Pendekatan-Pendekatan Tafsir Kontemporer
Tuesday, April 14, 2020
Edit
Beberapa pendekatan tafsir kontemporer yang ada sebagai berikut;
1. Pendekatan Ilmiah
Tafsir dengan pendekatan ilmiah mengharuskan penafsir dalam memahami ayat-ayat Al-Quran cenderung menyelaraskan antara teori ilmiah atau aspek metafisika alam dengan ayat Al-Quran. Al-Quran yang bersifat universal telah memperlihatkan citra seluas-luasnya perihal fenomena alam semesta, yang ternyata setelah dicocokkan sangat berkesesuaian dengan teori ilmu pengetahuan yang dimiliki insan pada masa ini.
2. Pendekatan Semantik
Sebagai kalam Allah, Al-Quran bersifat transenden dan transhistoris. Namun lantaran disampaikan dalam bahasa manusia, maka Al-Quran juga imanen dan historis. Susunan teks Al-Quran yang dipercaya sesuai dengan susunan di lawḥ al-maḥfuz berbeda dengan urutan diturunkannya. Jumlah kata-kata Al-Quran ialah terbatas, sedang ruang-waktu pemberlakuannya hampir tak terbatas. Fakta-fakta ini sepertinya sanggup menjadi alasan yang cukup untuk menyampaikan bahwa kompleksitas makna Al-Quran itu demikian tinggi, apalagi bila hendak difahami pada masa yang sangat jauh dengan masa penurunannya, menyerupai kini ini.
Untuk menangkap pesan dan informasi Al-Quran secara mendalam dan komprehensif, seiring perkembangan ilmu, teknologi, dan peradaban manusia, diharapkan kajian metodologi yang semakin canggih. Salah satu pendekatan kajian Al-Quran yang sepertinya berhasil mengungkapkan gagasan Al-Quran secara mendalam dan komprehensif, mengenai pandangan dunia dan konsep-konsep etika-religus Al-Quran, ialah pendekatan semantik, menyerupai yang dilakukan Toshihiko Izutsu. Pendekatan ini mengharuskan penggunanya menguasai bahasa Arab dengan baik hingga sya`ir-sya`ir jāhilī.
3. Pendekatan Hermeneutika
Pendekatan hermeneutika telah mengilhami para sarjana muslim kontemporer untuk membuka wacana baru, menyerupai Arkoun, Hasan Hanafi, Farid Esack dan Nasr Hamid Abu Zaid, dalam melaksanakan interpretasi. Konsekuensi dari model hermeneutika, dalam menafsirkan Al-Quran tidak hanya mengandalkan perangkat keilmuan menyerupai yang dipakai para penafsir dulu, menyerupai ilmu nah}wu sharaf, ushul fiqh dan balaghah, tetapi diharapkan ilmu-ilmu lain menyerupai teori sosiologi, antropologi, filsafat ilmu, sejarah, gender, dan sebagainya. Metode hermeneutika yang dikembangkan oleh para penafsir kontemporer itu pun sangat beragam. Keberagaman ini muncul bukan hanya lantaran semakin terbukanya umat Islam terhadap gagasan gagasan yang berasal dari luar, menyerupai info perihal HAM, gender, demokrasi, civil society, pluralisme dan sebagainya, namun juga lantaran adanya dinamika dan kesadaran pada mereka akan kekurangan-kekurangan metode dan pendekatan yang ada selama ini.
