Tingkatan-Tingkatan Jarh Wa Ta’Dil Dan Aturan Tingkatan-Tingkatan Jarh Wa Ta’Dil
Wednesday, April 15, 2020
Edit
Para perawi yang meriwayatkan hadis bukanlah semuanya dalam satu derajat dari segi keadilannya, kedlabithannya, dan hafalan mereka. Di antara mereka ada yang hafalannya sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, dan ada pula yang sering lupa dan salah padahal mereka orang yang adil dan amanah; serta ada juga yang berdusta dalam hadis. Maka Allah Swt menyingkap perbuatannya ini melalui tangan para ulama' yang tepat pengetahuan mereka. Oleh alasannya itu, para ulama' menetapkan tingkatan Jarh dan Ta'dil, dan lafadh-lafadh yang mengatakan pada setiap tingaktan.
Tingkatan Ta’dil ada enam tingkatan, begitu pula dengan Jarh (ada enam tingkatan).
a. Tingkatan At-Ta’dil
1) Tingkatan Pertama, Yang memakai bentuk superlatif dalam penta’dil-an, atau dengan memakai wazan af‟ala dengan memakai ungkapan-ungkapan ibarat : “Fulan kepadanyalah puncak ketepatan dalam periwayatan” atau “Fulan yang paling tepat periwayatan dan ucapannya” atau Fulan orang yang paling besar lengan berkuasa hafalan dan ingatannya”.
2) Tingkatan Kedua, Dengan menyebutkan sifat yang menguatkan ke-tsiqah-annya, ke-adil-annya, dan ketepatan periwayatannya, baik dengan lafadh maupun denganmakna; ibarat : tsiqatun-tsiqah, atau tsiqatun-tsabt, atau tsiqah dan terpercaya (ma'mun), atau tsiqah dan hafizh.
3) Tingkatan Ketiga, Yang menerangkan adanya pentsiqahan tanpa adanaya penguatan atas hal itu, seperti: tsiqah, tsabat, atau hafizh.
4) Tingkatan Keempat, Yang mengatakan adanya keadil-an dan iman tanpa adanya aba-aba akan kekuatan hafalan dan ketelitian. Seperti : Shaduq, Ma’mun (dipercaya), mahalluhu ash-shidq (ia tempatnya kejujuran), atau laa ba’sa bihi (tidak mengapa dengannya). Khusus untuk Ibnu Ma’in kalimat laa ba’sabihi yakni tsiqah (Ibnu Ma’in dikenal sebagai hebat hadis yang mutasyaddid, sehingga lafadh yang biasa saja bila ia ucapkan sudah cukup untuk mengatakan ketsqahan perawi tersebut).
5) Tingkatan Kelima, Yang tidak mengatakan adanya pentsiqahan ataupun celaan; ibarat : Fulan Syaikh (fulan seorang syaikh), ruwiya „anhul-hadiits (diriwayatkan darinya hadis), atau hasanul-hadiits (yang baik hadisnya).
6) Tingkatan Keenam, Isyarat yang mendekati celaan (jarh), seperti: Shalihul-Hadiits (hadisnya lumayan), atau yuktabu hadiitsuhu (ditulis hadisnya).
Hukum Tingkatan-Tingkatan At-Ta’dil
1) Untuk tiga tingkatan pertama, sanggup dijadikan hujjah, meskipun sebagian mereka lebih besar lengan berkuasa dari sebagian yang lain.
2) Adapun tingkatan keempat dan kelima, tidak sanggup dijadikan hujjah. Tetapi hadis mereka boleh ditulis, dan diuji kedlabithan mereka dengan membandingkan hadis mereka dengan hadis-hadis para tsiqah yang dlabith. Jika sesuai dengan hadis mereka, maka sanggup dijadikan hujjah. Dan jikalau tidak sesuai, maka ditolak.
3) Sedangkan untuk tingkatan keenam, tidak sanggup dijadikan hujjah. Tetapi hadis mereka ditulis untuk dijadikan sebagai pertimbangan saja, bukan untuk pengujian, alasannya mereka tidak dlabith.
b. Tingkatan Al-Jarh
1) Pertama, Yang mengatakan adanya kelemahan, dan ini yang paling rendah dalam tingkatan al-jarh ibarat : layyinul-hadiits (lemah hadisnya), atau fiihi maqaal (dirinya diperbincangkan), atau fiihi dla’fun (padanya ada kelemahan).
