Pengertian Metode Tafsir Tematik ( Maudhu'iy) Dan Sejarah Munculnya Metode Tafsir Tematik (Maudhu'iy)
Wednesday, April 15, 2020
Edit
Salah satu bentuk tafsr yang dikembangkan para ulama kontemporer yakni tafsir tematik yang dalam bahasa Arab disebut dengan al-tafsir al-maudhu'iy. Kata maudhu'iy dinisbatkan pada kata al-maudhu’, yang berarti topik atau bahan suatu pembicaraan atau pembahasan. Dalam kamus al-Munawir dijelaskan bahwa kata maudhu’ yakni derivasi dari kata wadha’a yang berkedudukan sebagai isim maf’ul yang berarti masalah. Secara semantik, tafsir maudhu'iy berarti penafsiran Al-Quran berdasarkan tema atau topik tertentu. Dalam bahasa Indonesia biasa diterjemahkan dengan tafsir tematik. Tematik adalah salah satu model penafsiran yang diperkenalkan para ulama tafsir untuk menawarkan balasan terhadap problem-problem gres dalam masyarakat melalui petunjuk-petunjuk Al-Quran.
Jadi, yang dimaksud dengan metode tematik ialah cara mengkaji dan mempelajari ayat Al-Quran dengan menghimpun ayat-ayat Al-Quran yang memiliki maksud sama, dalam arti sama-sama membicarakan satu topik masalah menyusunnya berdasar kronologi serta lantaran turunnya ayat-ayat itu. Kemudian penafsir mulai menawarkan keterangan dan klarifikasi serta mengambil kesimpulan. 4 Sedangkan pakar tafsir, Mustafa Muslim mendefinisikannya dengan, "ilmu yang membahas persoalan-persoalan sesuai pandangan Al-Quran melalui klarifikasi satu surah atau lebih".
Metode tafsir tematik juga disebut dengan dengan metode maudhu’iy yaitu menghimpun ayat-ayat Al-Quran yang memiliki maksud yang sama, dalam arti, sama-sama membicarakan satu topik masalah dan menyusunnya berdasar kronologi serta lantaran turunnya ayat-ayat tersebut. Kemudian penafsir mulai menawarkan keterangan dan klarifikasi serta mengambil kesimpulan. Secara khusus, penafsir melaksanakan studi tafsirnya ini dengan metode maudhu’iy, dimana ia melihat ayat-ayat tersebut dari seluruh seginya, dan melaksanakan analisis berdasar ilmu yang benar, yang dipakai oleh pembahas untuk menjelaskan pokok permasalahan, sehingga ia sanggup memahami permasalahan tersebut dengan gampang dan betul-betul menguasainya, sehingga memungkinkan baginya untuk memahami maksud yang terdalam dan sanggup menolak segala kritik.
Dalam tafsir tematik, seorang mufassir tidak lagi menafsirkan ayat demi ayat secara berurutan sesuai urutannya dalam mushaf, tetapi menafsirkan dengan jalan menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat dari beberapa surah yang berbicara wacana topic tertentu, untuk kemudian dikaitkan satu dengn lainnya, sehingga pada kesudahannya diambil kesimpulan menyeluruh wacana masalah tersebut berdasarkan pandagan Al-Quran. Semua itu dijelaskan dengan rinci dan tuntans, serta didukung dalil-dalil atau fakta-fakta yang sanggup dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argument itu berasal dari Al-Quran, Hadis maupun ajaran rasional.
2. Sejarah Munculnya Metode Tafsir Tematik (Maudhu'iy)
Menurut sebgian ulama, tafsir tematik ditengarai sebagai metode alternative yang paling sesuai dengan kebutuhan ummat ketika ini. Selain dibutuhkan sanggup memberi balasan atas aneka macam problematika ummat, metode tematik dipandang sebagai yang paling obyektif, tentunya dalam batas-abatas tertentu. Melalui metode ini, seolah penafsir mempersilahkan Al-Quran berbicara sendiri melalui ayat-ayat dan kosa kata yang digunakannya terkait dengan problem tertentu. Istantiqil Al-Quran (ajaklah Al-Quran berbicara), demikian ungkapan yang sering dikumandangkan ole para ulama yang mendukung penggunaan metode ini. Dikatakan obyektif lantaran sesuai maknanya, kata al-maudhu' berarti Sesutu yang ditetapkan di sebuah kawasan dan tidak ke manamana.
Metode ini dikembangkan oleh para ulama untuk melengkapi kekurangan yang terdapat pada khazanah tafsir klasik yang didominasi oleh pendekatan tahlili, yaitu menafsirkan ayat demi ayat sesuai dengan susunannya dalam mushaf. Segala segi yang 'dianggap perlu' oleh sang mufasir diuraikan, bermula dari arti kosa kata, asbabun nuzul, munasabah, dan lain-lain yang berkaitan dengan teks dan kandungan ayat. Metode ini dikenal dengan metode tahlili atau tajzi'i dalam istilah Baqir Sadr. Para mufsir klasik umumnya memakai metode ini. Kritik yang sering ditujukan pada mtode ini yakni lantaran dianggap menghasilkan pandangan-pandangan parsial. Bahkan tidak jarang ayat-ayat Al-Quran dipakai sebagai dalih pembenaran pendapat mufasir. Selain itu terasa sekali bahwa metode ini tidak bisa memberi balasan tuntas terhadap persoalan-persoalan umat lantaran terlampau teoritis.
Kendati istilah tafsir tematik gres popular pada era ke 20, tepatnya ketika ditetapan sebagai mata kuliah di Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar pada tahun 70-an, tetapi embrio tafsir tematik sudah usang muncul. Bentuk penafsiran Al-Quran dengan Al-Quran (tafsir Al-Quran bil Al-Quran) atau Al-Quran dengan klarifikasi Hadis (tafsir Al-Quran bisSunnah) yang telah ada semenjak masa Rasulullah disinyalir banyak pakar sebagai bentuk awal tafsir tematik.8 Di dalam Al-Quran banyak ditemukan ayat-ayat yang gres sanggup dipahami dengan baik sesudah dipadukan/dikombinasikan dengan ayat-ayat di kawasan lain. Pengecualian atas binatang yang halal untuk dikonsumsi ibarat disebut dalam Surah alma'idah/5:1 belum sanggup dipahami kecuali dengan merujuk kepada klarifikasi pada ayat yang turun sebelumnya, yaitu Surah al-An'am/6: 145, atau dengan membaca ayat yang turun setelahnya dalam Surah al-Ma'idah/5: 3. Banyak lagi pola lainnya yang mengindikasikan pentingnya memahami ayat-ayat Al-Quran secara komprehensif dan tematik.