikenal dengan besar lengan berkuasa atas paham wujudiyyahnya, sehingga menggugah Nuruddin al-Raniri untuk menuliskan beberapa kitab sebagai pembanding. Selain itu juga sultan sendiri tidak jarang menyuruh Nuruddin al-Raniri untuk menulis kitab-kitab terutama tasawuf, utamanya untuk membatasi efek paham wujudiyyah di Aceh.
Salah satu insiden penting dalam membatasi efek paham wujudiyyah, Nuruddin al-Raniri didukung oleh sultan mengadakan majelis persidangan terkait paham wujudiyyah dengan 40 ulama pendukung paham tersebut. Dalam kesempatan tersebut Nuruddin al-Raniri mengungkapkan kelemahan pahan wujudiyyah sekaligus bertentangan dengan al-Quran dan Hadits. Atas kewenangan sultan kemudian kitab kitab wujudiyyah karya Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin al-Sumaterani dibakar di depan masjid Baiturrahman Banda Aceh.
Di tahun ke-7 sebagai mufti kerajaan, Nuruddin al-Raniri menetapkan kembali ke tanah kelahirannya, tepatnya di tahun 1644 M. Di tahun itu juga Nuruddin al-Raniri bergotong-royong sedang menulis kitab jawahir gres hingga cuilan lima. Penyelesaian penulisan kitabnya selanjutnya diserahkan kepada murid terdekatnya.
Selain dikenal sebagai ulama Nuruddin al-Raniri terkenal sebagai seorang sufi, teolog, faqih, dan politisi, serta dikenal juga sebagai sastrawan, yaitu mempopulerkan bahasa Melayu sebagai bahasa ke dua di dunia islam sesudah bahasa Arab dan bahasa Melayu sebagai lingua franca. Nuruddin al-Raniri juga dianggap sebagai pembaharu dalam bidang metodologi penulisan ilmiah, pendapat ini didukung atas semua goresan pena Nuruddin al-Raniri selalu menyebutkan sumber acuan dalam memperkuat argumen yang dipaparkannya.
Nuruddin al-Raniri terkenal sebagai seorang penulis produktif. Tulisannya mencakup banyak sekali cabang ilmu agama, seperti sejarah, fikih, Hadits, akidah, mistik, filsafat, dan ilmu perbandingan agama. Jumlah karya tulisannya kurang lebih 29 kitab. Karyanya dalam bidang fikih yang cukup terkenal adalah al-Shirath al-Mustaqim (jalan lurus), membahas banyak sekali problem ibadah, mirip shalat, puasa, dan zakat. Karya-karya lainnya antara lain bustan al-Shalathin fi dzikir al-‘Awwalin wa al-Akhirin (berisi sejarah), dan ‘Asrar alInsan fi ma’rifat al-Ruh wa al-Rahman (berisi ilmu kalam).
b. Pemikiran Kalam Nuruddin al-Raniri.
1. Wujud Tuhan.
Nuruddin al-Raniri mengungkapkan bahwa wujud Tuhan yaitu esa lagi hakiki tanpa harus memerlukan dalil apapun.
2. Sifat dan zat Tuhan.
Sifat dan zat Tuhan harus dilihat dari dua aspek pertama aspek wujud; yaitu antara sifat dan zat tidak mempunyai perbedaan lantaran wujud yang hakiki yaitu Allah Swt. Kedua aspek pengertian; bahwa dari segi pengertian antara sifat dan zat itu berbeda begitu juga antara sifat satu dengan sifat lainnya. Selanjutnya Nuruddin al Raniri membagi sifat Tuhan menjadi dua sebagaimana diterangkan berikut:
1. Sifat zat, terdiri dari qidam (dahulu), baqa (kekal), mukhalafatu li’l hawadits (berbeda dengan makhluk), qiyamuhu bi nafshi (berdiri sendiri), dan wahdaniyyat (keesaan);
2.Sifat ma’ani, terdiri dari al-hayah (hidup), al-ilmu (ilmu), al-qudrah (kuasa), al-iradah (kehendak), al-sam’u (mendengar), al-bashr (melihat) dan al-kalam (berbicara).
Dari sifat ma’ani dikenalah sifat ma’nawiyyah yaitu al-Hayyu (Yang Hidup), al-‘Alimu (Yang Mengetahui), al-Qadiru (Yang Berkuasa), al-Muridu (Yang Berkehendak), al-Sami’u (Yang Mendengar), al-Bashiru (Yang Melihat) dan al-Mutakallimu (Yang Berbicara).
Dan dari sifat-sifat ma’nawiyah lahir sifat sifat fi’il (perbuatan) yang bekerjasama dengan insan yaitu al-Khaliq (Yang Mencipta), al-Raziq (Yang Memberi Rezeki), al-Hadi (Yang Memberi Petunjuk), al-Muhyi (Yang Menghidupkan), dan al-Mumit (Yang Mematikan);
3. Tajalli serta A’yan Tsabitah.
Nuruddin al-Raniri mengutip hadits qudsi bahwa Aku (Allah) yaitu perbendaharaan yang terpendam (kanzah makhfiyyan). Aku ingin supaya dikenal, maka Aku jadikan alam ini, sehingga itu mereka mengenal Aku.
Tajalli dalam pandangan Nuruddin al-Raniri berlangsung dalam dua martabat, yaitu:
1. Martabat wahidah;
Pada martabat ini terjadi tajalli zat pada sifat yang disebut syu’un zat atau ta’ayyun awwal. Ditegaskan bahwa sifat-sifat itu identik dengan zat Tuhan, dan tajalli sifat pada hakikatnya yaitu peristiwa ma’nawi yang timbul dari pengertian budi yang mengharuskan adanya zat terlebih dahulu dari sifat yang wujudnya selalu mengikuti zat. Intinya Nuruddin al-Raniri memandang bahwa zat Tuhan tidak pernah sepi (mujarrad) dari sifat.
2. Martabat wahidiyyah;
Pada martabat ini terjadi tajalli asma yang juga disebut ta’ayyun atau a’yan tsabitah (hakikat alam). Mengingat Tuhan bersifat ilmu, maka ada ma’lum (yang diketahui), dan isi yang diketahui, itu yaitu hakikat alam semesta atau a’yan tsabitah. Oleh lantaran itu, a’yan tsabitah yaitu hakikat alam yang merupakan objek yang diketahui (suwar ma’lumat) yang terletak dalam ilmu Allah Swt. Karena sifat identik dengan zat, maka hakikat alam atau a’yan tsabitah juga tidak berbeda dengan zat Allah Swt.
Dengan kata lain, segala hakikat telah ada dalam zat Tuhan sebelum bertajalli dalam ilmuNya. Selain itu, dibedakan secara tegas bahwa perbedaan antara zat Allah dan a’yan tsabitah bukan terletak pada wujudnya, lantaran yang berwujud yaitu Tuhan, tetapi perbedaan hanya ada pada pemahaman budi semata. Sedangkan alam tidak lebih dari bayangan dan tidak mempunyai wujud, dan hanya berperan sebagai wadah fenomena indrawi atas tajalli Allah melalui sifat asmaNya.
4. Manusia.
Manusia terdiri atas jasad dan ruh, jasad adalah wadah dari ruh, yang tercipta dari alam ciptaan (alam khalaq) yang terdiri atas banyak sekali unsur material. Sedangkan ruh atau nasf nathiqah (jiwa berpikir) yaitu hakikat segala insan mengetahui segala sesuatu, ruh berasal dari alam arwah dan jasad dijadikan sebagai tempat. Insan kamil berasal dari nur Muhammad dan selalu berpindah dalam banyak sekali bentuk dari satu generasi ke generasi selanjutnya, mulai para rasul, para nabi, para sahabat, dan seterusnya hingga berakhir di nabi Isa.