2) Tingkatan Kedua, Yang mengatakan adanya pelemahan terhadap perawi dan dihentikan dijadikan sebagai hujjah; ibarat : “Fulan dihentikan dijadikan hujjah”, atau dla’if, atau “ia memiliki hadis-hadis yang munkar”, atau majhul (tidak diketahui identitas/kondisinya).
3) Tingkatan Ketiga, Yang mengatakan lemah sekali dan dihentikan ditulis hadisnya, ibarat : “Fulan dla’if jiddan (dla’if sekali)”, atau “tidak ditulis hadisnya”, atau “tidak halal periwayatan darinya”, atau laisa bisyai-in (tidak ada apa-apanya). (Dikecualikan untuk Ibnu ma'in bahwasannya ungkapan laisa bisyai-in sebagai petunjuk bahwa hadis perawi itu sedikit).
4) Tingkatan Keempat, Yang mengatakan tuduhan dusta atau pemalsua hadis, ibarat : Fulan muttaham bil-kadzib(dituduh berdusta) atau “dituduh meniru hadis”, atau “mencuri hadis”, atau matruk (yang ditinggalkan), ataulaisa bitsiqah (bukan orang yang terpercaya).
5) Tingkatan Kelima, Yang mengatakan sifat dusta atau pemalsu dan semacamnya; ibarat : kadzdzab (tukang dusta), atau dajjal, atau wadldla' (pemalsu hadis), atau yakdzib (dia berbohong), atau yadla' (dia memalsikan hadis).
6) Tingkatan Keenam, Yang mengatakan adanya dusta yang berlebihan, dan ini seburuk-buruk tingkatan; ibarat : “Fulan orang yang paling pembohong”, atau “ia yakni puncak dalam kedustaan”, atau “dia rukun kedustaan”.
Hukum Tingkatan-Tingkatan Al-Jarh
1) Untuk dua tingkatan pertama tidak sanggup dijadikan sebagai hujjah terhadap hadis mereka, akan tetapi boleh ditulis untuk diperhatikan saja. Dan tentunya orang untuk tingkatan kedua lebih rendah kedudukannya daripada tingkatan pertama.
2) Sedangkan empat tingkatan terakhir dihentikan dijadikan sebagai hujjah, dihentikan ditulis, dan tidak dianggap sama sekali.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan wacana syarat seorang kritikus hadis. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
Tingkatan Ta’dil ada enam tingkatan, begitu pula dengan Jarh (ada enam tingkatan).
a. Tingkatan At-Ta’dil
1) Tingkatan Pertama, Yang memakai bentuk superlatif dalam penta’dil-an, atau dengan memakai wazan af‟ala dengan memakai ungkapan-ungkapan ibarat : “Fulan kepadanyalah puncak ketepatan dalam periwayatan” atau “Fulan yang paling tepat periwayatan dan ucapannya” atau Fulan orang yang paling besar lengan berkuasa hafalan dan ingatannya”.
2) Tingkatan Kedua, Dengan menyebutkan sifat yang menguatkan ke-tsiqah-annya, ke-adil-annya, dan ketepatan periwayatannya, baik dengan lafadh maupun denganmakna; ibarat : tsiqatun-tsiqah, atau tsiqatun-tsabt, atau tsiqah dan terpercaya (ma'mun), atau tsiqah dan hafizh.
3) Tingkatan Ketiga, Yang menerangkan adanya pentsiqahan tanpa adanaya penguatan atas hal itu, seperti: tsiqah, tsabat, atau hafizh.
4) Tingkatan Keempat, Yang mengatakan adanya keadil-an dan iman tanpa adanya aba-aba akan kekuatan hafalan dan ketelitian. Seperti : Shaduq, Ma’mun (dipercaya), mahalluhu ash-shidq (ia tempatnya kejujuran), atau laa ba’sa bihi (tidak mengapa dengannya). Khusus untuk Ibnu Ma’in kalimat laa ba’sabihi yakni tsiqah (Ibnu Ma’in dikenal sebagai hebat hadis yang mutasyaddid, sehingga lafadh yang biasa saja bila ia ucapkan sudah cukup untuk mengatakan ketsqahan perawi tersebut).