Dengan kentalnya nuansa hermeneutik, maka tugas teks, pengarang dan pembaca menjadi berimbang, sehingga kesewenang-wenangan dan pemaksaan penafsiran relatif sanggup dihindari. Dengan demikian, meminjam istilah Khalid Aboul Fadl, otoritarianisme penafsiran sanggup dieliminasi dan produk-produk tafsir menjadi lebih otoritatif, tidak otoriter dan despotic. 1
Setiap penafsir niscaya sudah mempunyai prejudice sebelum berhadapan dengan teks. Jadi, sebuah penafsiran niscaya melibatkan subjektivitas penafsir. Penafsiran atas kitab suci tidak hanya bersifat reproduktif, tapi juga produktif. Dalam konteks ini Hans-Georg Gadamer mengatakan, “That is why under-standing is not merely a reproductive, but always a productive attitude as well.”2 Kita mustahil membaca teks tanpa prasangka (prejudice, Vorurteil) dan kita mustahil memahami teks kalau tidak menambah makna terhadap makna yang sudah ada. Namun demikian, gotong royong Gadamer tidak berhenti di situ, lantaran dengan mengikuti bulat hermeneutic, ia menganggap bahwa bisa terjadi penggabungan kedua cakrawala (fusion of the two horizons). Yang dimaksud penggabungan dua cakrawala ialah bahwa kita tidak berarti selalu akan menghasilkan sebuah gabungan yang seimbang di antara masa kemudian (kuno) dan cakrawala masa kini (modern). Juga tidak berarti bahwa cakrawala masa kini akan mendominasi cakrawala masa lalu. Sebaliknya makna orisinil itu sanggup diperoleh dari penggabungan kedua cakrawala. Artinya, kita perlu menilik makna teks bagi orang di masa kemudian (what it means) dengan jalan exegese, sehabis itu kita gres mencari makna teks bagi masa kini (what its means) melalui hermeneutika.3 Dengan begitu, maka teks itu menjadi "hidup" dan kaya akan makna. Teks itu akan menjadi dinamis pemaknaannya dan selalu kontekstual, seiring dengan akselerasi perkembangan budaya dan peradaban manusia.4
Oleh alasannya itu, masuk akal bila teks yang tunggal, kemudian dibaca oleh banyak pembaca (readers), menghasilnya banyak wajah penafsiran. Menarik untuk dikutip dalam hal ini ialah pendapat Amina Wadud yang mengatakan: “Although each reading is unique, the understanding of various readers of singel text will converge on many points.”5 Menurutnya, lantaran selama ini tidak ada metode tafsir yang benar-benar objektif. Masing-masing interpretasi cenderung mencerminkan pilihan-pilihan yang subjektif.6
Lalu bagaimana semoga sebuah penafsiran itu relatif lebih objektif. Menurut Amina Wadud, untuk memperoleh penafsiran yang relatif objektif, seorang penafsir harus kembali pada prinsip-prinsip dasar dalam Al-Quran sebagai kerangka paradigmanya dan seorang penafsir perlu memahami Weltanchauung atau world view.7 Gagasan perihal perlunya memahami Weltanschauung gotong royong merupakan ide dari Fazlur Rahman. Gagasan ini dirumuskan dengan memakai mekanisme sintesis antara sistem etika dan teologi.8
4. Pendekatan Ilmu-Ilmu Sosial
Pendekatan ini gotong royong tidak terlalu baru, pendekatan ini sudah dikenal di awal era modern yang lalu. Persentuhan dengan peradaban barat disebut-sebut sebagai stimulus lahirnya pendekatan ini dalam dunia Islam. Kemampuan para penafsir kontemporer dalam memahami ilmu-ilmu sosial, dijadikan modal untuk memahami gejala-gejala keagamaan yang sejauh ini hanya didasarkan pada ilmu-ilmu agama. Mereka sepertinya sangat menyadari bahwa ilmu sosial yang berasal dari Barat itu sangat penting untuk memahami (mengkritik) tanda-tanda (agama) yang ada dalam dunia Islam selama ini.