Nur Muhammad yaitu hakikat pertama yang muncul dalam ilmu Allah atau yang disebut ta’ayyun awal yang lahir dari tajalli zat atas zat.
5. Agama.
Agama terbagi atas empat cuilan yaitu iman, islam, makrifat, dan tauhid.
1. Iman; yang dimaksud terbagi menjadi dua, yaitu: pertama iman umum (mujmal) ialah beriman kepada Allah beserta sifat-sifatnya dan beriman pada rasul beserta sabda-sabdanya; kedua iman terperinci (mufashshal) yang terbagi atas enam perkara, yaitu:
1) iman kepada Allah dan nabi Muhammad, mengakui zat dan sifat Allah Swt. Sedangkan iman atas nabi Muhammad ialah menyakini bahwa benar sebagai utusan Allah dan banar dari segala yang diajarkannya;
2) iman kepada malaikat.
3) iman kepada kitab suci;
4) iman kepada rasul;
5) iman kepada hari kiamat; dan
6) iman kepada qada’ dan qadar;
2. Islam; manusia dikatakan islam ketika melaksanakan lima hal, yaitu :
1) mengucap dua kalimat syahadat;
2) mengerjakan shalat lima waktu;
3)membayar zakat;
4) berpuasa di bulan ramadhan; dan
5) menjalankan ibadah haji;
3. Makrifat adalah pengetahuan atas zat, sifat, dan perbuatan Allah Swt;
4. Tauhid ialah pengetahuan lebih dalam wacana keesaan Allah, zat, sifat-sifat, dan fiilNya;
c. Kritik pada Paham Wujudiyyah.
1. Hamzah al-Fansuri mengajarkan ajaran wujudiyyah (panteisme), yaitu Tuhan dalam kandungan (immanen) alam. Tuhan yaitu hakikat fenomena alam ini;
2. Nyawa bukan merupakan khalik dan bukan juga makhluk;
3. Al-Qur’an yaitu makhluk;
4. Nyawa berasal dari Tuhan, dan kembali akan bersatu denganNya, mirip ombak kembali ke laut;
Persamaan dengan Hamzah al-Fansuri ialah menganggap alam tidak mempunyai bayangan dan yang hakiki hanyalah Tuhan. Perbedaannya, Nuruddin al-Raniri menganggap bahwa ketiadaan alam ini disebabkan oleh yang esa dari Tuhan, sementara wujud lain yaitu majazi. Sedangkan Hamzah al-Fansuri menganggap bahwa yang meniadakan alam ini yaitu wujud Tuhan yang hakiki yang ada dalam kandungan alam tersebut, sehingga keduanya merupakan satu-kesatuan hakikat wujud yang tidak sanggup dipidahkan.
3. Hamzah al-Fansuri.
a. Riwayat Hidup Hamzah al-Fansuri dan Karya Hamzah al-Fansuri.
Hamzah al-Fansuri atau dikenal dengan nama lain Hamzah Syahru Nawi lahir di Sumatera Utara, dan hidup antara final era ke-16 hingga awal era ke-17 M. Fansuri (Barus) diambil dari nama kota kelahirannya yang kemudian dianggap sebagai kelahiran pertama (jasmani), sedangkan Syahru Nawi merupakan nama kelahiran kedua (ruhani). Beliau dikenal sebagai tokoh tasawuf falsafi dengan paham wahdat alwujud yang berpijak pada madzhab Ibnu ‘Arabi.
Hamzah al-Fansuri dalam kebahasaan dipandang sebagai peletak dasar bahasa melayu dalam dunia Islam sesudah bahasa Arab, Persi, dan Turki. Dan dalam bidang keilmuan juga dianggap sebagai penggagas penulisan risalah tasawuf yang ilmiah dan sistematis. Selain itu, Hamzah al-Fansuri juga dikenal dalam bidang politik sebagai seorang yang kritis. Serta sebagai penggagas penerapan metode takwil atau hermeneutika keruhanian dalam bidang filsafat.
Para sejarahwan beropini bahwa Hamzah al-Fansuri sudah mulai menulis pada masa Kesultanan Aceh, yaitu masa Sultan Alauddin Ri’ayat Syah Sayid al-Mukammal (w. 1604 M). Berkat tugas Sultan Alauddin juga hasil karya-karya Hamzah al-Fansuri sanggup dikenalkan di banyak sekali daerah, antara lain Gresik, Kudus, Makassar, Ternate, Malaka, Kedah, Sumatera Barat, dan Kalimantan Barat. Adapun karya-karyanya ialah syarah al‘Asyiqin, asrar al-‘Arifin, dan al-Muntahi.
b. Pemikiran Hamzah al-Fansuri.
Pemikiran Hamzah al-Fansuri secara mendalam dijelaskan dalam tiga karyanya yaitu,
1) syarah al-‘Asyiqin;
2) asrar al-‘Arifin; dan
3) al-Muntahi;
Adapun klarifikasi secara umam sebagaimana berikut:
Pertama, dalam syarah al-‘Asyiqin secara garis besar membahas ilmu suluk, tajalli Tuhan, dan isyq dan sukr yang penjelasannya sebagai berikut:
1. Ilmu suluk terdiri dari:
a. Syariat adalah kewajiban di dunia dalam menjalankan kebajikan dan menjauhkan diri dari kejahatan dan syariat juga sebagai pintu pertama tarekat;
b. Tarekat dimulai dari taubat al-nasuha. Yaitu tidak memikirkan dan mengurusi dunia dan tidak meminta selain kepada Allah Swt.
c. Hakikat dibagi atas dua yaitu:
Pertama orang beristri, beranak, dan berumah tangga tetapi hati selalu lekat dengan Allah Swt;
Kedua yang menghabiskan hidup untuk menyembah dan menyayangi Allah Swt;
d. Ma’rifat adalah mengenal Allah Swt dengan sebenar-benarnya, tanpa ma’rifat shalat yang dilakukan oleh jago suluk tidak sah.
2. Tajalli Tuhan.
Dalam pembahasan tentang tajalli, al-Fansuri mengkatagorikan bahwa penciptaan tersusun atas lima martabat, yaitu:
a. Ta’ayyun awwam yang terdiri atas pengetahuan (ilm), ada (wujud), menyaksikan (syuhud), dan cahaya (nur);
b. Ta’ayyun tsani yakni kenyataan menjadi yang dikenal dan yang diketahui. Pengetahuan dalam bentuk yang dikenal atau al-a’yan al-tsabitah atau suwar al‘ilmiyah atau al-haqiqah al-asyya atau ruh idlafi;
c. Ta’ayyun tsalits adalah ruh insan dan makhluk hidup lainnya;
d. Ta’ayyun rabi’ dan khamis yaitu penciptaan alam semesta dan makhluk-makhluk secara terus-menerus, salah satunya penciptaan atas manusia (ila ma la nihayata lahu).
Kedua, asrar al-‘Arifin, Hamzah al-Fansuri menandakan bahwa melalui ketujuh sifat Tuhan yaitu al-Hayy, al-‘Ilm, al-Mudir, al-Qadim, al-Kalam, al-sami’, dan al-Bashir kemudian Tuhan disebut al-Kamal, al-Rahman, dan al-Rahim mengandung potensi dari tindakan-tindakanNya yang selalu menampakkan diri melalui ciptaanNya. Sebagaimana dianalogikan bahwa wujud Tuhan sebagai al-bahr yakni lautan dalam, yang ombaknya atau penampakan sifat dan pengetahuanNya mencakup segala sesuatu (diumpamakan altariq). Melalui analogi maritim dan ombak keduanya adalah al-fariq.
