Contoh Penafsiran Kontekstual
Tuesday, April 14, 2020
Edit
Berikut yaitu beberapa pola aplikasi penafsiran kontekstual:
1. Kepemimpinan Perempuan pada Wilayah Publik
Dalam sejarah sosiologis-kultural, pada ketika itu perempuan cenderung diposisikan sebagai insan kelas dua dari laki-laki, sehingga lahirlah persepsi hanya sekedar pelayan dan pelengkap. Hal ini bisa dilihat dari kedudukan perempuan pada masa Jahiliyah yang tidak memiliki arti fundamental. Bahkan, kadang disamakan dengan barang yang bisa diwariskan kepada anak-anaknya sendiri. Warisan ini diduga kuat mempengaruhi image terhadap distorsi kedudukan dan tugas perempuan hingga ketika ini dalam banyak sekali kehidupan publik termasuk wilayah politik yang dianggap sebagai wilayah kompotensi laki-laki. Subordinasi tugas perempuan masih banyak terjadi, baik dalam kalangan keluarga maupun dalam kehidupan publik, khususnya wilayah politik. Sejumlah persepsi negatif dalam masyarakat yang ditautkan pada diri perempuan masih kuat, menyerupai perempuan sangat lemah, emosional, dan irrasional sehingga kiprahnya hanya cocok dalam bidang domestik (mengurusi dapur, menata ranjang, dan mengurusi anak) dan tidak layak menjadi seorang pemimpin, bahkan tidak jarang persepsi ini dilegitimasi dengan merujuk dan menganggap sebagai pesan teologis.
Dalil agama yang paling sering dirujuk untuk menguatkan argumen tersebut yaitu Q.S. an-Nisa’ ayat 34.
Artinya: "Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), lantaran Allah telah Melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan lantaran mereka (laki-laki) telah menunjukkan nafkah dari hartanya…" (QS. An-Nisa' : 34)
Umumnya, para mufassir klasik menyatakan bahwa “qawwamun” berarti pemimpin, pelindung, penanggung jawab. Selanjutnya mereka menyampaikan bahwa kelebihan yang dimiliki kaum pria atas kaum perempuan lantaran keunggulan nalar dan fisiknya. Sebagai contoh, Imam al-Razi menyampaikan bahwa kelebihan yang dimaksud dalam ayat di atas meliputi dua hal, yakni: ilmu pengetahuan dan kemampuan fisik. Akal dan pengetahuan pria berdasarkan al-Razi, melebihi nalar dan pengetahuan perempuan. Demikian pula halnya, laki-lakiunggul dalam pekerjaan keras.
Penafsiran kata “qawwamun” dengan pemimpin juga mewarnai khazanah penafsiran di Indonesia. Hamka misalnya, menafsirkannya sebagai pemimpin. Dalam hubungannya dengan pembagian harta warisan dua (untuk laki-laki) banding satu (untuk perempuan), ia mengemukakan argumentasi bahwa konsekuensi tersebut lantaran pria harus membayar mahar dan menunjukkan nafkan kepada istrinya, dan menggaulinya dengan baik.
Jika dilakukan pembacaan ulang secara komprehensif, maka tampak bahwa penafsiran menyerupai tersebut di atas tidak tepat lagi untuk dipertahankan. Sebab, jikalau ditelaah sababun nuzul ayat di atas, ternyata hanya berkaitan dengan duduk kasus rumah tangga, sehingga tidak tepat jikalau digeneralisir dalam semua wilayah kepemimpinan. Penafsiran yang lebih adil diberikan oleh Muhammad Jawad Mughniyah yang menyampaikan bahwa ayat diatas hanya ditujukan kepada pria sebagai suami dan perempuan sebagai isteri. Keduanya yaitu rukun kehidupan. Tidak satupun di antara keduanya bisa hidup tanpa yang lain, dan keduanya saling melengkapi.
Aspek lain harus dipertimbangkan pula bahwa bentuk kepemimpinan masa lampau yaitu kepemimpinan personal. Semua urusan diserahkan pada satu sosok pemimpin. Karena itu, jikalau sosoknya lemah, maka wajarlah jikalau tidak direkomendasikan untuk menjadi pemimpin. Kini, pola kepemimpinan lebih bersifat kolektifsistemik. Oleh lantaran itu, kekurangan yang dimiliki oleh seorang pemimpin --laki-laki sekalipun-- sanggup disimbiosiskan dengan perangkat kepemimpinan lainnya, contohnya forum legislatif dan forum yudikatif. Bahkan, kata Amin Abdullah, kemampuan dan kelebihan yang dulunya hanya dimiliki oleh pria lantaran kekuatan ototnya, kini sanggup digantikan dengan kecanggihan teknologi.