Riffat Hassan misalnya, dengan terang-terangan mengakui perlunya berbagi apa yang oleh Barat disebut dengan "teologi feminis" untuk membebaskan umat Islam dari struktur yang tidak adil dan tidak memungkinkan terjadinya hubungan yang hidup antara pria dan perempuan.9 Sebenarnya, pendekatan ilmu sosial ini sudah dimulai semenjak era moderen. Pendekatan ini dikenal dengan al-tafsir al-ijtima’i. Tafsir ini masih diminati pada era kontemporer hanya ada sedikit perubahan pada perkiraan dan prinsip yang digunakan. Misalnya pendekatan ini di era kontemporer kerapkali dikolaborasi dengan pendekatan lain sehingga menghasilkan tafsir Al-Quran yang berbeda meskipun pada kasus dan ayat yang sama.
5. Pendekatan yang Bersifat Mengarah pada Pembebasan
Sebagai referensi penulis menentukan pendekatan feminisme atau gender. Gender sebagai tanda-tanda sosial, sanggup diartikan sebagai pembagian tugas insan berdasar-kan jenis kelamin. Tujuan usaha feminisme pada umumnya mencapai kesetaraan, harkat dan kebebasan wanita dalam menentukan untuk mengelola kehidupan tubuhnya, baik di luar maupun di dalam rumah tangga.
Namun sebagaimana yang dikatakan Nighat Said Khan dan Kamla Bashin 10 dua feminis asal India, feminis tidak hanya bertujuan memperjuangkan persamaan pria dan perempuan, mela-inkan juga membangun tatanan masyarakat yang adil dan baik bagi wanita maupun laki-laki, bebas dari pengisapan dan pengko-takan menurut kelas, kasta, dan prasangka jenis kelamin.
Persoalan fundamental dalam membahas isu-isu gerakan feminisme ialah perihal posisi wanita dalam tafsir Alquran ialah masih adanya kesenjangan antara tataran ideal-normatif yang dijarakan Alquran dengan tataran tafsir yang historis-empiris. Jika dalam tataran normatif-idealis, kaum wanita dipandang setara dengan laki-laki, namun pada tataran historis-empiris posisi wanita relatif belum setara dengan laki-laki, peranan wanita terasa masih terpinggirkan. Ini berarti masih ada kesenjangan antara yang semestinya (normative) dengan yang senyatanya. Bagi pengkaji dilema perempuan, agama merupakan salah satu obyek kajian yang sangat menarik.
Hal ini lantaran agama, yang merupakan way of life sebagian besar umat manusia, mengandung ajaran-ajaran yang berkaitan dengan hal tersebut di dalam kitab-kitab sucinya. Selama ini penafsiran para elit agama atas teksteks keagamaan dalam kaitannya dengan dilema wanita cenderung “menomorduakan” pihak perempuan, dan di banyak daerah teks-teks keagamaan itu sendiri secara harfiah memang menempatkan pria di atas perempuan.
Pendekatan ini sangat berkonsentrasi pada pencaraian alasannya lahirnya kesenjangan di atas yang umumnya merajalela di tafsir klasik. Dengan pendekatan feminis, para mufasir kontemporer mengajukan paradigma dan perkiraan gres perihal pembacaan ulang pada Al-Quran menurut pada semangat dan tujuan di atas.
6. Pendekatan Pluralisme Agama
Budhi Munawar Rahman menyimpulkan bahwa filsafat atau teologi pluralisme dan obrolan antar umat beragama mensyaratkan obrolan antar umat beragama sebagai elemen penting dalam berinteraksi dengan agama agama lain. Dialog ini bukan bertujuan membuat satu agama tunggal dan final, melainkan memperkaya dan merayakan keberagaman yang semakin berkembang dan berarti dalam agama-agama. Dialog korelasional ini harus disertai dengan tanggungjawab global, oleh lantaran itu pendekatannya bukan eklesiosentris, kristosentris atau teosentris melainkan soterosentris (berpusat pada keselamatan) yang didasarkan pada dasar yang sama, yaitu tanggung jawab global terhadap kesejahteraan insan dan lingkungan.
