Pengertian Ilmu Adat Dan Objek Kajian Ilmu Akhlak
Tuesday, April 14, 2020
Edit
Ilmu akhlak ialah ilmu untuk memutuskan segala perbuatan manusia. Baik atau buruknya, benar atau salahnya, sah atau batal, semua itu ditetapkan dengan mempergunakan ilmu budpekerti sebagai petunjuknya.
Ahmad Amin lebih mempertegas lagi dalam kitabnya Al-Akhlak dengan menyatakan:
“Ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, dan pertanda apa yang harus diperbuat oleh sebagian insan terhadap sesamanya dan menjelaskan tujuan yang hendak dicapai oleh insan dan perbuatan mereka dan memperlihatkan yang lurus yang harus diperbuat”.
Jadi, berdasarkan definisi tersebut ilmu budpekerti itu mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. Menjelaskan pengertian baik dan buruk;
b. Menerangkan apa yang seharusnya dilakukan seseorang serta bagaimana cara kita bersikap terhadap sesama;
c. Menjelaskan mana yang patut kita perbuat,dan
d. Menunjukkan mana jalan lurus yang harus dilalui.
Berdasarkan beberapa bahasan yang berkaitan dengan ilmu akhlak, maka sanggup dipahami bahwa objek (lapangan/sasaran) pembahasan ilmu budpekerti itu ialah tindakantindakan seseorang yang sanggup diberikan nilai baik/buruknya, yaitu perkataan dan perbuatan yang termasuk dalam kategori perbuatan akhlak. Dalam kekerabatan ini, Dr. Ahmad Amin menyampaikan bahwa etika itu menilik segala perbuatan insan kemudian memutuskan aturan baik atau buruk. J.H. Muirhead meyebutkan bahwa pokok pembahasan (subject matter) etika yaitu penyelidikan wacana tingkah laris dan sifat manusia. Muhammad Al-Ghazali menyampaikan bahwa kawasan pembahasan ilmu budpekerti mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu (perseorangan) maupun kelompok (masyarakat).
Untuk jelasnya, bahwa perbuatan-perbuatan insan itu sanggup dibagi dalam tiga macam perbuatan. Dari yang tiga ini ada yang masuk perbuatan budpekerti dan ada yang tidak masuk perbuatan akhlak.
a. Perbuatan yang dikehendaki atau disadari, pada waktu beliau berbuat dan disengaja. Jelas, perbuatan ini yaitu perbuatan akhlak, bisa baik atau buruk, tergantung pada sifat perbuatannya.
b. Perbuatan yang tidak dilakukan tidak dikehendaki, sadar atau tidak sadar diwaktu beliau berbuat, tetapi perbuatan itu diluar kemampuannya dan beliau tidak bisa mencegahnya. Perbuatan demikian bukan perbuatan akhlak. Perbuatan ini ada dua macam:
1) Reflex action, al-a’maalu-mun’akiyah
Umpamanya, seseorang keluar dari tempat gelap ketempat terang, matanya berkedip-kedip. Perbuatan berkedip-kedip ini tidak ada hukumnya, walupun beliau berhadap-hadapan dengan seseorang yang seperti dikedipi. Atau seseorang lantaran digigit nyamuk, beliau menamparkan pada yang digigit nyamuk tersebut.
2) Automatic action, al-a‟maalul‟aliyah
Model ini menyerupai halnya degup jantung, denyut urat nadi dan sebagainya. Perbuatan-perbuatan reflex actions dan automatic actions yaitu perbuatan di luar kemampuan seseorang, sehingga tidak termasuk perbuatan akhlak.
c. Perbuatan yang samar-samar, tengah-tengah, mutasyabihat. Yang dimaksud samar-samar/tengah-tengah, mungkin suatu perbuatan sanggup dimasukkan perbuatan budpekerti tapi bisa juga tidak. Pada lahirnya bukan perbuatan akhlak, tapi mungkin perbuatan tersebut termasuk perbuatan akhlak, sehingga berlaku aturan budpekerti baginya, yaitu bahwa perbuatan itu baik atau buruk. Perbuatan-perbuatan yang termasuk samar-samar, umpamanya lupa, khilaf, dipaksa, perbuatan diwaktu tidur dan sebagainya. Terhadap perbuatan-perbuatan tersebut ada hadis-hadis rasul yang pertanda bahwa perbuatan-perbuatan lupa, khilaf, dipaksa, perbuatan diwaktu tidur dan sebagainya, tidak termasuk perbuatan akhlak.