5) Tingkatan Kelima, Yang tidak mengatakan adanya pentsiqahan ataupun celaan; ibarat : Fulan Syaikh (fulan seorang syaikh), ruwiya „anhul-hadiits (diriwayatkan darinya hadis), atau hasanul-hadiits (yang baik hadisnya).
6) Tingkatan Keenam, Isyarat yang mendekati celaan (jarh), seperti: Shalihul-Hadiits (hadisnya lumayan), atau yuktabu hadiitsuhu (ditulis hadisnya).
Hukum Tingkatan-Tingkatan At-Ta’dil
1) Untuk tiga tingkatan pertama, sanggup dijadikan hujjah, meskipun sebagian mereka lebih besar lengan berkuasa dari sebagian yang lain.
2) Adapun tingkatan keempat dan kelima, tidak sanggup dijadikan hujjah. Tetapi hadis mereka boleh ditulis, dan diuji kedlabithan mereka dengan membandingkan hadis mereka dengan hadis-hadis para tsiqah yang dlabith. Jika sesuai dengan hadis mereka, maka sanggup dijadikan hujjah. Dan jikalau tidak sesuai, maka ditolak.
3) Sedangkan untuk tingkatan keenam, tidak sanggup dijadikan hujjah. Tetapi hadis mereka ditulis untuk dijadikan sebagai pertimbangan saja, bukan untuk pengujian, alasannya mereka tidak dlabith.
b. Tingkatan Al-Jarh
1) Pertama, Yang mengatakan adanya kelemahan, dan ini yang paling rendah dalam tingkatan al-jarh ibarat : layyinul-hadiits (lemah hadisnya), atau fiihi maqaal (dirinya diperbincangkan), atau fiihi dla’fun (padanya ada kelemahan).
2) Tingkatan Kedua, Yang mengatakan adanya pelemahan terhadap perawi dan dihentikan dijadikan sebagai hujjah; ibarat : “Fulan dihentikan dijadikan hujjah”, atau dla’if, atau “ia memiliki hadis-hadis yang munkar”, atau majhul (tidak diketahui identitas/kondisinya).
3) Tingkatan Ketiga, Yang mengatakan lemah sekali dan dihentikan ditulis hadisnya, ibarat : “Fulan dla’if jiddan (dla’if sekali)”, atau “tidak ditulis hadisnya”, atau “tidak halal periwayatan darinya”, atau laisa bisyai-in (tidak ada apa-apanya). (Dikecualikan untuk Ibnu ma'in bahwasannya ungkapan laisa bisyai-in sebagai petunjuk bahwa hadis perawi itu sedikit).
4) Tingkatan Keempat, Yang mengatakan tuduhan dusta atau pemalsua hadis, ibarat : Fulan muttaham bil-kadzib(dituduh berdusta) atau “dituduh meniru hadis”, atau “mencuri hadis”, atau matruk (yang ditinggalkan), ataulaisa bitsiqah (bukan orang yang terpercaya).
5) Tingkatan Kelima, Yang mengatakan sifat dusta atau pemalsu dan semacamnya; ibarat : kadzdzab (tukang dusta), atau dajjal, atau wadldla' (pemalsu hadis), atau yakdzib (dia berbohong), atau yadla' (dia memalsikan hadis).
6) Tingkatan Keenam, Yang mengatakan adanya dusta yang berlebihan, dan ini seburuk-buruk tingkatan; ibarat : “Fulan orang yang paling pembohong”, atau “ia yakni puncak dalam kedustaan”, atau “dia rukun kedustaan”.
Hukum Tingkatan-Tingkatan Al-Jarh
1) Untuk dua tingkatan pertama tidak sanggup dijadikan sebagai hujjah terhadap hadis mereka, akan tetapi boleh ditulis untuk diperhatikan saja. Dan tentunya orang untuk tingkatan kedua lebih rendah kedudukannya daripada tingkatan pertama.
2) Sedangkan empat tingkatan terakhir dihentikan dijadikan sebagai hujjah, dihentikan ditulis, dan tidak dianggap sama sekali.