Dasar obrolan antara agama bagi pluralisme dan obrolan antaragama ialah soal penderitaan insan dan kerusakan ekologi, atau dengan kata lain kesejahteraan insan dan lingkungannya. Dengan pendekatan ini, beberapa ayat Al-Quran yang biasa ditafsirkan membedakan atau mengaggap langsung aliran agama Islam dan menyalahkan agama selain Islam, ditafsirkan ulang dengan perkiraan dan paradigma di atas. Sehingga tercapai tujuan hidup penuh tenang dan tidak adalagi kekerasaan atas nama agama.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan perihal pendekatan-pendekatan tafsir kontemporer. Sumber Modul 4 Konsep Tawassuth, Tawazun dan Tasamuh dalam Al Alquran Hadis PPG dalam Jabatan Tahun 2019 Kementerian Agama Republik Indonesia JAKARTA 2019. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
Daftar Pustaka
1. Khaled Abou ElFadl, Atas Nama Tuhan: Sari Fikih Otoriter Ke Fikih Otoritatif (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004).
2. Hans-Georg Gadamer, Truth and Method (New York: The Seabury Press, 1975), 264.
3. Pdt. E. Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan; Berteologi Dalam Konteks Di Awal Melenium III (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2005), 3637 dan 4042.
4. Hassan Hanafi, Al-Yamin Wa Al-Yasar Fi Al-Fikr Al-Dini (Mesir: Madbuli, 1989), 77.
5. Amina Wadud, "Quran and Woman" dalam Charles Kurzman, Liberal Islam, 127.
6. Ibid., 128.
7. Amina Wadud Muhsin, Qur‟an and Woman (Kuala Lumpur: Fajar Bakti Sdn bhd, 1994), 5.
8. Fazlur Rahman, Major Themes of The Qur‟an (Chicago: Bibliotecha Islamica, 1980), xi.
9. Riffat Hassan, Setara di Hadapan Allah, 40.
10. Kamla Bashin dan Nighat Said Khan, Persoalan Pokok Mengenai Feminisme Dan Relevansinya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Kaylamitra, 1995), 56.
1. Pendekatan Ilmiah
Tafsir dengan pendekatan ilmiah mengharuskan penafsir dalam memahami ayat-ayat Al-Quran cenderung menyelaraskan antara teori ilmiah atau aspek metafisika alam dengan ayat Al-Quran. Al-Quran yang bersifat universal telah memperlihatkan citra seluas-luasnya perihal fenomena alam semesta, yang ternyata setelah dicocokkan sangat berkesesuaian dengan teori ilmu pengetahuan yang dimiliki insan pada masa ini.
2. Pendekatan Semantik
Sebagai kalam Allah, Al-Quran bersifat transenden dan transhistoris. Namun lantaran disampaikan dalam bahasa manusia, maka Al-Quran juga imanen dan historis. Susunan teks Al-Quran yang dipercaya sesuai dengan susunan di lawḥ al-maḥfuz berbeda dengan urutan diturunkannya. Jumlah kata-kata Al-Quran ialah terbatas, sedang ruang-waktu pemberlakuannya hampir tak terbatas. Fakta-fakta ini sepertinya sanggup menjadi alasan yang cukup untuk menyampaikan bahwa kompleksitas makna Al-Quran itu demikian tinggi, apalagi bila hendak difahami pada masa yang sangat jauh dengan masa penurunannya, menyerupai kini ini.
Untuk menangkap pesan dan informasi Al-Quran secara mendalam dan komprehensif, seiring perkembangan ilmu, teknologi, dan peradaban manusia, diharapkan kajian metodologi yang semakin canggih. Salah satu pendekatan kajian Al-Quran yang sepertinya berhasil mengungkapkan gagasan Al-Quran secara mendalam dan komprehensif, mengenai pandangan dunia dan konsep-konsep etika-religus Al-Quran, ialah pendekatan semantik, menyerupai yang dilakukan Toshihiko Izutsu. Pendekatan ini mengharuskan penggunanya menguasai bahasa Arab dengan baik hingga sya`ir-sya`ir jāhilī.