Selanjutnya, dalam memutuskan suatu perbuatan yang muncul dengan kehendak dan disengaja sampai sanggup dinilai baik apa jelek ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan:
(1) situasi dalam keadaan bebas, sehingga tindakan dilakukan dengan sengaja dan
(2) pelaku tahu apa yang dilakukan, yakni mengenai nilai baik buruknya.
Oleh lantaran itu, suatu perbuatan sanggup dikatakan baik buruknya manakala memenuhi syarat-syarat diatas. Kesengajaan merupakan dasar evaluasi terhadap tindakan seseorang. Sebagai contoh, seorang prajurit yang membunuh musuh dimedan perang tidak dikatakan melaksanakan kejahatan, lantaran ia dipaksa oleh situasi perang. Seorang anak kecil yang main api didalam rumah sampai berakibat rumah itu terbakar, tidak sanggup dikatakan bersalah, lantaran ia tidak tahu jawaban perbuatannya itu. Dalam Islam faktor kesengajaan merupakan penentu dalam penetapan nilai tingkah laku/tindakan seseorang. Seorang muslim tidak berdosa lantaran melanggar syariat, bila ia tidak tahu bahwa ia berbuat salah berdasarkan aturan Islam.
Erat kaitannya dengan permasalahan di atas Rasulullah saw. telah menawarkan klarifikasi bahwa kalaulah suatu tindakan itu dilakukan oleh seseorang yang didasari lantaran kelalaian (di luar kontrol logika normal) atau lantaran dipaksa, betapapun ada ukuran baik/buruknya, tidak dihukumi sebagai berdosa. Ini berarti diluar objek ilmu akhlak. Dalam hubungannya dengan problem di atas Rasulullah Saw. telah mengeluarkan sabdanya yang diriwatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Hakim dari Umar bahwa Rasulullah saw. berdabda:
Artinya: “Tidak berdosa seorang muslim lantaran tiga perkara: (1) orang absurd sampai sembuh dari gilanya, (2) orang yang tidur sampai terbangun dan (3) seorang anak sampai ia dewasa”.
Berdasarkan hadis tersebut, perbuatan lupa atau khilaf tidak diberi aturan dan tidak termasuk perbuatan akhlak. Perbuatan tersebut umpamanya perbuatan diwaktu tidur dan yang dipaksa. Namun, berdasarkan ayat Al-Qur‘an, kita diperintahkan berdoa kepada Allah Swt, untuk minta ampun, supaya Allah Swt tidak menghukum dan menyiksa kita apabila kita berbuat lupa dah khilaf yang dianggap salah, sehingga menerima eksekusi siksa. Kaprikornus meskipun demikian lupa atau khilaf termasuk perbuatan akhlak.
Dalam hal ini para andal etika menyimpulkan bahwa perbuatan lupa dan khilaf dan sebagainya ada dua macam:
a. Apabila perbuatan itu sudah sanggup diketahui balasannya atau patut diketahui akibat-akibatnya, atau bisa juga diikhtiarkan untuk terjadi atau tidak terjadinya. Oleh lantaran itu, perbuatan mutasyabih demikian disebut perbuatan ikhtiari atau ghair ta'adzur, sehingga dimasukkan perbuatan akhlak. Umpamanya, kalau kita tahu bahwa dikhawatirkan kalau tidur akan berbuat yang tidak diinginkan, maka hendaknya sebelum tidur kita harus menjauhkan benda-benda yang membahayakan, senjata harus diamankan, api dipadamkan, pintu-pintu dikunci dan sebagainya.
b. Apabila perbuatan ini tidak kita ketahui sama sekali dan diluar kemampuan manusia, walaupun sudah diikhtiarkan sebelumya, tapi toh terjadi juga, perbuatan demikain disebut ta'adzury (diluar kemampuan manusia). Perbuatan demikian tidak termasuk perbuatan akhlak. Sebagaimana Rasulullah Saw. Telah mengisyaraktkan sebagai berikut:
Artinya:“Sesungguhnya Allah member maaf bagiku dari umatku yang khilaf, lupa dan terpaksa”.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan wacana pengertian ilmu budpekerti dan objek kajian ilmu akhlak. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
Ahmad Amin lebih mempertegas lagi dalam kitabnya Al-Akhlak dengan menyatakan:
“Ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, dan pertanda apa yang harus diperbuat oleh sebagian insan terhadap sesamanya dan menjelaskan tujuan yang hendak dicapai oleh insan dan perbuatan mereka dan memperlihatkan yang lurus yang harus diperbuat”.
