Pengertian Al-Jarh Wa Al-Ta’Dil, Landasan Ilmu Jarh Wa Ta’Dil Dan Kegunaan Ilmu Al Jarh Wa Ta'dil
Wednesday, April 15, 2020
Edit
A. Pengertian Al-Jarh Wa Al-Ta’dil
Kata al jarh (الجرح ) merupakan bentuk masdar dari kata يجرح – جرح yang berarti “melukai”. Nuruddin mengukapkan hal yang sama yakni jarh berasal dari kata dasar ja-ra-ha, artinya “melukai”.
Sedang berdasarkan pengertian hebat hadis, jarh artinya mencela atau mengkritik perawi hadis dengan ungkapan-ungkapan yang menghilangkan keadilan ataupun kedhabitannya. Lebih lanjut Abu Lubab Husain memperlihatkan klarifikasi bahwa dalam hal ini keadaan luka berkaitan dengan fisik, contohnya luka alasannya yaitu sejata tajam, dan sanggup berkaitan dengan non fisik, contohnya luka hati alasannya yaitu kata-kata garang yang dilontarkan oleh seseorang. Bila kata jahr ini digunakan oleh hakim pengadilan yang ditunjukkan pada problem keadilan, maka kata tersebut mempunyai makna menggugurkan keabsahan saksi.
Kata at ta’dil (التعديل) berarti menegakkan (التقويم ), membersihkan (التزكية) , dan menciptakan seimbang التسوية. Menurut istilah, jarh ialah menyebut sesuatu yang dengan kesannya tercacatlah si perawi (menampakkan keaiban yang dengan keaiban itu tertolaklah riwayat). Sedangkan ta’dil ialah mensifati siperawi dengan sifat-sifat yang dengan kesannya orang memandangnya adil, yang menjadi sumbu penerimaan riwayatnya ta’dil berdasarkan para ulama hadis yaitu memuji perawi (tazkiyah al-rawi) dan menetapkannya sebagai seorang yang adil dan dhabit. AtTa’dil yaitu pensifatan perawi dengan sifat-sifat yang mensucikannya, sehingga nampak keadalahannya, dan diterima beritanya.
Ilmu Jarh wa al-Ta;dil yaitu ilmu pengetahuan yang membahas wacana kritikan adanya 'aib atau memperlihatkan kebanggaan adil kepada seorang rawi. Dr. Ajjaj Khatib dalam yanf dikutip oleh Fatchur Rahman mendefinisikannya sebagai berikut:
“Ialah suatu ilmu yang membahas hal ihwal para rawi dari segi diterima atau ditolak periwayatannya".
Ulama lain mendefinisikan al-jarh wa al Ta'dil "Ilmu yang membahas wacana para perawi hadis dari segi yang sanggup mengambarkan keadaan mereka, baik yang sanggup mencacatkan atau mebersihkan mereka, dengan ungkapan atau lafadz tertentu".
Dari definisi di atas sanggup dismpulkan bahwa ilmu Al Jarh Wa Ta’dil yaitu ilmu yang menerangkan wacana cacatcacat yang dihadapkan kepada para perawi dan wacana penta‟dilannya (memandang lurus perangai para perawi) dengan menggunakan katakata yang khusus dan untuk mendapatkan atau menolak riwayat mereka
B. Landasan Ilmu Jarh Wa Ta’dil
Ajaran Islam melarang seseorang untuk melaksanakan ghibah yakni, membicarakan ataupun membuatkan malu orang lain sementara dalam ilmu jarh wa ta’dil merupakan cabang ilmu yang membahas kebaikan maupun keburukan orangorang yang namanya tercantum dalam sanad hadis. Penilaian yang baik disebut ta’dil dan evaluasi negatif (mencela atau melukai nama baiknya) disebut jarh.