Hamzah Al-Fansuri juga mejelaskan bahwa insan yaitu kecil (habab) dan kasar (khathif) tetapi sesungguhnya bersahabat dengan Tuhan (bahr al-Lathif atau bahr al-‘Amiq). Sebagaimana merujuk ayat al-Quran bahwa Tuhan dengan insan sangat dekat, melebihi urat nadinya. Akan tetapi al-Fansuri menegaskan bahwa pendapatnya bukan ingin menyamakan antara Tuhan dan makhluknya, justru hanya sekedar sebagai tamsil dengan ditujukan pada keadaan (syu’un) Tuhan yakni Tuhan selalu mencipta dan tidak berkesudahan.
Ketiga, al-Muntahi, Hamzah al-Fansuri menjelaskan bahwa penciptaan alam semesta sebagaimana manifestasi Tuhan dan kemahakuasaanNya.
Secara umum, pemikiran wahdat al-Wujud Hamzah al-Fansuri lebih menonjolkan aspek keserupaan atau kemiripan (tasybih) antara Tuhan dengan alam ciptaanNya, singkatnya menganggap Tuhan yang immanen. Walaupun tidak menafikan perbedaan (tanzih) antara Tuhan dan ciptaanNya. Sehingga pemikirannya kemudian dianggap sebagai paham panteisme.
4. Nawawi al-Bantani.
a. Riwayat Singkat Nawawi al-Bantani dan Karya Nawawi al-Bantani.
Nawawi bin Umar bin Arabi atau Abu Abdul Mu’ti dikenal dengan nama Nawawi al Bantani, lahir di Banten tahun 1813 M dan meninggal tahun 1897 M di Makkah. Nawawi al-Bantani dimakamkan di Ma’la berdekatan dengan makam Siti Khadijah, istri nabi Muhammad Saw. (w. 11 H/ 632 M). Nawawi al-Bantani yaitu anak dari Syaikh Umar bin Arabi penghulu masjid agung Banten, merupakan keturunan Sunan Gunung Jati (w. 1568 M) dari Sultan Hasanuddin (w.1570 M).
Nawawi al-Bantani di umur 15 tahun tinggal di Makkah dan Madinah untuk mempelajari ilmu agama islam dan melaksanakan ibdah haji. Tahun 1831 M, Nawawi al-Bantani pulang ke Banten dan mengajar ilmu agama di pesantren peninggalan orang tuanya. Selama berada di nusantara Nawawi al-Bantani berguru ilmu agama kepada beberapa guru diantaranya Syaikh Muhammad Khatib al Sambasi (w. 1289 H/ 1872 M), Syaikh Abdul Gani Bima dari Nusa Tenggara (w. 1270 H/ 1853-an M), dan tokoh-tokoh lainnya. Akan tetapi, kondisi politik yang terjadi di Banten tidak aman karenanya Nawawi al-Bantani menetapkan kembali dan bermukim di Makkah hingga meninggal.
Nawawi al-Bantani menekuni ilmu agama selama + 30 tahun dan terkenal cerdas. Selama di Makkah, setiap hari Nawawi al-Bantani memperlihatkan pengajian ilmu agama, dan menjadi imam besar di masjidil haram. Selain itu Nawawi al-Bantani terkenal menjadi salah satu ulama besar umat islam internasional, sekaligus menjadi pujian umat Islam khususnya umat islam di Asia Tenggara. Nawawi al-Bantani menerima banyak sekali gelar kehormatan mirip sayyid ulama al-Hejaz, mufti, dan faqih.
Nawawi al-Bantani dikategorikan sebagai ulama besar dan anti penjajah. Pandangannya terkait perlawanan pada penjajah tidak dilakukan melalui jalur berangasan dan revolusi, tetapi melalui pendidikan. Nawawi al-Bantani dalam setiap kesempatan selalu memperlihatkan penyadaran kepada murid-muridnya, selalu menegakkan kebenaran, dan melawan ketidakadilan terutama yang dilakukan oleh para penjajah.
Tulisan Nawawi al-Bantani mempunyai banyak kelebihan dan keistimewaan, sebagaimana dikatakan oleh para peneliti sejarahwan. Diantaranya penggunaan bahasa sederhana dan bisa menghidupkan tulisan, sehingga pembaca gampang memahami dan menjiwai isinya. Tulisan Nawawi al-Bantani sudah tidak abnormal di negara Timur Tengah, selain sebagai materi bacaan, juga menjadi materi materi, dan materi pola diberbagai kajian.
Tulisan Nawawi al-Bantani khususnya dalam ilmu kalam diantaranya ialah: fath al-Majid, tijan al-Durari, nur al-Dzulam, al-Futuhat al-Madaniyah, al-Tsumar al-Yaniah, bahjat al-Wasail, kasyifat as-Suja, mirqat al-Su’ud dan lainnya.
b. Pemikiran Nawawi al-Bantani.
1. Sifat Tuhan.
Nawawi al-Bantani berpandangan bahwa Tuhan mempunyai sifat dan sanggup diketahui dari perbuatanNya. Hal ini sejalan dengan konsep yang dikemukakan oleh Imam Abu Hasan al-Asyari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Selain itu, Nawawi al-Bantani juga menggolongkan sifat Tuhan menjadi tiga, yaitu:
1. Sifat wajib, sifat yang niscaya menempel pada Tuhan dan tidak mungkin tidak ada;
2. Sifat mustahil, yaitu sifat yang niscaya tidak menempel pada Tuhan dan wajib tidak ada;
3. Sifat mumkin, yaitu sifat yang boleh ada dan tidak ada pada Allah;
2. Iman.
Tashdiq ditetapkan oleh Nawawi sebagai hal utama dan ditempatkan menjadi penentu keimanan dan kekafiran manusia, dibanding ma’rifat dan amal. Nawawi menambahkan bahwa insan tetap menjadi mukmin walau tidak melaksanakan ketaatan, tetapi hatinya membenarkan dan mengakui keberadaan fatwa yang dibawa nabi Muhammad Saw. Sedangkan yang menolak atau tidak mengakui fatwa tersebut yaitu kafir.
3. Perbuatan Tuhan dan Perbuatan Manusia.
Perbuatan insan berasal dari insan itu sendiri dengan dibantu dan daya yang diberikan Tuhan dalam dirinya dan alam sekitarnya. Artinya bukan sesuatu yang tidak mungkin bahwa perbuatan manusia, dismping perbuatan Tuhan, yang melaksanakan suatu perbuatan lantaran kedua perbuatan tersebut mempunyai masingmasing pelakunya. Perbuatan Tuhan kembali (berhubungan, ta’alluq) kepada Tuhan, sedangkan perbuatan insan kembali (ta’alluq) kepada manusia. Sehingga adanya pahala untuk yang berbua taat dan siksa bagi yang maksiat.
5. Pelaku Dosa Besar.
Pelaku dosa besar berdasarkan pandangan Nawawi al-Bantani dikatakan jikalau bertaubat akan masuk surga, dan ketika tidak bertaubat diserahkan kepada Tuhan. Karena kehendak memberi ampunan atau tidak hanya Tuhan. Akan tetapi pendosa besar masih sebagai golongan mukmin. Ketika taubatnya seorang muslim tidak diterima maka akan disiksa sesuai kadar dosanya dan ketika sudah menjalankan siksaan atas dosanya, akan dimasukkan ke surga.
