Konteks Sosial-Historis Undang-Undang Republik Indonesia Wacana Pengelolaan Zakat
Wednesday, April 15, 2020
Edit
Penting mempelajari konteks sosial historis terkait pembentukan Undangundang Pengelolaan Zakat Nomor 23 tahun 2011. Konteks ini akan membantu situasi dan kondisi eksternal yang tidak tercantum di dalam teks undang-undang itu sendiri. Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 wacana Pengelolaan Zakat resmi diundangkan dan masuk dalam Lembaran Negara Republik Indonesia bernomor 115 sehabis ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 25 November 2011. Ini momen sejarah yang menandai Indonesia masuk dalam fase berikutnya.
Yang penting diketahui yakni UU RI No. 23 Tahun 2011 menggantikan UU RI No. 28 Tahun 1999. Pengelolaan zakat pun mempunyai sistem pengaturan dan tata kelola yang berbeda dari sebelumnya. Secara umum sanggup dikatakan bahwa struktur UndangUndang RI No. 23 Tahun 2011 wacana Pengelolaan Zakat terdiri dari 11 cuilan dengan 47 pasal. Bahkan, untuk mengantisipasi segala bentuk penyelewengan kekuasaan dan wewenang, UU RI No. 23 Tahun 2011 mencantumkan juga ketententuan pidana dan ketentuan peralihan. Dengan adanya ketentuan pidana maka setiap tindak penyelewengan dana zakat sanggup dikenakan eksekusi pidana.
Terbitnya UU RI No. 23 Tahun 2011 wacana Pengelolaan Zakat sangat positif alasannya yakni negara dan pemerintah mengharapkan maksimalisasi pendayagunaan dan hasil guna pengelolaan zakat, infaq, dan sedekah di Indonesia. Harapan ini berlandaskan pada pedoman bahwa pengelolaan zakat pada ketika memakai payung aturan UU RI No. 38 Tahun 1999 dirasakan kurang optimal. Tentu nanti kita akan dilihat aspekaspek yang dinilai kurang optimal tersebut. Salah satu aspek yang dinilai kurang optimal yakni UU RI No. 38 Tahun 1999 kurang bisa menjawab permasalahan zakat di tanah air. Pasal-pasal yang termaktub di dalamnya sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan aturan dalam masyarakat sehingga butuh pembaharuan. UU RI No. 23 Tahun 2011 yakni bentuk revisi pada aspek-aspek tertentu dan tetap memberlakukan pasal-pasal yang dirasa masih relevan.
Secara kronologis sanggup dikatakan bahwa hari Senin, 28 Maret 2011 yakni tonggak sejarah luar biasa. Rapat Kerja antar Komisi VIII dewan perwakilan rakyat RI dengan Pemerintah menghasilkan pembahasan rancangan undang-undang wacana pengelolaan zakat, infaq, dan sedekah. Hari dan tanggal ini sudah disepakati bersama pada masa persidangan III tahun sidang 2010-2011. Selain itu, masa persidangan III ini juga mengesahkan panitia kerja (Panja) RUU wacana pengelolaan zakat, infaq, dan sedekah.
Hal yang perlu diketahui yakni pembahasan RUU melalui rapat dengar pendapat (RDP) Panja Komisi VIII dewan perwakilan rakyat RI dengan pemerintah dilakukan sebanyak 7 (tujuh) kali. Dengan kata lain, ini betul-betul kerja keras pemerintah dalam menggodok aturan aturan negara yang menyangkut duduk masalah penting dalam agama. Sebab, sekalipun zakat yakni rukun Islam, tetapi posisi dan kiprahnya sangat urgen bagi kehidupan bangsa dan negara. Pembahasan RUU juga dilakukan melalui Rapat Konsinyering sebanyak 2 (dua) kali, terhitung mulai tanggal 28 Maret 2011 hingga 17 Oktober 2011.
Pada Rapat Konsiyering yang dilakukan di hari Jumat, 18 Juni 2011 pukul 21.00, subtansi RUU wacana pengelolaan zakat, infaq, dan sedekah dicermati dengan betul dan sangat serius. Panja Komisi VIII dewan perwakilan rakyat RI dan Panja Pemerintah bersepakat untuk mengubah judul RUU wacana Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Sedekah menjadi Racangan Undang-Undang wacana Pengelolaan Zakat.