Sekalipun Islam melarang ghibah namun ada 6 hal ghibah yang diperbolehkan berdasarkan Al-Ghazali dan Al Naqawi yang dikutip oleh Hasbi Ash Shiddieqy:
a. Karena teraniaya; orang yang teraniaya boleh membicarakan penganiayaan yang dilakukan oleh pelakunya
b. Meminta pinjaman untuk membasmi kemungkaran
c. Untuk meminta fatwa
d. Untuk menghindarkan insan dari kejahatan
e. Orang yang dicela merupakan orang yang terang-terangan melaksanakan bid’ah dan kemungkaran
f. Untuk memperlihatkan informasi yang sebenarnya
Bagi kalangan kaum muslimin wajib memelihara tradisi jarh wa ta’dil. Untuk menjaga orisinalitas teks agama. Dalam Q.S Al-Hujurat ayat 6 dijelaskan :
"Hai orang-orang yang beriman, jikalau tiba kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti semoga kau tidak menimpakan suatu tragedi alam kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang mengakibatkan kau menyesal atas perbuatanmu itu." (QS. Al-Hujurat : 6)
Selain itu Nabi juga memperlihatkan kritik dan kebanggaan terhadap para sahabatnya, hal ini merupakan salah satu bentuk paling sederhana dari jarh wa ta’dil. Tentang jarh, Nabi saw. Bersabda :
“Betapa jelek saudaranya al-‘Asyirah.” (HR. Imam Bukhari)
Sementara wacana ta’dil pernah bersabda : “Hamba Allah yang paling baik yaitu Khalid bin Walid, dialah salah satu dari pedang-pedang Allah. (HR. Imam Tirmidzi)
Dalam mealukan jarh wa ta’dil para ulama hadis tidak pandang bulu, hal ini dlakukan demi menjaga orisinalitas atau keaslian agama semata. Bahkan salah seorang guru al Bukhari dikala ditanya seseorang wacana ayahny, maka dia menjawab, “Bertanyalah kepada orang lain.” Orang itu kembali mengnulagi pertanyaan yang sama, maka beliaupun menjawab . “Ia (ayahku) itu lemah.”
Para ulama juga berlaku sangat ketat dalam problem ini. Mereka meneliti dengan seksama hal ihwal para perawi dengan seksama. Imam al-Sya’bi berkata, “Demi Allah, seandainya saya telah benar 99 kali dan salah 1 kali, pasti mereka menghitungku berdasarkan yang satu itu.” Mereka juga menaruh perhatian yang sangat besar dalam hal ini.
C. Kegunaan Ilmu Al jarh wa Ta'dil
Ilmu jarh wa ta’dil beguna untuk:
a. Mentukan kualitas perawi dan nilai hadisnya, terkait pembahasan sanad maka terlebih dahulu harus mempelajari kaidah-kaidah ilmu jarh wa ta’dil yang banyak diapakai para ahli, mengetahui syarat perawi yang sanggup diterima, cara memutuskan keadilan dan kedhabitan perawi. Seseorang tidak akan sanggup memperoleh boigrafi, jikalau tidak memahami terlebih dahulu kaidah-kaidah jarh dan ta’dil, maksud dan derajat (tingkatan) istlah yang dipergunakan dalam ilmu ini, yakni dari tingkatan ta’dil yang tertinggi sampai tingkatan jarh yang terendah
b. Menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu sanggup diterima atau ditolak sama sekali. Apabila seorang perawi ‘dijarh” oleh para hebat rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak. Sebaliknya bla dipuji maka hadisnya sanggup dterima selama sayarat-syarat yang lain terpenuhi
Menurut Munzir cara mengatahui informasi jarh dan ta’dil seorang rawi sanggup malalui:
a. Popularitas para perawi di kalangan para hebat ilmu bahwa mereka dikenal sebagai orang yang adil, atau rawi yang mempunyai 'aib. Bagi yang sudah populer dikalangan hebat ilmu wacana keadilannya, maka mereka tidak perlu lagi diperbincangkan lagi keadilannya, begitu juga dengan perawi yang populer dengan kefasikan atau dustanya maka tidak perlu lagi dipersoalkan.
b. Berdasarkan kebanggaan atau pen-tarjih-an dari rawi lain yang adil. Bila seorang rawi yang adil menta'dilkan seorang rawi yang lain yang belum dikenal keadiannya, maka telah dianggap cukup dan rawi tersebut sanggup menyandang gelar adil dan periwayatannya sanggup di terima. Begitu juga dengan rawi yang di tarjih. Bila seorang rawi yang mentarjihnya maka periwayatannya menjadi tidak sanggup diterima
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan wacana pengertian al-jarh wa al-ta’dil dan landasan ilmu jarh wa ta’dil. Sumber Modul 3 Konsep Dasar Ulumul Hadis PPG dalam Jabatan Tahun 2019 Kementerian Agama Republik Indonesia JAKARTA 2019. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
Kata al jarh (الجرح ) merupakan bentuk masdar dari kata يجرح – جرح yang berarti “melukai”. Nuruddin mengukapkan hal yang sama yakni jarh berasal dari kata dasar ja-ra-ha, artinya “melukai”.