3. Pendekatan Hermeneutika
Pendekatan hermeneutika telah mengilhami para sarjana muslim kontemporer untuk membuka wacana baru, menyerupai Arkoun, Hasan Hanafi, Farid Esack dan Nasr Hamid Abu Zaid, dalam melaksanakan interpretasi. Konsekuensi dari model hermeneutika, dalam menafsirkan Al-Quran tidak hanya mengandalkan perangkat keilmuan menyerupai yang dipakai para penafsir dulu, menyerupai ilmu nah}wu sharaf, ushul fiqh dan balaghah, tetapi diharapkan ilmu-ilmu lain menyerupai teori sosiologi, antropologi, filsafat ilmu, sejarah, gender, dan sebagainya. Metode hermeneutika yang dikembangkan oleh para penafsir kontemporer itu pun sangat beragam. Keberagaman ini muncul bukan hanya lantaran semakin terbukanya umat Islam terhadap gagasan gagasan yang berasal dari luar, menyerupai info perihal HAM, gender, demokrasi, civil society, pluralisme dan sebagainya, namun juga lantaran adanya dinamika dan kesadaran pada mereka akan kekurangan-kekurangan metode dan pendekatan yang ada selama ini.
Dengan kentalnya nuansa hermeneutik, maka tugas teks, pengarang dan pembaca menjadi berimbang, sehingga kesewenang-wenangan dan pemaksaan penafsiran relatif sanggup dihindari. Dengan demikian, meminjam istilah Khalid Aboul Fadl, otoritarianisme penafsiran sanggup dieliminasi dan produk-produk tafsir menjadi lebih otoritatif, tidak otoriter dan despotic. 1
Setiap penafsir niscaya sudah mempunyai prejudice sebelum berhadapan dengan teks. Jadi, sebuah penafsiran niscaya melibatkan subjektivitas penafsir. Penafsiran atas kitab suci tidak hanya bersifat reproduktif, tapi juga produktif. Dalam konteks ini Hans-Georg Gadamer mengatakan, “That is why under-standing is not merely a reproductive, but always a productive attitude as well.”2 Kita mustahil membaca teks tanpa prasangka (prejudice, Vorurteil) dan kita mustahil memahami teks kalau tidak menambah makna terhadap makna yang sudah ada. Namun demikian, gotong royong Gadamer tidak berhenti di situ, lantaran dengan mengikuti bulat hermeneutic, ia menganggap bahwa bisa terjadi penggabungan kedua cakrawala (fusion of the two horizons). Yang dimaksud penggabungan dua cakrawala ialah bahwa kita tidak berarti selalu akan menghasilkan sebuah gabungan yang seimbang di antara masa kemudian (kuno) dan cakrawala masa kini (modern). Juga tidak berarti bahwa cakrawala masa kini akan mendominasi cakrawala masa lalu. Sebaliknya makna orisinil itu sanggup diperoleh dari penggabungan kedua cakrawala. Artinya, kita perlu menilik makna teks bagi orang di masa kemudian (what it means) dengan jalan exegese, sehabis itu kita gres mencari makna teks bagi masa kini (what its means) melalui hermeneutika.3 Dengan begitu, maka teks itu menjadi "hidup" dan kaya akan makna. Teks itu akan menjadi dinamis pemaknaannya dan selalu kontekstual, seiring dengan akselerasi perkembangan budaya dan peradaban manusia.4
Oleh alasannya itu, masuk akal bila teks yang tunggal, kemudian dibaca oleh banyak pembaca (readers), menghasilnya banyak wajah penafsiran. Menarik untuk dikutip dalam hal ini ialah pendapat Amina Wadud yang mengatakan: “Although each reading is unique, the understanding of various readers of singel text will converge on many points.”5 Menurutnya, lantaran selama ini tidak ada metode tafsir yang benar-benar objektif. Masing-masing interpretasi cenderung mencerminkan pilihan-pilihan yang subjektif.6