6. Kalamullah.
Nawawi membedakan kalamullah dan al-Quran, walaupun mempunyai persamaan pada makna yang ditunjuknya. Kalamullah bersifat qadim yang menempel dengan zat Tuhan, dan tidak terdiri dari huruf, kata, suara, ayat, dan sebagainya. Sedangkan al Alquran tidak qadim dan terdiri dari huruf, kata, suara, ayat, dan sebagainya.
Secara umum, pemikiran Nawawi al-Bantani mengakui kemahakuasaan Tuhan tetapi tidak hingga pada penisbatan Tuhan yang disandarkan pada manusia. Hal ini menempatkan Nawawi al-Bantani pada posisi tengah-tengah antara teologi qadariyah dan jabariyah.
a. Riwayat Hidup dan Karya Syamsuddin Al-Sumaterani.
Syaikh Syamsuddin ibn Abdullah al-Sumaterani (w. 1630 M) dikenal dengan nama Syamsuddin al-Sumaterani atau Syamsuddin Pasai. Syamsuddin al-Sumaterani hidup di Aceh antara final era ke-16 hingga pertengahan era ke-17 pada masa Sultan Iskandar Muda (w. 1045H/ 1639 M). Dalam karya S.M.N. Al-Attas, Syamsuddin al-Sumaterani wafat pada 1040 H/ 1630 M.
Syamsuddin al-Sumaterani adalah penganut mazhab Ibnu al-Arabi yaitu paham wahdat al-wujud atau wujudiyah, sekaligus murid Hamzah al-Fansuri. Syamsuddin al-Sumaterani merupakan orang penting istana yaitu sebagai kepala penasehat raja dengan gelar syaikh al-Islam. Syamsuddin al-Sumaterani terkenal sebagai seorang ahli ilmu tasuwuf, fasih berbicara bahasa Arab, dan alim dalam segala ilmu.
Paham wujudiyah Syamsuddin al-Sumaterani kemudian bertentangan dengan paham Nuruddin al-Raniri. Maka oleh Nuruddin al-Raniri dianggap sebagai fatwa menyesatkan. Akhirnya atas perintah Sultan Iskandar Tsani (w. 1641 M) karya-karyanya dalam bahasa Arab dan Melayu dibakar dan dimusnahkan.
Akan tetapi, terdapat beberapa kitab yang sanggup diselamatkan yaitu kitab mir’at al-Mu’minin, syarah ruba’i Hamzah Fansuri, jawahir al-Haqaiq, mir’at al-Mukminin, mir’at al-Iman, syarah mi’ratul qulb, kitab al-Martabah, dan kitab al-Harakat. Selain itu Syamsuddin al-Sumaterani merupakan pengikut dari tarekat qadiriyah, dan juga dikenal sebagai pemikir yang baik.
b. Pemikiran Kalam Syamsuddin al-Sumaterani.
1. Tentang Tuhan.
Syamsuddin al-Sumatrani memandang perlu mentasybihkan sekaligus mentanzihkan Tuhan. Sebagaimana terkandung makna bahwa di samping adanya Tuhan, diakui adanya wujud alam yang merupakan mitsalnya Tuhan (mirip dengan Tuhan). Walau mitsal yang dimaksud tidak sama atau tidak sebanding dengan Tuhan itu sendiri. Syamsuddin al-Sumaterani memandang Tuhan sebagimana berikut:
1. Tuhan adalah al-Qadim dan al-Baqa’, bukan baru, al-‘Ard, al-Jisim serta tidak sanggup ditentukan oleh suatu pihak atau menetap suatu tempat, artinya Tuhan tidak menempati dan membutuhkan ruang dan waktu;
2. Tuhan itu esa dan tidak sanggup dilihat oleh kasat mata;
3. Tuhan yaitu ruh;
2. Tentang Penciptaan Alam.
Syamsuddin al-Sumatrani memandang penciptaan terjadi melalui tingkatantingkatan, dimana penciptaan (pengaliran) bermula dari zat yang mutlak dan hingga kepada tingkat ketujuh. Sebagaimana klarifikasi dibawah ini:
1. Tingkat ahadiyyah (tingkat paling atas), yang merupakan tingkat la ta’ayyun (tanpa pembeda-beda);
Pada tingkat ini, zat yang mutlak masih berada dalam keadaan semula yaitu tingkat masih bebas atau belum mempunyai kekerabatan dari apapun. Pada tingkat ini sudah ada suatu daya yang berupa pengetahuan (‘ilm) dan belum ada pembedaan.
2. Tingkat wahdah (tingkat kedua) yaitu tingkat pembeda-pembeda yang pertama (ta’ayyum awwal);
Pada tingkat ini, zat Tuhan sadar akan diriNya dan mempunyai pengetahuan segala daya yang terpendam pada diriNya sebagai kesatuan. Artinya zat Tuhan tahu bahwa hanya dirinya sendiri yang ada, tiada yang lain kecuali Dia. Dia mengetahui bahwa Ia mempunyai daya untuk menjelmakan dariNya. Sedangkan yang terpendam yaitu pengetahuan (ilm), eksistensi (wujud), pengamatan (syuhud), dan cahaya (nur). Proses wahdah adalah pangkat, terjadi kepemilikan diri, dan zat kepemilikan diri menjadikan rindu (‘isyq) setelah rindu terciptalah cahaya pertama. Artinya penjelmaan pertama ini sebagai pengalir ada dari wahdahnya.
Penjelmaan terjadi menjadi dua, pertama penjelmaan terjadi dalam diri zat yang mutlak, sifat abadi; Dan kedua, penjelmaan terjadi di luar dari zat yang mutlak, dan sifatnya sanggup dilihat;
3. Tahap wahidiyyah (tingkat ketiga) atau tingkat perbedaan yang kedua (ta’ayyun tsani);
Pada tingkat ini, kesatuan terdiri dari hal jamak. Jamak yang dimaksud yaitu sesuatu yang dikenal sebagai hasil dari penelitian darinya sendiri, yaitu dari potensi (sebagai daya yang hadir terpendam) menjadi faktual (hadir, dalam kesatuan). Kejamakan ini ditentukan oleh a’yuun, sifat al-nama.
Demikianlah kejamakan itu sebagai yang dikenal hadir di dalam pengetahuan dan disebut yan tabitaí (realitaas yang terpendam). Realitas terpendam ini yaitu hakikat segala sesuatu yang masih memerlukan ada dari realitas yang tertinggal, lantaran hakikat yang terpendam itu yaitu tiada.
4. Tahap alam arwah (taham keempat) yaitu pangkat segala nyawa, baik nyawa manusia, nyawa binatang, dan lainnya;
5. Tahap alam mitsal (tahap kelima) yaitu pangkat segala rupa atau dunia ibarat;
6. Tahap alam ajsam/ raya (tahap keenam) yaitu pangkat segala badan atau dunia ibarat;
7. Tahap alam insan (tahap ketujuh) yaitu pangkat segala insan atau disebut pangkat insan sempurna (alam al-Insan al-Kamil);
3. Tentang Alam dan Manusia.
Pemikiran wacana alam dan insan terpusat atas pandangan al-Sumaterani pada ungkapan ma siwa Allah Swt(apa saja selain Allah), dimana Allah Swt yaitu satusatunya, sedangkan apapun selain Allah Swt termasuk dalam kategori alam. Alam dalam pandangan al-Sumaterani terbagi atas dua.
Pertama alam syahadah yaitu alam yang sanggup ditangkap oleh panca indera, baik yang di bumi maupun di langit;
Kedua alam gaib yaitu alam yang tidak sanggup ditangkap oleh panca indera dimanapun keberadaannya, mirip malaikat, jin, dan ruh manusia.