Sedang berdasarkan pengertian hebat hadis, jarh artinya mencela atau mengkritik perawi hadis dengan ungkapan-ungkapan yang menghilangkan keadilan ataupun kedhabitannya. Lebih lanjut Abu Lubab Husain memperlihatkan klarifikasi bahwa dalam hal ini keadaan luka berkaitan dengan fisik, contohnya luka alasannya yaitu sejata tajam, dan sanggup berkaitan dengan non fisik, contohnya luka hati alasannya yaitu kata-kata garang yang dilontarkan oleh seseorang. Bila kata jahr ini digunakan oleh hakim pengadilan yang ditunjukkan pada problem keadilan, maka kata tersebut mempunyai makna menggugurkan keabsahan saksi.
Kata at ta’dil (التعديل) berarti menegakkan (التقويم ), membersihkan (التزكية) , dan menciptakan seimbang التسوية. Menurut istilah, jarh ialah menyebut sesuatu yang dengan kesannya tercacatlah si perawi (menampakkan keaiban yang dengan keaiban itu tertolaklah riwayat). Sedangkan ta’dil ialah mensifati siperawi dengan sifat-sifat yang dengan kesannya orang memandangnya adil, yang menjadi sumbu penerimaan riwayatnya ta’dil berdasarkan para ulama hadis yaitu memuji perawi (tazkiyah al-rawi) dan menetapkannya sebagai seorang yang adil dan dhabit. AtTa’dil yaitu pensifatan perawi dengan sifat-sifat yang mensucikannya, sehingga nampak keadalahannya, dan diterima beritanya.
Ilmu Jarh wa al-Ta;dil yaitu ilmu pengetahuan yang membahas wacana kritikan adanya 'aib atau memperlihatkan kebanggaan adil kepada seorang rawi. Dr. Ajjaj Khatib dalam yanf dikutip oleh Fatchur Rahman mendefinisikannya sebagai berikut:
هو العلم الذي يبحث في أحوال الرواة من حيث قبول روايتهم أوردها
“Ialah suatu ilmu yang membahas hal ihwal para rawi dari segi diterima atau ditolak periwayatannya".
Ulama lain mendefinisikan al-jarh wa al Ta'dil "Ilmu yang membahas wacana para perawi hadis dari segi yang sanggup mengambarkan keadaan mereka, baik yang sanggup mencacatkan atau mebersihkan mereka, dengan ungkapan atau lafadz tertentu".
Dari definisi di atas sanggup dismpulkan bahwa ilmu Al Jarh Wa Ta’dil yaitu ilmu yang menerangkan wacana cacatcacat yang dihadapkan kepada para perawi dan wacana penta‟dilannya (memandang lurus perangai para perawi) dengan menggunakan katakata yang khusus dan untuk mendapatkan atau menolak riwayat mereka
B. Landasan Ilmu Jarh Wa Ta’dil
Ajaran Islam melarang seseorang untuk melaksanakan ghibah yakni, membicarakan ataupun membuatkan malu orang lain sementara dalam ilmu jarh wa ta’dil merupakan cabang ilmu yang membahas kebaikan maupun keburukan orangorang yang namanya tercantum dalam sanad hadis. Penilaian yang baik disebut ta’dil dan evaluasi negatif (mencela atau melukai nama baiknya) disebut jarh.