Lalu bagaimana semoga sebuah penafsiran itu relatif lebih objektif. Menurut Amina Wadud, untuk memperoleh penafsiran yang relatif objektif, seorang penafsir harus kembali pada prinsip-prinsip dasar dalam Al-Quran sebagai kerangka paradigmanya dan seorang penafsir perlu memahami Weltanchauung atau world view.7 Gagasan perihal perlunya memahami Weltanschauung gotong royong merupakan ide dari Fazlur Rahman. Gagasan ini dirumuskan dengan memakai mekanisme sintesis antara sistem etika dan teologi.8
4. Pendekatan Ilmu-Ilmu Sosial
Pendekatan ini gotong royong tidak terlalu baru, pendekatan ini sudah dikenal di awal era modern yang lalu. Persentuhan dengan peradaban barat disebut-sebut sebagai stimulus lahirnya pendekatan ini dalam dunia Islam. Kemampuan para penafsir kontemporer dalam memahami ilmu-ilmu sosial, dijadikan modal untuk memahami gejala-gejala keagamaan yang sejauh ini hanya didasarkan pada ilmu-ilmu agama. Mereka sepertinya sangat menyadari bahwa ilmu sosial yang berasal dari Barat itu sangat penting untuk memahami (mengkritik) tanda-tanda (agama) yang ada dalam dunia Islam selama ini.
Riffat Hassan misalnya, dengan terang-terangan mengakui perlunya berbagi apa yang oleh Barat disebut dengan "teologi feminis" untuk membebaskan umat Islam dari struktur yang tidak adil dan tidak memungkinkan terjadinya hubungan yang hidup antara pria dan perempuan.9 Sebenarnya, pendekatan ilmu sosial ini sudah dimulai semenjak era moderen. Pendekatan ini dikenal dengan al-tafsir al-ijtima’i. Tafsir ini masih diminati pada era kontemporer hanya ada sedikit perubahan pada perkiraan dan prinsip yang digunakan. Misalnya pendekatan ini di era kontemporer kerapkali dikolaborasi dengan pendekatan lain sehingga menghasilkan tafsir Al-Quran yang berbeda meskipun pada kasus dan ayat yang sama.
5. Pendekatan yang Bersifat Mengarah pada Pembebasan
Sebagai referensi penulis menentukan pendekatan feminisme atau gender. Gender sebagai tanda-tanda sosial, sanggup diartikan sebagai pembagian tugas insan berdasar-kan jenis kelamin. Tujuan usaha feminisme pada umumnya mencapai kesetaraan, harkat dan kebebasan wanita dalam menentukan untuk mengelola kehidupan tubuhnya, baik di luar maupun di dalam rumah tangga.
Namun sebagaimana yang dikatakan Nighat Said Khan dan Kamla Bashin 10 dua feminis asal India, feminis tidak hanya bertujuan memperjuangkan persamaan pria dan perempuan, mela-inkan juga membangun tatanan masyarakat yang adil dan baik bagi wanita maupun laki-laki, bebas dari pengisapan dan pengko-takan menurut kelas, kasta, dan prasangka jenis kelamin.
Persoalan fundamental dalam membahas isu-isu gerakan feminisme ialah perihal posisi wanita dalam tafsir Alquran ialah masih adanya kesenjangan antara tataran ideal-normatif yang dijarakan Alquran dengan tataran tafsir yang historis-empiris. Jika dalam tataran normatif-idealis, kaum wanita dipandang setara dengan laki-laki, namun pada tataran historis-empiris posisi wanita relatif belum setara dengan laki-laki, peranan wanita terasa masih terpinggirkan. Ini berarti masih ada kesenjangan antara yang semestinya (normative) dengan yang senyatanya. Bagi pengkaji dilema perempuan, agama merupakan salah satu obyek kajian yang sangat menarik.