4. Tentang Alam Arwah dan Alam Mitsal.
Tajalli Tuhan yang ketiga tidak lagi berlangsung dalam diriNya, tapi pada bukan diriNya (fi ghayrih). Ini berarti bahwa Tuhan haruslah membuat alam. Menurutnya, penciptaan alam oleh Tuhan berawal dengan penciptaan makhluk pertama. Makhluk pertama adalah nur (cahaya), disebut juga dengan nama nur Muhammad, ruh Muhammad, akal, dan al-Qalam al-A’la (pena tertinggi).
Segenap makhluk atau alam yaitu berasal dari cahaya Tuhan, tetapi derajat diantara semua makhluk itu dibedakan. Nur Muhammad yaitu makhluk yang mempunyai derajat tertinggi. Perlu diketahui pula, bahwa ruh atau nur Muhammad di ciptakan oleh Tuhan bersama dengan arwah, dan masuk dalam kategori alam arwah, yakni dengan mencakup para malaikat, jin, setan, iblis, ruh manusia, ruh binatang, dan ruh tumbuh-tumbuhan.
5. Tentang Alam Ajsam.
Alam Ajsam adalah alam yang bisa ditangkap oleh panca indra. Nama lain dari alam ajsam (tubuh-tubuh materi) yaitu alam syahadah (kesaksian atau yang disaksikan), dan alam mulk. Alam ajsam berada pada martabat keenam dari tujuh martabat wujud.
6. Tentang Alam Manusia.
Manusia martabat ketujuh dari wujud Tuhan, disebut dengan kata syay’ jami’ dan dilihat dari unsur lahiriahnya (manusia kulit atau al-insan al-basyari) terlihat unsur tanah, air, udara, dan api. Sedangkan dilihat dari segi batiniah terdiri dari,
1) wujud, yang dimaksud yaitu zat;
2) ‘ilm, yang dimaksud yaitu sifat-sifat;
3) nur, yang dimaksud yaitu nama-nama; dan
4) syuhud, yang dimaksud yaitu perbuatan-perbuatan.
Sehingga insan secara ruhani yaitu hakiki sebagaiman Tuhan mempunyai unsur tersebut. Akan tetapi, semuanya yang dimiliki oleh insan yaitu ciptaan, pemberian, atau pinjaman dari Tuhan, sebagai wadah tajalli Tuhan dan sifat manusia itu sendiri hakikatnya fana (muhdas).
Walaupun mengikuti aliran yang sama, namun ada perbedaan kentara antara guru dan murid ini. Hamzah al-Fansuri yaitu seorang sufi pencari Tuhan, yang mencoba melaksanakan pencarian Tuhan lantaran didorong oleh batinnya.
Sedangkan, Syamsuddin al-Sumatrani spesialis sufi dan juga filosuf lebih mencicipi kebuTuhan mengenali hakikat dari segala sesuatu, serta mengetahui kesatuan yang tersembunyi. Syamsuddin al-Sumatrani berpandangan bahwa perjuangan mengenal Tuhan harus dibimbing oleh guru yang tepat lantaran bila tidak maka akan terjerumus dalam kesesatan.
2. Nuruddin al-Raniri.
a. Riwayat Hidup Nuruddin al-Raniri dan Karya Nuruddin al-Raniri.
Nur al-Din Muhammad bin Ali bin Hasanji al-Hamid (al-Humaid) al-Syafi’i al-As’ary al-Aydarusi al-Raniri (w. 1658 M), kemudian dikenal dengan Nuruddin al-Raniri atau al-Raniri lahir sekitar pertengahan kedua era ke-16 M di Ranir (Randir) kota pelabuhan renta di pantai Gujarat (India). Nuruddin al-Raniri meninggal pada tanggal 22 Zulhijah 1069 H atau bertepatan dengan 21 September 1658 M.
Keturunan nenek moyang dari Nuruddin al-Raniri dikalangan sejarahwan terjadi beda pendapat, pendapat pertama menyampaikan bahwa Nuruddin al-Raniri merupakan keturunan dari keluarga al-Hamid dari Zuhri (salah satu dari sepuluh keluarga Quraisy). Pendapat yang lain mengungkapkan bahwa Nuruddin al-Raniri merupakan keturunan dari al-Humaid, dengan nama lengkap Abu Bakr ‘Abd Allah bin Zubair al As’adi al-Humaid yang merupakan seorang mufti Makkah sekaligus murid termashur al-Syafii.
Perjalanan intelektual Nuruddin al-Raniri dimulai ditanah kelahirannya (Ranir) yaitu berguru ilmu agama, kemudian Nuruddin al-Raniri pindah ke Tarim, Hadramaut, dan Arab Selatan. Kemudian tahun 1621 M Nuruddin al-Raniri menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam nabi. Selama di Makkah dan Madinah Nuruddin al-Raniri menemui dan menjalin kekerabatan dengan para jamaah haji dan penduduk asal nusantara yang sudah menetap dan berguru di Arab.
Selaian itu, Nuruddin al-Raniri juga berguru ilmu tarekat rifa’iyyah, yang didirikan oleh Ahmad Rifai (w. 1183 M) kepada Syaikh Said Abu Hafs Umar bin ‘Abd Allah Ba Syaiban atau yang terkenal dengan nama Sayid Umar al-Aydarus dari Tarim. Setelah selasai kemudian Nuruddin al-Raniri oleh gurunya dijadikan sebagai Syaikh dan pengganti gurunya (khalifah). Walau demikian, Nuruddin al-Raniri ternyata juga berguru tarekat aydarusiyyah dan qadiriyyah.
Nuruddin al-Raniri selanjutnya merantau ke nusantara, tepatnya pada 31 Mei 1637 M, Nuruddin al-Raniri tiba ke Aceh di masa Sultan Iskandar Tsani. Ada dua perkiraan yang menyampaikan kenapa Nuruddin al-Raniri menentukan Aceh. Pertama lantaran Aceh pada saatitu telah menggantikan tugas Malaka yang dikuasai Portugis, sebagai sentra perdagangan, politik, dan studi islam di daerah Asia Tenggara. Kedua lantaran mengikuti jejak pamannya Muhammad al-Jailani bin Hasan bin Muhammad Hamid al-Raniri (1588 M).
Singkatnya, Nuruddin al-Raniri diterima dengan terbuka oleh Sultan Iskandar Tsani (menantu Iskandar Muda) terutama dalam hal pemikiran keagamaannya, yang dianggap sejalan dengan sang sultan. Sebagai bentuk penghormatan kepada Nuruddin al-Raniri kemudian Sultan Iskandar Tsani mengangkatnya sebagai mufti kerajaan (ketua penasehat). Aceh dikenal dengan besar lengan berkuasa atas paham wujudiyyahnya, sehingga menggugah Nuruddin al-Raniri untuk menuliskan beberapa kitab sebagai pembanding. Selain itu juga sultan sendiri tidak jarang menyuruh Nuruddin al-Raniri untuk menulis kitab-kitab terutama tasawuf, utamanya untuk membatasi efek paham wujudiyyah di Aceh.
Salah satu insiden penting dalam membatasi efek paham wujudiyyah, Nuruddin al-Raniri didukung oleh sultan mengadakan majelis persidangan terkait paham wujudiyyah dengan 40 ulama pendukung paham tersebut. Dalam kesempatan tersebut Nuruddin al-Raniri mengungkapkan kelemahan pahan wujudiyyah sekaligus bertentangan dengan al-Quran dan Hadits. Atas kewenangan sultan kemudian kitab kitab wujudiyyah karya Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin al-Sumaterani dibakar di depan masjid Baiturrahman Banda Aceh.