Sekalipun Islam melarang ghibah namun ada 6 hal ghibah yang diperbolehkan berdasarkan Al-Ghazali dan Al Naqawi yang dikutip oleh Hasbi Ash Shiddieqy:
a. Karena teraniaya; orang yang teraniaya boleh membicarakan penganiayaan yang dilakukan oleh pelakunya
b. Meminta pinjaman untuk membasmi kemungkaran
c. Untuk meminta fatwa
d. Untuk menghindarkan insan dari kejahatan
e. Orang yang dicela merupakan orang yang terang-terangan melaksanakan bid’ah dan kemungkaran
f. Untuk memperlihatkan informasi yang sebenarnya
Bagi kalangan kaum muslimin wajib memelihara tradisi jarh wa ta’dil. Untuk menjaga orisinalitas teks agama. Dalam Q.S Al-Hujurat ayat 6 dijelaskan :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن جَآءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوٓا۟ أَن تُصِيبُوا۟ قَوْمًۢا بِجَهَٰلَةٍ فَتُصْبِحُوا۟ عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَٰدِمِينَ
"Hai orang-orang yang beriman, jikalau tiba kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti semoga kau tidak menimpakan suatu tragedi alam kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang mengakibatkan kau menyesal atas perbuatanmu itu." (QS. Al-Hujurat : 6)
Selain itu Nabi juga memperlihatkan kritik dan kebanggaan terhadap para sahabatnya, hal ini merupakan salah satu bentuk paling sederhana dari jarh wa ta’dil. Tentang jarh, Nabi saw. Bersabda :
بئس أخو العشرية
“Betapa jelek saudaranya al-‘Asyirah.” (HR. Imam Bukhari)
Sementara wacana ta’dil pernah bersabda : “Hamba Allah yang paling baik yaitu Khalid bin Walid, dialah salah satu dari pedang-pedang Allah. (HR. Imam Tirmidzi)
Dalam mealukan jarh wa ta’dil para ulama hadis tidak pandang bulu, hal ini dlakukan demi menjaga orisinalitas atau keaslian agama semata. Bahkan salah seorang guru al Bukhari dikala ditanya seseorang wacana ayahny, maka dia menjawab, “Bertanyalah kepada orang lain.” Orang itu kembali mengnulagi pertanyaan yang sama, maka beliaupun menjawab . “Ia (ayahku) itu lemah.”
Para ulama juga berlaku sangat ketat dalam problem ini. Mereka meneliti dengan seksama hal ihwal para perawi dengan seksama. Imam al-Sya’bi berkata, “Demi Allah, seandainya saya telah benar 99 kali dan salah 1 kali, pasti mereka menghitungku berdasarkan yang satu itu.” Mereka juga menaruh perhatian yang sangat besar dalam hal ini.
C. Kegunaan Ilmu Al jarh wa Ta'dil
Ilmu jarh wa ta’dil beguna untuk:
a. Mentukan kualitas perawi dan nilai hadisnya, terkait pembahasan sanad maka terlebih dahulu harus mempelajari kaidah-kaidah ilmu jarh wa ta’dil yang banyak diapakai para ahli, mengetahui syarat perawi yang sanggup diterima, cara memutuskan keadilan dan kedhabitan perawi. Seseorang tidak akan sanggup memperoleh boigrafi, jikalau tidak memahami terlebih dahulu kaidah-kaidah jarh dan ta’dil, maksud dan derajat (tingkatan) istlah yang dipergunakan dalam ilmu ini, yakni dari tingkatan ta’dil yang tertinggi sampai tingkatan jarh yang terendah
b. Menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu sanggup diterima atau ditolak sama sekali. Apabila seorang perawi ‘dijarh” oleh para hebat rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak. Sebaliknya bla dipuji maka hadisnya sanggup dterima selama sayarat-syarat yang lain terpenuhi
Menurut Munzir cara mengatahui informasi jarh dan ta’dil seorang rawi sanggup malalui:
a. Popularitas para perawi di kalangan para hebat ilmu bahwa mereka dikenal sebagai orang yang adil, atau rawi yang mempunyai 'aib. Bagi yang sudah populer dikalangan hebat ilmu wacana keadilannya, maka mereka tidak perlu lagi diperbincangkan lagi keadilannya, begitu juga dengan perawi yang populer dengan kefasikan atau dustanya maka tidak perlu lagi dipersoalkan.
b. Berdasarkan kebanggaan atau pen-tarjih-an dari rawi lain yang adil. Bila seorang rawi yang adil menta'dilkan seorang rawi yang lain yang belum dikenal keadiannya, maka telah dianggap cukup dan rawi tersebut sanggup menyandang gelar adil dan periwayatannya sanggup di terima. Begitu juga dengan rawi yang di tarjih. Bila seorang rawi yang mentarjihnya maka periwayatannya menjadi tidak sanggup diterima