Hal ini lantaran agama, yang merupakan way of life sebagian besar umat manusia, mengandung ajaran-ajaran yang berkaitan dengan hal tersebut di dalam kitab-kitab sucinya. Selama ini penafsiran para elit agama atas teksteks keagamaan dalam kaitannya dengan dilema wanita cenderung “menomorduakan” pihak perempuan, dan di banyak daerah teks-teks keagamaan itu sendiri secara harfiah memang menempatkan pria di atas perempuan.
Pendekatan ini sangat berkonsentrasi pada pencaraian alasannya lahirnya kesenjangan di atas yang umumnya merajalela di tafsir klasik. Dengan pendekatan feminis, para mufasir kontemporer mengajukan paradigma dan perkiraan gres perihal pembacaan ulang pada Al-Quran menurut pada semangat dan tujuan di atas.
6. Pendekatan Pluralisme Agama
Budhi Munawar Rahman menyimpulkan bahwa filsafat atau teologi pluralisme dan obrolan antar umat beragama mensyaratkan obrolan antar umat beragama sebagai elemen penting dalam berinteraksi dengan agama agama lain. Dialog ini bukan bertujuan membuat satu agama tunggal dan final, melainkan memperkaya dan merayakan keberagaman yang semakin berkembang dan berarti dalam agama-agama. Dialog korelasional ini harus disertai dengan tanggungjawab global, oleh lantaran itu pendekatannya bukan eklesiosentris, kristosentris atau teosentris melainkan soterosentris (berpusat pada keselamatan) yang didasarkan pada dasar yang sama, yaitu tanggung jawab global terhadap kesejahteraan insan dan lingkungan.
Dasar obrolan antara agama bagi pluralisme dan obrolan antaragama ialah soal penderitaan insan dan kerusakan ekologi, atau dengan kata lain kesejahteraan insan dan lingkungannya. Dengan pendekatan ini, beberapa ayat Al-Quran yang biasa ditafsirkan membedakan atau mengaggap langsung aliran agama Islam dan menyalahkan agama selain Islam, ditafsirkan ulang dengan perkiraan dan paradigma di atas. Sehingga tercapai tujuan hidup penuh tenang dan tidak adalagi kekerasaan atas nama agama.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan perihal pendekatan-pendekatan tafsir kontemporer. Sumber Modul 4 Konsep Tawassuth, Tawazun dan Tasamuh dalam Al Alquran Hadis PPG dalam Jabatan Tahun 2019 Kementerian Agama Republik Indonesia JAKARTA 2019. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
Daftar Pustaka
1. Khaled Abou ElFadl, Atas Nama Tuhan: Sari Fikih Otoriter Ke Fikih Otoritatif (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004).
2. Hans-Georg Gadamer, Truth and Method (New York: The Seabury Press, 1975), 264.
3. Pdt. E. Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan; Berteologi Dalam Konteks Di Awal Melenium III (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2005), 3637 dan 4042.
4. Hassan Hanafi, Al-Yamin Wa Al-Yasar Fi Al-Fikr Al-Dini (Mesir: Madbuli, 1989), 77.
5. Amina Wadud, "Quran and Woman" dalam Charles Kurzman, Liberal Islam, 127.
6. Ibid., 128.
7. Amina Wadud Muhsin, Qur‟an and Woman (Kuala Lumpur: Fajar Bakti Sdn bhd, 1994), 5.
8. Fazlur Rahman, Major Themes of The Qur‟an (Chicago: Bibliotecha Islamica, 1980), xi.
9. Riffat Hassan, Setara di Hadapan Allah, 40.
10. Kamla Bashin dan Nighat Said Khan, Persoalan Pokok Mengenai Feminisme Dan Relevansinya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Kaylamitra, 1995), 56.