Di tahun ke-7 sebagai mufti kerajaan, Nuruddin al-Raniri menetapkan kembali ke tanah kelahirannya, tepatnya di tahun 1644 M. Di tahun itu juga Nuruddin al-Raniri bergotong-royong sedang menulis kitab jawahir gres hingga cuilan lima. Penyelesaian penulisan kitabnya selanjutnya diserahkan kepada murid terdekatnya.
Selain dikenal sebagai ulama Nuruddin al-Raniri terkenal sebagai seorang sufi, teolog, faqih, dan politisi, serta dikenal juga sebagai sastrawan, yaitu mempopulerkan bahasa Melayu sebagai bahasa ke dua di dunia islam sesudah bahasa Arab dan bahasa Melayu sebagai lingua franca. Nuruddin al-Raniri juga dianggap sebagai pembaharu dalam bidang metodologi penulisan ilmiah, pendapat ini didukung atas semua goresan pena Nuruddin al-Raniri selalu menyebutkan sumber acuan dalam memperkuat argumen yang dipaparkannya.
Nuruddin al-Raniri terkenal sebagai seorang penulis produktif. Tulisannya mencakup banyak sekali cabang ilmu agama, seperti sejarah, fikih, Hadits, akidah, mistik, filsafat, dan ilmu perbandingan agama. Jumlah karya tulisannya kurang lebih 29 kitab. Karyanya dalam bidang fikih yang cukup terkenal adalah al-Shirath al-Mustaqim (jalan lurus), membahas banyak sekali problem ibadah, mirip shalat, puasa, dan zakat. Karya-karya lainnya antara lain bustan al-Shalathin fi dzikir al-‘Awwalin wa al-Akhirin (berisi sejarah), dan ‘Asrar alInsan fi ma’rifat al-Ruh wa al-Rahman (berisi ilmu kalam).
b. Pemikiran Kalam Nuruddin al-Raniri.
1. Wujud Tuhan.
Nuruddin al-Raniri mengungkapkan bahwa wujud Tuhan yaitu esa lagi hakiki tanpa harus memerlukan dalil apapun.
2. Sifat dan zat Tuhan.
Sifat dan zat Tuhan harus dilihat dari dua aspek pertama aspek wujud; yaitu antara sifat dan zat tidak mempunyai perbedaan lantaran wujud yang hakiki yaitu Allah Swt. Kedua aspek pengertian; bahwa dari segi pengertian antara sifat dan zat itu berbeda begitu juga antara sifat satu dengan sifat lainnya. Selanjutnya Nuruddin al Raniri membagi sifat Tuhan menjadi dua sebagaimana diterangkan berikut:
1. Sifat zat, terdiri dari qidam (dahulu), baqa (kekal), mukhalafatu li’l hawadits (berbeda dengan makhluk), qiyamuhu bi nafshi (berdiri sendiri), dan wahdaniyyat (keesaan);
2.Sifat ma’ani, terdiri dari al-hayah (hidup), al-ilmu (ilmu), al-qudrah (kuasa), al-iradah (kehendak), al-sam’u (mendengar), al-bashr (melihat) dan al-kalam (berbicara).
Dari sifat ma’ani dikenalah sifat ma’nawiyyah yaitu al-Hayyu (Yang Hidup), al-‘Alimu (Yang Mengetahui), al-Qadiru (Yang Berkuasa), al-Muridu (Yang Berkehendak), al-Sami’u (Yang Mendengar), al-Bashiru (Yang Melihat) dan al-Mutakallimu (Yang Berbicara).
Dan dari sifat-sifat ma’nawiyah lahir sifat sifat fi’il (perbuatan) yang bekerjasama dengan insan yaitu al-Khaliq (Yang Mencipta), al-Raziq (Yang Memberi Rezeki), al-Hadi (Yang Memberi Petunjuk), al-Muhyi (Yang Menghidupkan), dan al-Mumit (Yang Mematikan);
3. Tajalli serta A’yan Tsabitah.
Nuruddin al-Raniri mengutip hadits qudsi bahwa Aku (Allah) yaitu perbendaharaan yang terpendam (kanzah makhfiyyan). Aku ingin supaya dikenal, maka Aku jadikan alam ini, sehingga itu mereka mengenal Aku.
Tajalli dalam pandangan Nuruddin al-Raniri berlangsung dalam dua martabat, yaitu:
1. Martabat wahidah;
Pada martabat ini terjadi tajalli zat pada sifat yang disebut syu’un zat atau ta’ayyun awwal. Ditegaskan bahwa sifat-sifat itu identik dengan zat Tuhan, dan tajalli sifat pada hakikatnya yaitu peristiwa ma’nawi yang timbul dari pengertian budi yang mengharuskan adanya zat terlebih dahulu dari sifat yang wujudnya selalu mengikuti zat. Intinya Nuruddin al-Raniri memandang bahwa zat Tuhan tidak pernah sepi (mujarrad) dari sifat.
2. Martabat wahidiyyah;
Pada martabat ini terjadi tajalli asma yang juga disebut ta’ayyun atau a’yan tsabitah (hakikat alam). Mengingat Tuhan bersifat ilmu, maka ada ma’lum (yang diketahui), dan isi yang diketahui, itu yaitu hakikat alam semesta atau a’yan tsabitah. Oleh lantaran itu, a’yan tsabitah yaitu hakikat alam yang merupakan objek yang diketahui (suwar ma’lumat) yang terletak dalam ilmu Allah Swt. Karena sifat identik dengan zat, maka hakikat alam atau a’yan tsabitah juga tidak berbeda dengan zat Allah Swt.
Dengan kata lain, segala hakikat telah ada dalam zat Tuhan sebelum bertajalli dalam ilmuNya. Selain itu, dibedakan secara tegas bahwa perbedaan antara zat Allah dan a’yan tsabitah bukan terletak pada wujudnya, lantaran yang berwujud yaitu Tuhan, tetapi perbedaan hanya ada pada pemahaman budi semata. Sedangkan alam tidak lebih dari bayangan dan tidak mempunyai wujud, dan hanya berperan sebagai wadah fenomena indrawi atas tajalli Allah melalui sifat asmaNya.
4. Manusia.
Manusia terdiri atas jasad dan ruh, jasad adalah wadah dari ruh, yang tercipta dari alam ciptaan (alam khalaq) yang terdiri atas banyak sekali unsur material. Sedangkan ruh atau nasf nathiqah (jiwa berpikir) yaitu hakikat segala insan mengetahui segala sesuatu, ruh berasal dari alam arwah dan jasad dijadikan sebagai tempat. Insan kamil berasal dari nur Muhammad dan selalu berpindah dalam banyak sekali bentuk dari satu generasi ke generasi selanjutnya, mulai para rasul, para nabi, para sahabat, dan seterusnya hingga berakhir di nabi Isa.
Nur Muhammad yaitu hakikat pertama yang muncul dalam ilmu Allah atau yang disebut ta’ayyun awal yang lahir dari tajalli zat atas zat.
5. Agama.
Agama terbagi atas empat cuilan yaitu iman, islam, makrifat, dan tauhid.
1. Iman; yang dimaksud terbagi menjadi dua, yaitu: pertama iman umum (mujmal) ialah beriman kepada Allah beserta sifat-sifatnya dan beriman pada rasul beserta sabda-sabdanya; kedua iman terperinci (mufashshal) yang terbagi atas enam perkara, yaitu:
1) iman kepada Allah dan nabi Muhammad, mengakui zat dan sifat Allah Swt. Sedangkan iman atas nabi Muhammad ialah menyakini bahwa benar sebagai utusan Allah dan banar dari segala yang diajarkannya;
2) iman kepada malaikat.