Jadi, berdasarkan definisi tersebut ilmu budpekerti itu mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. Menjelaskan pengertian baik dan buruk;
b. Menerangkan apa yang seharusnya dilakukan seseorang serta bagaimana cara kita bersikap terhadap sesama;
c. Menjelaskan mana yang patut kita perbuat,dan
d. Menunjukkan mana jalan lurus yang harus dilalui.
Berdasarkan beberapa bahasan yang berkaitan dengan ilmu akhlak, maka sanggup dipahami bahwa objek (lapangan/sasaran) pembahasan ilmu budpekerti itu ialah tindakantindakan seseorang yang sanggup diberikan nilai baik/buruknya, yaitu perkataan dan perbuatan yang termasuk dalam kategori perbuatan akhlak. Dalam kekerabatan ini, Dr. Ahmad Amin menyampaikan bahwa etika itu menilik segala perbuatan insan kemudian memutuskan aturan baik atau buruk. J.H. Muirhead meyebutkan bahwa pokok pembahasan (subject matter) etika yaitu penyelidikan wacana tingkah laris dan sifat manusia. Muhammad Al-Ghazali menyampaikan bahwa kawasan pembahasan ilmu budpekerti mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu (perseorangan) maupun kelompok (masyarakat).
Untuk jelasnya, bahwa perbuatan-perbuatan insan itu sanggup dibagi dalam tiga macam perbuatan. Dari yang tiga ini ada yang masuk perbuatan budpekerti dan ada yang tidak masuk perbuatan akhlak.
a. Perbuatan yang dikehendaki atau disadari, pada waktu beliau berbuat dan disengaja. Jelas, perbuatan ini yaitu perbuatan akhlak, bisa baik atau buruk, tergantung pada sifat perbuatannya.
b. Perbuatan yang tidak dilakukan tidak dikehendaki, sadar atau tidak sadar diwaktu beliau berbuat, tetapi perbuatan itu diluar kemampuannya dan beliau tidak bisa mencegahnya. Perbuatan demikian bukan perbuatan akhlak. Perbuatan ini ada dua macam:
1) Reflex action, al-a’maalu-mun’akiyah
Umpamanya, seseorang keluar dari tempat gelap ketempat terang, matanya berkedip-kedip. Perbuatan berkedip-kedip ini tidak ada hukumnya, walupun beliau berhadap-hadapan dengan seseorang yang seperti dikedipi. Atau seseorang lantaran digigit nyamuk, beliau menamparkan pada yang digigit nyamuk tersebut.
2) Automatic action, al-a‟maalul‟aliyah
Model ini menyerupai halnya degup jantung, denyut urat nadi dan sebagainya. Perbuatan-perbuatan reflex actions dan automatic actions yaitu perbuatan di luar kemampuan seseorang, sehingga tidak termasuk perbuatan akhlak.
c. Perbuatan yang samar-samar, tengah-tengah, mutasyabihat. Yang dimaksud samar-samar/tengah-tengah, mungkin suatu perbuatan sanggup dimasukkan perbuatan budpekerti tapi bisa juga tidak. Pada lahirnya bukan perbuatan akhlak, tapi mungkin perbuatan tersebut termasuk perbuatan akhlak, sehingga berlaku aturan budpekerti baginya, yaitu bahwa perbuatan itu baik atau buruk. Perbuatan-perbuatan yang termasuk samar-samar, umpamanya lupa, khilaf, dipaksa, perbuatan diwaktu tidur dan sebagainya. Terhadap perbuatan-perbuatan tersebut ada hadis-hadis rasul yang pertanda bahwa perbuatan-perbuatan lupa, khilaf, dipaksa, perbuatan diwaktu tidur dan sebagainya, tidak termasuk perbuatan akhlak.