Sedangkan judul Pengaturan Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Sedekah dan Dana Sosial Keagamaan Lainnya disepakati untuk diatur sebagai norma perhiasan (extra norms). Hal itu kemudian terlihat sebagaimana dalam rumusan RUU wacana Pengelolaan Zakat Pasal 28 ayat (1), (2), (3). Kerja maraton dari Panja VIII dewan perwakilan rakyat RI dan Panja Pemerintah menghasilkan keputusan yang luar biasa. Undang-undang yang gres berhasil diterbitkan.
Gedung Nusantara I dewan perwakilan rakyat seakan menjadi saksi bisu berlangsungnya Rapat Kerja Komisi VIII dewan perwakilan rakyat dengan Pemerintah, yang terdiri dari Menteri Agama, Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Rapat ini yang bertujuan untuk meengambil Keputusan Tingkat I terhadap RUU wacana Pengeloaan Zakat dipimpin Ketua Komisi VIII, Abdul Kadir Karding. Orangorang inilah yang menjadi saksi sejarah terbentuknya undang-undang gres pengelolaan zakat bernomor 23 tahun 2011 yang kita pakai hingga ketika ini.
Pada waktu itu, RUU wacana Pengelolaan Zakat ini yang diajukan ke Sidang Paripurna Dewan menurut persetujuan dari seluruh fraksi yang ada di Komisi VIII ketika Pengambilan Keputusan Tingkat I terhadap RUU wacana Pengelolaan Zakat. Komisi VIII menjadi ruang dimana juru bicara dari tiap-tiap fraksi partai politik mengutarakan pandangan mereka. Undang-undang gres bertahun 2011 ini yakni rumusan pedoman partai politik yang utusannya berada di Komisi VIII.
Salah satu juru bicara fraksi Partai Demokrat yang bisa dikutip di sini yakni Nany Sulistyani Herawati. Tanpa mengecilkan donasi dan tugas partai lain, Nany Sulistyani Herawati mengusulkan hendaknya pendekatan dalam pengelolaan zakat sebaiknya lebih difokuskan pada perspektif pemberdayaan dan bersifat jangka panjang dibanding bersifat pemberian dan sementara. Pernyataan ini sanggup diartikan sebagai kritik atas UU RI Nomor 38 Tahun 1999 yang dinilai lebih mengedepankan spirit santunan. Sebaliknya, undang-undang gres tahun 2011 lebih mengarah pada produktivitas pengelolaan dana zakat.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan wacana konteks sosial-historis undang-undang Republik Indonesia wacana pengelolaan zakat. Sumber Pendalaman Materi Fikih Modul 3 Penyusun: Muh. Shabir Umar Kementerian Agama Republik Indonesia JAKARTA 2019. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
Yang penting diketahui yakni UU RI No. 23 Tahun 2011 menggantikan UU RI No. 28 Tahun 1999. Pengelolaan zakat pun mempunyai sistem pengaturan dan tata kelola yang berbeda dari sebelumnya. Secara umum sanggup dikatakan bahwa struktur UndangUndang RI No. 23 Tahun 2011 wacana Pengelolaan Zakat terdiri dari 11 cuilan dengan 47 pasal. Bahkan, untuk mengantisipasi segala bentuk penyelewengan kekuasaan dan wewenang, UU RI No. 23 Tahun 2011 mencantumkan juga ketententuan pidana dan ketentuan peralihan. Dengan adanya ketentuan pidana maka setiap tindak penyelewengan dana zakat sanggup dikenakan eksekusi pidana.
Terbitnya UU RI No. 23 Tahun 2011 wacana Pengelolaan Zakat sangat positif alasannya yakni negara dan pemerintah mengharapkan maksimalisasi pendayagunaan dan hasil guna pengelolaan zakat, infaq, dan sedekah di Indonesia. Harapan ini berlandaskan pada pedoman bahwa pengelolaan zakat pada ketika memakai payung aturan UU RI No. 38 Tahun 1999 dirasakan kurang optimal. Tentu nanti kita akan dilihat aspekaspek yang dinilai kurang optimal tersebut. Salah satu aspek yang dinilai kurang optimal yakni UU RI No. 38 Tahun 1999 kurang bisa menjawab permasalahan zakat di tanah air. Pasal-pasal yang termaktub di dalamnya sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan aturan dalam masyarakat sehingga butuh pembaharuan. UU RI No. 23 Tahun 2011 yakni bentuk revisi pada aspek-aspek tertentu dan tetap memberlakukan pasal-pasal yang dirasa masih relevan.