3) iman kepada kitab suci;
4) iman kepada rasul;
5) iman kepada hari kiamat; dan
6) iman kepada qada’ dan qadar;
2. Islam; manusia dikatakan islam ketika melaksanakan lima hal, yaitu :
1) mengucap dua kalimat syahadat;
2) mengerjakan shalat lima waktu;
3)membayar zakat;
4) berpuasa di bulan ramadhan; dan
5) menjalankan ibadah haji;
3. Makrifat adalah pengetahuan atas zat, sifat, dan perbuatan Allah Swt;
4. Tauhid ialah pengetahuan lebih dalam wacana keesaan Allah, zat, sifat-sifat, dan fiilNya;
c. Kritik pada Paham Wujudiyyah.
1. Hamzah al-Fansuri mengajarkan ajaran wujudiyyah (panteisme), yaitu Tuhan dalam kandungan (immanen) alam. Tuhan yaitu hakikat fenomena alam ini;
2. Nyawa bukan merupakan khalik dan bukan juga makhluk;
3. Al-Qur’an yaitu makhluk;
4. Nyawa berasal dari Tuhan, dan kembali akan bersatu denganNya, mirip ombak kembali ke laut;
Persamaan dengan Hamzah al-Fansuri ialah menganggap alam tidak mempunyai bayangan dan yang hakiki hanyalah Tuhan. Perbedaannya, Nuruddin al-Raniri menganggap bahwa ketiadaan alam ini disebabkan oleh yang esa dari Tuhan, sementara wujud lain yaitu majazi. Sedangkan Hamzah al-Fansuri menganggap bahwa yang meniadakan alam ini yaitu wujud Tuhan yang hakiki yang ada dalam kandungan alam tersebut, sehingga keduanya merupakan satu-kesatuan hakikat wujud yang tidak sanggup dipidahkan.
3. Hamzah al-Fansuri.
a. Riwayat Hidup Hamzah al-Fansuri dan Karya Hamzah al-Fansuri.
Hamzah al-Fansuri atau dikenal dengan nama lain Hamzah Syahru Nawi lahir di Sumatera Utara, dan hidup antara final era ke-16 hingga awal era ke-17 M. Fansuri (Barus) diambil dari nama kota kelahirannya yang kemudian dianggap sebagai kelahiran pertama (jasmani), sedangkan Syahru Nawi merupakan nama kelahiran kedua (ruhani). Beliau dikenal sebagai tokoh tasawuf falsafi dengan paham wahdat alwujud yang berpijak pada madzhab Ibnu ‘Arabi.
Hamzah al-Fansuri dalam kebahasaan dipandang sebagai peletak dasar bahasa melayu dalam dunia Islam sesudah bahasa Arab, Persi, dan Turki. Dan dalam bidang keilmuan juga dianggap sebagai penggagas penulisan risalah tasawuf yang ilmiah dan sistematis. Selain itu, Hamzah al-Fansuri juga dikenal dalam bidang politik sebagai seorang yang kritis. Serta sebagai penggagas penerapan metode takwil atau hermeneutika keruhanian dalam bidang filsafat.
Para sejarahwan beropini bahwa Hamzah al-Fansuri sudah mulai menulis pada masa Kesultanan Aceh, yaitu masa Sultan Alauddin Ri’ayat Syah Sayid al-Mukammal (w. 1604 M). Berkat tugas Sultan Alauddin juga hasil karya-karya Hamzah al-Fansuri sanggup dikenalkan di banyak sekali daerah, antara lain Gresik, Kudus, Makassar, Ternate, Malaka, Kedah, Sumatera Barat, dan Kalimantan Barat. Adapun karya-karyanya ialah syarah al‘Asyiqin, asrar al-‘Arifin, dan al-Muntahi.
b. Pemikiran Hamzah al-Fansuri.
Pemikiran Hamzah al-Fansuri secara mendalam dijelaskan dalam tiga karyanya yaitu,
1) syarah al-‘Asyiqin;
2) asrar al-‘Arifin; dan
3) al-Muntahi;
Adapun klarifikasi secara umam sebagaimana berikut:
Pertama, dalam syarah al-‘Asyiqin secara garis besar membahas ilmu suluk, tajalli Tuhan, dan isyq dan sukr yang penjelasannya sebagai berikut:
1. Ilmu suluk terdiri dari:
a. Syariat adalah kewajiban di dunia dalam menjalankan kebajikan dan menjauhkan diri dari kejahatan dan syariat juga sebagai pintu pertama tarekat;
b. Tarekat dimulai dari taubat al-nasuha. Yaitu tidak memikirkan dan mengurusi dunia dan tidak meminta selain kepada Allah Swt.
c. Hakikat dibagi atas dua yaitu:
Pertama orang beristri, beranak, dan berumah tangga tetapi hati selalu lekat dengan Allah Swt;
Kedua yang menghabiskan hidup untuk menyembah dan menyayangi Allah Swt;
d. Ma’rifat adalah mengenal Allah Swt dengan sebenar-benarnya, tanpa ma’rifat shalat yang dilakukan oleh jago suluk tidak sah.
2. Tajalli Tuhan.
Dalam pembahasan tentang tajalli, al-Fansuri mengkatagorikan bahwa penciptaan tersusun atas lima martabat, yaitu:
a. Ta’ayyun awwam yang terdiri atas pengetahuan (ilm), ada (wujud), menyaksikan (syuhud), dan cahaya (nur);
b. Ta’ayyun tsani yakni kenyataan menjadi yang dikenal dan yang diketahui. Pengetahuan dalam bentuk yang dikenal atau al-a’yan al-tsabitah atau suwar al‘ilmiyah atau al-haqiqah al-asyya atau ruh idlafi;
c. Ta’ayyun tsalits adalah ruh insan dan makhluk hidup lainnya;
d. Ta’ayyun rabi’ dan khamis yaitu penciptaan alam semesta dan makhluk-makhluk secara terus-menerus, salah satunya penciptaan atas manusia (ila ma la nihayata lahu).
Kedua, asrar al-‘Arifin, Hamzah al-Fansuri menandakan bahwa melalui ketujuh sifat Tuhan yaitu al-Hayy, al-‘Ilm, al-Mudir, al-Qadim, al-Kalam, al-sami’, dan al-Bashir kemudian Tuhan disebut al-Kamal, al-Rahman, dan al-Rahim mengandung potensi dari tindakan-tindakanNya yang selalu menampakkan diri melalui ciptaanNya. Sebagaimana dianalogikan bahwa wujud Tuhan sebagai al-bahr yakni lautan dalam, yang ombaknya atau penampakan sifat dan pengetahuanNya mencakup segala sesuatu (diumpamakan altariq). Melalui analogi maritim dan ombak keduanya adalah al-fariq.
Hamzah Al-Fansuri juga mejelaskan bahwa insan yaitu kecil (habab) dan kasar (khathif) tetapi sesungguhnya bersahabat dengan Tuhan (bahr al-Lathif atau bahr al-‘Amiq). Sebagaimana merujuk ayat al-Quran bahwa Tuhan dengan insan sangat dekat, melebihi urat nadinya. Akan tetapi al-Fansuri menegaskan bahwa pendapatnya bukan ingin menyamakan antara Tuhan dan makhluknya, justru hanya sekedar sebagai tamsil dengan ditujukan pada keadaan (syu’un) Tuhan yakni Tuhan selalu mencipta dan tidak berkesudahan.