Pemaparan bukti-bukti penafsiran kontekstual para tokoh awal Islam di atas kurang tepat bila belum dilengkapi dengan pemaparan penafsiran kontekstual para sarjana tafsir generasi setelah mereka. Dalam hal ini, penafsiran kontekstual at-Thabari (224-310 H.) dan Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935) juga perlu dielaborasi. Tokoh pertama dikenal sebagai sarjana tafsir ulung klasik yang karya tafsirnya Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi Al Quran diakui secara luas sebagai induk dan referensi utama tafsir bi al-ma’tsur dan mewakili tafsir-tafsir klasik. Sementara itu, tokoh kedua dikenal sebagai sarjana tafsir modern-kontemporer yang kuat besar dalam pemikiran Islam remaja ini dan karya tafsirnya Tafsir al Manar mendapatkan apresiasi luar biasa sehingga cukup mewakili tafsir-tafsir modern-kontemporer.
2. Ahli Kitab
Artinya: “Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. masakan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan masakan kau halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) perempuan yang menjaga kehormatan[402] diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orangorang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kau telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir setelah beriman (tidak mendapatkan hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari simpulan zaman Termasuk orangorang merugi” (Q.S. Al-Maidah: 5)
Menyikapi surat ini, Muhammad Rasyid Ridha memiliki penafsiran kontekstual menarik ihwal konsep Ahli Kitab. Ia beropini bahwa Al-Quran menyebut para penganut agama-agama terdahulu, kaum Sabi’in dan Majusi, dan tidak menyebut kaum Brahma (Hindu), Budha, dan para pengikut Konfusius lantaran kaum Sabi’in dan Majusi dikenal oleh bangsa Arab, yang menjadi target awal Al-Quran, itu berada berdekatan dengan mereka di Irak dan Bahrain. Tujuan ayat suci telah tercapai dengan menyebutkan agamaagama yang dikenal (oleh bangsa Arab), sehingga tidak perlu menciptakan keterangan yang terasa absurd dengan menyebut golongan yang tidak dikenal oleh orang yang menjadi alamat pembicaraan itu di masa turunnya Al-Quran, berupa penganut agama-agama yang lain. Setelah itu tidak diragukan lagi bagi mereka (orang Arab) yang menjadi alamat pembicaraan (wahyu) itu bahwa Allah juga akan menciptakan keputusan kasus antara kaum Brahma, Budha, dan lainlain.
Pendapat ulama besar ini, merupakan hasil penilaiannya secara panjang lebar riwayat-riwayat yang dikemukakan oleh para sobat Nabi dan tabi’in, kaidahkaidah ushul dan kebahasaan serta menyimak dan menimbang pendapat para ulama sebelumnya, sehingga dia menyimpulkan dalam fatwanya sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab sebagai berikut:
“Kesimpulan fatwa ini yaitu bahwa pria Muslim yang diharamkan oleh Allah menikah dengan wanita-wanita musyrik dalam surat al-Baqarah ayat 221 yaitu wanitawanita musyrik Arab. Itulah pilihan yang dikuatkan oleh Mahaguru para mufassir Ibnu Jarir at-Thabari, dan bahwa orang-orang Majusi, al-Shābi’īn, penyembah berhala di India, Cina, dan yang semacam mereka menyerupai orang-orang Jepang yaitu ahl al-kitāb yang (kitab mereka) mengandung pemikiran tauhid hingga sekarang.”