Selanjutnya, dalam memutuskan suatu perbuatan yang muncul dengan kehendak dan disengaja sampai sanggup dinilai baik apa jelek ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan:
(1) situasi dalam keadaan bebas, sehingga tindakan dilakukan dengan sengaja dan
(2) pelaku tahu apa yang dilakukan, yakni mengenai nilai baik buruknya.
Oleh lantaran itu, suatu perbuatan sanggup dikatakan baik buruknya manakala memenuhi syarat-syarat diatas. Kesengajaan merupakan dasar evaluasi terhadap tindakan seseorang. Sebagai contoh, seorang prajurit yang membunuh musuh dimedan perang tidak dikatakan melaksanakan kejahatan, lantaran ia dipaksa oleh situasi perang. Seorang anak kecil yang main api didalam rumah sampai berakibat rumah itu terbakar, tidak sanggup dikatakan bersalah, lantaran ia tidak tahu jawaban perbuatannya itu. Dalam Islam faktor kesengajaan merupakan penentu dalam penetapan nilai tingkah laku/tindakan seseorang. Seorang muslim tidak berdosa lantaran melanggar syariat, bila ia tidak tahu bahwa ia berbuat salah berdasarkan aturan Islam.
Erat kaitannya dengan permasalahan di atas Rasulullah saw. telah menawarkan klarifikasi bahwa kalaulah suatu tindakan itu dilakukan oleh seseorang yang didasari lantaran kelalaian (di luar kontrol logika normal) atau lantaran dipaksa, betapapun ada ukuran baik/buruknya, tidak dihukumi sebagai berdosa. Ini berarti diluar objek ilmu akhlak. Dalam hubungannya dengan problem di atas Rasulullah Saw. telah mengeluarkan sabdanya yang diriwatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Hakim dari Umar bahwa Rasulullah saw. berdabda:
Artinya: “Tidak berdosa seorang muslim lantaran tiga perkara: (1) orang absurd sampai sembuh dari gilanya, (2) orang yang tidur sampai terbangun dan (3) seorang anak sampai ia dewasa”.
Berdasarkan hadis tersebut, perbuatan lupa atau khilaf tidak diberi aturan dan tidak termasuk perbuatan akhlak. Perbuatan tersebut umpamanya perbuatan diwaktu tidur dan yang dipaksa. Namun, berdasarkan ayat Al-Qur‘an, kita diperintahkan berdoa kepada Allah Swt, untuk minta ampun, supaya Allah Swt tidak menghukum dan menyiksa kita apabila kita berbuat lupa dah khilaf yang dianggap salah, sehingga menerima eksekusi siksa. Kaprikornus meskipun demikian lupa atau khilaf termasuk perbuatan akhlak.
Dalam hal ini para andal etika menyimpulkan bahwa perbuatan lupa dan khilaf dan sebagainya ada dua macam:
a. Apabila perbuatan itu sudah sanggup diketahui balasannya atau patut diketahui akibat-akibatnya, atau bisa juga diikhtiarkan untuk terjadi atau tidak terjadinya. Oleh lantaran itu, perbuatan mutasyabih demikian disebut perbuatan ikhtiari atau ghair ta'adzur, sehingga dimasukkan perbuatan akhlak. Umpamanya, kalau kita tahu bahwa dikhawatirkan kalau tidur akan berbuat yang tidak diinginkan, maka hendaknya sebelum tidur kita harus menjauhkan benda-benda yang membahayakan, senjata harus diamankan, api dipadamkan, pintu-pintu dikunci dan sebagainya.
b. Apabila perbuatan ini tidak kita ketahui sama sekali dan diluar kemampuan manusia, walaupun sudah diikhtiarkan sebelumya, tapi toh terjadi juga, perbuatan demikain disebut ta'adzury (diluar kemampuan manusia). Perbuatan demikian tidak termasuk perbuatan akhlak. Sebagaimana Rasulullah Saw. Telah mengisyaraktkan sebagai berikut:
Artinya:“Sesungguhnya Allah member maaf bagiku dari umatku yang khilaf, lupa dan terpaksa”.