Secara kronologis sanggup dikatakan bahwa hari Senin, 28 Maret 2011 yakni tonggak sejarah luar biasa. Rapat Kerja antar Komisi VIII dewan perwakilan rakyat RI dengan Pemerintah menghasilkan pembahasan rancangan undang-undang wacana pengelolaan zakat, infaq, dan sedekah. Hari dan tanggal ini sudah disepakati bersama pada masa persidangan III tahun sidang 2010-2011. Selain itu, masa persidangan III ini juga mengesahkan panitia kerja (Panja) RUU wacana pengelolaan zakat, infaq, dan sedekah.
Hal yang perlu diketahui yakni pembahasan RUU melalui rapat dengar pendapat (RDP) Panja Komisi VIII dewan perwakilan rakyat RI dengan pemerintah dilakukan sebanyak 7 (tujuh) kali. Dengan kata lain, ini betul-betul kerja keras pemerintah dalam menggodok aturan aturan negara yang menyangkut duduk masalah penting dalam agama. Sebab, sekalipun zakat yakni rukun Islam, tetapi posisi dan kiprahnya sangat urgen bagi kehidupan bangsa dan negara. Pembahasan RUU juga dilakukan melalui Rapat Konsinyering sebanyak 2 (dua) kali, terhitung mulai tanggal 28 Maret 2011 hingga 17 Oktober 2011.
Pada Rapat Konsiyering yang dilakukan di hari Jumat, 18 Juni 2011 pukul 21.00, subtansi RUU wacana pengelolaan zakat, infaq, dan sedekah dicermati dengan betul dan sangat serius. Panja Komisi VIII dewan perwakilan rakyat RI dan Panja Pemerintah bersepakat untuk mengubah judul RUU wacana Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Sedekah menjadi Racangan Undang-Undang wacana Pengelolaan Zakat.
Sedangkan judul Pengaturan Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Sedekah dan Dana Sosial Keagamaan Lainnya disepakati untuk diatur sebagai norma perhiasan (extra norms). Hal itu kemudian terlihat sebagaimana dalam rumusan RUU wacana Pengelolaan Zakat Pasal 28 ayat (1), (2), (3). Kerja maraton dari Panja VIII dewan perwakilan rakyat RI dan Panja Pemerintah menghasilkan keputusan yang luar biasa. Undang-undang yang gres berhasil diterbitkan.
Gedung Nusantara I dewan perwakilan rakyat seakan menjadi saksi bisu berlangsungnya Rapat Kerja Komisi VIII dewan perwakilan rakyat dengan Pemerintah, yang terdiri dari Menteri Agama, Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Rapat ini yang bertujuan untuk meengambil Keputusan Tingkat I terhadap RUU wacana Pengeloaan Zakat dipimpin Ketua Komisi VIII, Abdul Kadir Karding. Orangorang inilah yang menjadi saksi sejarah terbentuknya undang-undang gres pengelolaan zakat bernomor 23 tahun 2011 yang kita pakai hingga ketika ini.
Pada waktu itu, RUU wacana Pengelolaan Zakat ini yang diajukan ke Sidang Paripurna Dewan menurut persetujuan dari seluruh fraksi yang ada di Komisi VIII ketika Pengambilan Keputusan Tingkat I terhadap RUU wacana Pengelolaan Zakat. Komisi VIII menjadi ruang dimana juru bicara dari tiap-tiap fraksi partai politik mengutarakan pandangan mereka. Undang-undang gres bertahun 2011 ini yakni rumusan pedoman partai politik yang utusannya berada di Komisi VIII.
Salah satu juru bicara fraksi Partai Demokrat yang bisa dikutip di sini yakni Nany Sulistyani Herawati. Tanpa mengecilkan donasi dan tugas partai lain, Nany Sulistyani Herawati mengusulkan hendaknya pendekatan dalam pengelolaan zakat sebaiknya lebih difokuskan pada perspektif pemberdayaan dan bersifat jangka panjang dibanding bersifat pemberian dan sementara. Pernyataan ini sanggup diartikan sebagai kritik atas UU RI Nomor 38 Tahun 1999 yang dinilai lebih mengedepankan spirit santunan. Sebaliknya, undang-undang gres tahun 2011 lebih mengarah pada produktivitas pengelolaan dana zakat.