Pernyataan Muhammad Rasyid Ridha ini merupakan penafsiran kontekstualnya terhadap konsep Ahli Kitab yang selama ini dominan sarjana Sunni membatasinya hanya pada Yahudi dan Kristen. Menurutnya, konsep Ahli Kitab juga meliputi Hindu, Budha, dan para pengikut Konfusius lantaran pada ketika turunnya Al-Quran orang Arab belum mengenal agama-agama tersebut sehingga tidak perlu menyebutnya. Secara tidak langsung, ia mengakui adanya sisi-sisi lokalitas-temporal Al-Quran yang memerlukan pemahaman dan wawasan mendalam untuk menafsirkannya menyerupai konsep Ahli Kitab, sehingga seorang penafsir tidak terjebak dalam sisi-sisi lokalitas-temporalnya dan berusaha mengungkapkan maksud kandungan internal dan eksternalnya sesuai dengan konteks di mana ia diturunkan dan ditafsirkan guna merespons tuntutan kehidupan konkret manusia.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan ihwal pola penafsiran kontekstual. Sumber Modul 4 Konsep Tawassuth, Tawazun dan Tasamuh dalam Al Alquran Hadis PPG dalam Jabatan Tahun 2019 Kementerian Agama Republik Indonesia JAKARTA 2019. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
1. Kepemimpinan Perempuan pada Wilayah Publik
Dalam sejarah sosiologis-kultural, pada ketika itu perempuan cenderung diposisikan sebagai insan kelas dua dari laki-laki, sehingga lahirlah persepsi hanya sekedar pelayan dan pelengkap. Hal ini bisa dilihat dari kedudukan perempuan pada masa Jahiliyah yang tidak memiliki arti fundamental. Bahkan, kadang disamakan dengan barang yang bisa diwariskan kepada anak-anaknya sendiri. Warisan ini diduga kuat mempengaruhi image terhadap distorsi kedudukan dan tugas perempuan hingga ketika ini dalam banyak sekali kehidupan publik termasuk wilayah politik yang dianggap sebagai wilayah kompotensi laki-laki. Subordinasi tugas perempuan masih banyak terjadi, baik dalam kalangan keluarga maupun dalam kehidupan publik, khususnya wilayah politik. Sejumlah persepsi negatif dalam masyarakat yang ditautkan pada diri perempuan masih kuat, menyerupai perempuan sangat lemah, emosional, dan irrasional sehingga kiprahnya hanya cocok dalam bidang domestik (mengurusi dapur, menata ranjang, dan mengurusi anak) dan tidak layak menjadi seorang pemimpin, bahkan tidak jarang persepsi ini dilegitimasi dengan merujuk dan menganggap sebagai pesan teologis.
Dalil agama yang paling sering dirujuk untuk menguatkan argumen tersebut yaitu Q.S. an-Nisa’ ayat 34.
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ
Artinya: "Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), lantaran Allah telah Melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan lantaran mereka (laki-laki) telah menunjukkan nafkah dari hartanya…" (QS. An-Nisa' : 34)
Umumnya, para mufassir klasik menyatakan bahwa “qawwamun” berarti pemimpin, pelindung, penanggung jawab. Selanjutnya mereka menyampaikan bahwa kelebihan yang dimiliki kaum pria atas kaum perempuan lantaran keunggulan nalar dan fisiknya. Sebagai contoh, Imam al-Razi menyampaikan bahwa kelebihan yang dimaksud dalam ayat di atas meliputi dua hal, yakni: ilmu pengetahuan dan kemampuan fisik. Akal dan pengetahuan pria berdasarkan al-Razi, melebihi nalar dan pengetahuan perempuan. Demikian pula halnya, laki-lakiunggul dalam pekerjaan keras.
Penafsiran kata “qawwamun” dengan pemimpin juga mewarnai khazanah penafsiran di Indonesia. Hamka misalnya, menafsirkannya sebagai pemimpin. Dalam hubungannya dengan pembagian harta warisan dua (untuk laki-laki) banding satu (untuk perempuan), ia mengemukakan argumentasi bahwa konsekuensi tersebut lantaran pria harus membayar mahar dan menunjukkan nafkan kepada istrinya, dan menggaulinya dengan baik.
Jika dilakukan pembacaan ulang secara komprehensif, maka tampak bahwa penafsiran menyerupai tersebut di atas tidak tepat lagi untuk dipertahankan. Sebab, jikalau ditelaah sababun nuzul ayat di atas, ternyata hanya berkaitan dengan duduk kasus rumah tangga, sehingga tidak tepat jikalau digeneralisir dalam semua wilayah kepemimpinan. Penafsiran yang lebih adil diberikan oleh Muhammad Jawad Mughniyah yang menyampaikan bahwa ayat diatas hanya ditujukan kepada pria sebagai suami dan perempuan sebagai isteri. Keduanya yaitu rukun kehidupan. Tidak satupun di antara keduanya bisa hidup tanpa yang lain, dan keduanya saling melengkapi.
Aspek lain harus dipertimbangkan pula bahwa bentuk kepemimpinan masa lampau yaitu kepemimpinan personal. Semua urusan diserahkan pada satu sosok pemimpin. Karena itu, jikalau sosoknya lemah, maka wajarlah jikalau tidak direkomendasikan untuk menjadi pemimpin. Kini, pola kepemimpinan lebih bersifat kolektifsistemik. Oleh lantaran itu, kekurangan yang dimiliki oleh seorang pemimpin --laki-laki sekalipun-- sanggup disimbiosiskan dengan perangkat kepemimpinan lainnya, contohnya forum legislatif dan forum yudikatif. Bahkan, kata Amin Abdullah, kemampuan dan kelebihan yang dulunya hanya dimiliki oleh pria lantaran kekuatan ototnya, kini sanggup digantikan dengan kecanggihan teknologi.