Ketiga, al-Muntahi, Hamzah al-Fansuri menjelaskan bahwa penciptaan alam semesta sebagaimana manifestasi Tuhan dan kemahakuasaanNya.
Secara umum, pemikiran wahdat al-Wujud Hamzah al-Fansuri lebih menonjolkan aspek keserupaan atau kemiripan (tasybih) antara Tuhan dengan alam ciptaanNya, singkatnya menganggap Tuhan yang immanen. Walaupun tidak menafikan perbedaan (tanzih) antara Tuhan dan ciptaanNya. Sehingga pemikirannya kemudian dianggap sebagai paham panteisme.
4. Nawawi al-Bantani.
a. Riwayat Singkat Nawawi al-Bantani dan Karya Nawawi al-Bantani.
Nawawi bin Umar bin Arabi atau Abu Abdul Mu’ti dikenal dengan nama Nawawi al Bantani, lahir di Banten tahun 1813 M dan meninggal tahun 1897 M di Makkah. Nawawi al-Bantani dimakamkan di Ma’la berdekatan dengan makam Siti Khadijah, istri nabi Muhammad Saw. (w. 11 H/ 632 M). Nawawi al-Bantani yaitu anak dari Syaikh Umar bin Arabi penghulu masjid agung Banten, merupakan keturunan Sunan Gunung Jati (w. 1568 M) dari Sultan Hasanuddin (w.1570 M).
Nawawi al-Bantani di umur 15 tahun tinggal di Makkah dan Madinah untuk mempelajari ilmu agama islam dan melaksanakan ibdah haji. Tahun 1831 M, Nawawi al-Bantani pulang ke Banten dan mengajar ilmu agama di pesantren peninggalan orang tuanya. Selama berada di nusantara Nawawi al-Bantani berguru ilmu agama kepada beberapa guru diantaranya Syaikh Muhammad Khatib al Sambasi (w. 1289 H/ 1872 M), Syaikh Abdul Gani Bima dari Nusa Tenggara (w. 1270 H/ 1853-an M), dan tokoh-tokoh lainnya. Akan tetapi, kondisi politik yang terjadi di Banten tidak aman karenanya Nawawi al-Bantani menetapkan kembali dan bermukim di Makkah hingga meninggal.
Nawawi al-Bantani menekuni ilmu agama selama + 30 tahun dan terkenal cerdas. Selama di Makkah, setiap hari Nawawi al-Bantani memperlihatkan pengajian ilmu agama, dan menjadi imam besar di masjidil haram. Selain itu Nawawi al-Bantani terkenal menjadi salah satu ulama besar umat islam internasional, sekaligus menjadi pujian umat Islam khususnya umat islam di Asia Tenggara. Nawawi al-Bantani menerima banyak sekali gelar kehormatan mirip sayyid ulama al-Hejaz, mufti, dan faqih.
Nawawi al-Bantani dikategorikan sebagai ulama besar dan anti penjajah. Pandangannya terkait perlawanan pada penjajah tidak dilakukan melalui jalur berangasan dan revolusi, tetapi melalui pendidikan. Nawawi al-Bantani dalam setiap kesempatan selalu memperlihatkan penyadaran kepada murid-muridnya, selalu menegakkan kebenaran, dan melawan ketidakadilan terutama yang dilakukan oleh para penjajah.
Tulisan Nawawi al-Bantani mempunyai banyak kelebihan dan keistimewaan, sebagaimana dikatakan oleh para peneliti sejarahwan. Diantaranya penggunaan bahasa sederhana dan bisa menghidupkan tulisan, sehingga pembaca gampang memahami dan menjiwai isinya. Tulisan Nawawi al-Bantani sudah tidak abnormal di negara Timur Tengah, selain sebagai materi bacaan, juga menjadi materi materi, dan materi pola diberbagai kajian.
Tulisan Nawawi al-Bantani khususnya dalam ilmu kalam diantaranya ialah: fath al-Majid, tijan al-Durari, nur al-Dzulam, al-Futuhat al-Madaniyah, al-Tsumar al-Yaniah, bahjat al-Wasail, kasyifat as-Suja, mirqat al-Su’ud dan lainnya.
b. Pemikiran Nawawi al-Bantani.
1. Sifat Tuhan.
Nawawi al-Bantani berpandangan bahwa Tuhan mempunyai sifat dan sanggup diketahui dari perbuatanNya. Hal ini sejalan dengan konsep yang dikemukakan oleh Imam Abu Hasan al-Asyari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Selain itu, Nawawi al-Bantani juga menggolongkan sifat Tuhan menjadi tiga, yaitu:
1. Sifat wajib, sifat yang niscaya menempel pada Tuhan dan tidak mungkin tidak ada;
2. Sifat mustahil, yaitu sifat yang niscaya tidak menempel pada Tuhan dan wajib tidak ada;
3. Sifat mumkin, yaitu sifat yang boleh ada dan tidak ada pada Allah;
2. Iman.
Tashdiq ditetapkan oleh Nawawi sebagai hal utama dan ditempatkan menjadi penentu keimanan dan kekafiran manusia, dibanding ma’rifat dan amal. Nawawi menambahkan bahwa insan tetap menjadi mukmin walau tidak melaksanakan ketaatan, tetapi hatinya membenarkan dan mengakui keberadaan fatwa yang dibawa nabi Muhammad Saw. Sedangkan yang menolak atau tidak mengakui fatwa tersebut yaitu kafir.
3. Perbuatan Tuhan dan Perbuatan Manusia.
Perbuatan insan berasal dari insan itu sendiri dengan dibantu dan daya yang diberikan Tuhan dalam dirinya dan alam sekitarnya. Artinya bukan sesuatu yang tidak mungkin bahwa perbuatan manusia, dismping perbuatan Tuhan, yang melaksanakan suatu perbuatan lantaran kedua perbuatan tersebut mempunyai masingmasing pelakunya. Perbuatan Tuhan kembali (berhubungan, ta’alluq) kepada Tuhan, sedangkan perbuatan insan kembali (ta’alluq) kepada manusia. Sehingga adanya pahala untuk yang berbua taat dan siksa bagi yang maksiat.
5. Pelaku Dosa Besar.
Pelaku dosa besar berdasarkan pandangan Nawawi al-Bantani dikatakan jikalau bertaubat akan masuk surga, dan ketika tidak bertaubat diserahkan kepada Tuhan. Karena kehendak memberi ampunan atau tidak hanya Tuhan. Akan tetapi pendosa besar masih sebagai golongan mukmin. Ketika taubatnya seorang muslim tidak diterima maka akan disiksa sesuai kadar dosanya dan ketika sudah menjalankan siksaan atas dosanya, akan dimasukkan ke surga.
6. Kalamullah.
Nawawi membedakan kalamullah dan al-Quran, walaupun mempunyai persamaan pada makna yang ditunjuknya. Kalamullah bersifat qadim yang menempel dengan zat Tuhan, dan tidak terdiri dari huruf, kata, suara, ayat, dan sebagainya. Sedangkan al Alquran tidak qadim dan terdiri dari huruf, kata, suara, ayat, dan sebagainya.
Secara umum, pemikiran Nawawi al-Bantani mengakui kemahakuasaan Tuhan tetapi tidak hingga pada penisbatan Tuhan yang disandarkan pada manusia. Hal ini menempatkan Nawawi al-Bantani pada posisi tengah-tengah antara teologi qadariyah dan jabariyah.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan wacana pemikiran kalam ulama nusantara. Sumber buku Ilmu Kalam Kelas XII MA Kementerian Agama Republik Indonesia, 2016. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.