Pemaparan bukti-bukti penafsiran kontekstual para tokoh awal Islam di atas kurang tepat bila belum dilengkapi dengan pemaparan penafsiran kontekstual para sarjana tafsir generasi setelah mereka. Dalam hal ini, penafsiran kontekstual at-Thabari (224-310 H.) dan Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935) juga perlu dielaborasi. Tokoh pertama dikenal sebagai sarjana tafsir ulung klasik yang karya tafsirnya Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi Al Quran diakui secara luas sebagai induk dan referensi utama tafsir bi al-ma’tsur dan mewakili tafsir-tafsir klasik. Sementara itu, tokoh kedua dikenal sebagai sarjana tafsir modern-kontemporer yang kuat besar dalam pemikiran Islam remaja ini dan karya tafsirnya Tafsir al Manar mendapatkan apresiasi luar biasa sehingga cukup mewakili tafsir-tafsir modern-kontemporer.
2. Ahli Kitab
ٱلْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ ٱلطَّيِّبَٰتُ ۖ وَطَعَامُ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖ وَٱلْمُحْصَنَٰتُ مِنَ ٱلْمُؤْمِنَٰتِ وَٱلْمُحْصَنَٰتُ مِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَٰفِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِىٓ أَخْدَانٍ ۗ وَمَن يَكْفُرْ بِٱلْإِيمَٰنِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُۥ وَهُوَ فِى ٱلْءَاخِرَةِ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ
Artinya: “Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. masakan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan masakan kau halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) perempuan yang menjaga kehormatan[402] diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orangorang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kau telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir setelah beriman (tidak mendapatkan hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari simpulan zaman Termasuk orangorang merugi” (Q.S. Al-Maidah: 5)
Menyikapi surat ini, Muhammad Rasyid Ridha memiliki penafsiran kontekstual menarik ihwal konsep Ahli Kitab. Ia beropini bahwa Al-Quran menyebut para penganut agama-agama terdahulu, kaum Sabi’in dan Majusi, dan tidak menyebut kaum Brahma (Hindu), Budha, dan para pengikut Konfusius lantaran kaum Sabi’in dan Majusi dikenal oleh bangsa Arab, yang menjadi target awal Al-Quran, itu berada berdekatan dengan mereka di Irak dan Bahrain. Tujuan ayat suci telah tercapai dengan menyebutkan agamaagama yang dikenal (oleh bangsa Arab), sehingga tidak perlu menciptakan keterangan yang terasa absurd dengan menyebut golongan yang tidak dikenal oleh orang yang menjadi alamat pembicaraan itu di masa turunnya Al-Quran, berupa penganut agama-agama yang lain. Setelah itu tidak diragukan lagi bagi mereka (orang Arab) yang menjadi alamat pembicaraan (wahyu) itu bahwa Allah juga akan menciptakan keputusan kasus antara kaum Brahma, Budha, dan lainlain.
Pendapat ulama besar ini, merupakan hasil penilaiannya secara panjang lebar riwayat-riwayat yang dikemukakan oleh para sobat Nabi dan tabi’in, kaidahkaidah ushul dan kebahasaan serta menyimak dan menimbang pendapat para ulama sebelumnya, sehingga dia menyimpulkan dalam fatwanya sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab sebagai berikut:
“Kesimpulan fatwa ini yaitu bahwa pria Muslim yang diharamkan oleh Allah menikah dengan wanita-wanita musyrik dalam surat al-Baqarah ayat 221 yaitu wanitawanita musyrik Arab. Itulah pilihan yang dikuatkan oleh Mahaguru para mufassir Ibnu Jarir at-Thabari, dan bahwa orang-orang Majusi, al-Shābi’īn, penyembah berhala di India, Cina, dan yang semacam mereka menyerupai orang-orang Jepang yaitu ahl al-kitāb yang (kitab mereka) mengandung pemikiran tauhid hingga sekarang.”
Pernyataan Muhammad Rasyid Ridha ini merupakan penafsiran kontekstualnya terhadap konsep Ahli Kitab yang selama ini dominan sarjana Sunni membatasinya hanya pada Yahudi dan Kristen. Menurutnya, konsep Ahli Kitab juga meliputi Hindu, Budha, dan para pengikut Konfusius lantaran pada ketika turunnya Al-Quran orang Arab belum mengenal agama-agama tersebut sehingga tidak perlu menyebutnya. Secara tidak langsung, ia mengakui adanya sisi-sisi lokalitas-temporal Al-Quran yang memerlukan pemahaman dan wawasan mendalam untuk menafsirkannya menyerupai konsep Ahli Kitab, sehingga seorang penafsir tidak terjebak dalam sisi-sisi lokalitas-temporalnya dan berusaha mengungkapkan maksud kandungan internal dan eksternalnya sesuai dengan konteks di mana ia diturunkan dan ditafsirkan guna merespons tuntutan kehidupan konkret manusia.