Tawazun (Seimbang) Dalam Perspektif Al-Quran Dan Hadis
Tuesday, April 14, 2020
Edit
Allah Swt membuat segala sesuatu di bumi ini dengan berpasangan, siang-malam, bumi-langit, bulan-bintang, laki-perempuan, begitu juga dengan kehidupan dunia dan akhirat. Dimana kehidupan dunia merupakan sarana yang akan mengantarkan ke akhirat. Dalam rangka menyiapkan kehidupan alam abadi insan pun membutuhkan harta untuk memenuhi hajatnya menyerupai makan, minum, pakaian, daerah tinggal dan lain sebagainya. Islam mengajarkan keseimbangan dalam memelihara eksistensi kemanusiaan yang terdiri dari unsur al-jasad (jasad), al-aql (akal), dan ar-ruh (roh).
Ajaran Islam mengarahkan insan biar memperhatikan ketiga unsur psecara seimbang: al-jasad membutuhkan al-ghidaul jasadiy (gizi bagi jasad), al-aql membutuhkan al-ghidaul aqli (gizi bagi akal), dan ar-ruh membutuhkan al-ghidaur ruhiy (gizi rohani).Dengan mengimplementasikan perilaku tawazun dalam hidup, insan akan meraih kebahagian hakiki, yakni kebahagiaan lahir dan batin. Kebahagiaan bathin/jiwa dalam Bentuk ketenangan jiwa dan kebahagian lahir/fisik dalam bentuk kestabilan dan ketenangan dalam hidup.
Ayat-ayat al-Quran entang tawazun (keseimbangan) Q.S.Al-Qashash ayat 77 :
Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kau melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat sepakat (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kau berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (Q.S.AlQashash: 77)
Asbab nuzul ayat diatas dimulai dengan dongeng Qarun si kaya yang angkuh. kesombongan qarun yang terlampau kikir akan harta yang ia miliki. Sehingga kaumnya menasehati akan tetapi beliau tidak menghiraukan. Ia durhaka kemudian serta merta ia berlaku aniaya, yakni beliau melampaui batas dalam keangkuhan dan penghinaan terhadap Bani Isra`il. Perubahan status sosial telah mengantar dirinya menjadi insan lupa dan durhaka, sehingga walaupun beliau telah diingkarkan oleh beberapa orang dari kaum Nabi Musa As. Qorun tetap angkuh.
Ayat ini mengisyaratkan bahwa kekayaan apapun yang kita miliki kita jadikan sebagai sarana atau alat kebahagiaan di kampung akhirat. Perlu diketahui bahwa “fiil wabtaghi” mengandung arti “Carilah apa saja yang diberikan Allah kepada kau berupa harta, kalbu, perasaan, nalar pikiran, anak dan seluruh yang kau miliki untuk mencari kebahagiaan di kampung alam abadi dan ridha Allah. Yakni hendaknya kita meletakkan apa saja yang akan terjadi di masa depan di hadapan mata kita, yaitu masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan alam abadi dan kita dilarang melupakan sedikitpun kehidupan duniawi kita.
Maksud ayat ini mengandung tawaran untuk memakai harta yang berlimpah dan nikmat yang bergelimang sebagai karunia Allah untuk bekal ketaatan kepada Allah dan mendekatkan diri kepadaNya, dengan mengerjakan aneka macam amal pendekatan diri kepada-Nya. Dengan demikian insan akan memperoleh pahala di dunia dan akhirat. Yakni yang dihalalkan oleh Allah berupa makanan, minuman, pakaian, rumah dan perkawinan. Karena bahwasanya insan mempunyai kewajiban terhadap Allah, dan mempunyai kewajiban terhadap diri sendiri, dan juga mempunyai kewajiban terhadap keluargamu serta orang-orang yang bertamu.Maka hendaknya insan menunaikan kewajiban itu kepada haknya masing-masing.
Ayat ini juga merupakan tuntunan untuk menyeimbangkan kepentingan hidup duniawi dan ukhrawi. Yakni segala karunia yang diberi Allah di dunia ini dipakai dalam ketaatan kepada Allah. Melakukan segala kiprah dan kewajiban duniawi dengan penuh tanggungjawab serta melaksanakan ritual ibadah dengan semangat. Dengan menyeimbangkan hidup dunia akhirat, maka insan akan mendapat kehidupan yang bahagia.Hal ini selaras dengan sebuah hadis :
Artinya: "Bekerjalah untuk duniamu seolah-olah engkau akan hidup selamanya dan bekerjalah untuk akhiratmu seolah-olah kau akan mati esok"
Dari ayat ini sanggup diambil hikmah, yaitu : hendaknya kita sanggup hidup secara seimbang, dengan mengutamakan kebahagiaan alam abadi sebagai visi kita, dan juga merengkuh kehidupan dunia serta kenikmatannya sesuai dengan ridha Allah, sebagai bekal kita untuk kehidupan alam abadi kelak. Janganlah kita hidup menyerupai Qarun, tokoh serakah dan pengejar harta, yang terlalu sibuk mengejar harta serta kesenangan dunia, sehingga ia lupa akan kehidupan alam abadi yang lebih abadi dan lebih baik dari segala apa yang ada di dunia ini. Selain itu ada dua hal yang perlu diperhatikan berdasarkan ayat ini adalah:
a. Dalam pandangan Islam, hidup duniawi dan ukhrawi merupakan satu kesatuan. Dunia ialah daerah menanam dan alam abadi ialah daerah menuai. Segala sesuatu yang kita tanam selama di dunia, akan kita peroleh buahnya di alam abadi kelak.
b. Ayat di atas menggarisbawahi pentingnya mengarahkan pandangan kepada alam abadi sebagai tujuan dan kepada dunia sebagai sarana untuk mencapai tujuan.
Surat al-Qashas ayat 77 ini semakna dengan hadis yang diriwayatkanIbnu Assakir dan Anas, yaitu:
Artinya: “Bukankah orang yang paling baik diantara kau orang yang meninggalkan kepentingan dunia untuk mengejar alam abadi atau meninggalkan alam abadi untuk mengejar dunia sehingga sanggup memadukan keduanya. Sesungguhnya kehidupan dunia mengantarkan kau menuju kehidupan akhirat. Janganlah kau menjadi beban orang lain”
Dari ayat-ayat dan hadis-hadis diatas sanggup diketahui bahwa keseimbagan merupakan sarana menuju kehidupan yang sejati. Manusia dalam hidupnya harus bisa menyeimbangkan antara ilmu dan amal. Tidak boleh hanya menekankan pada satu sisi saja tanpa dimbangi dengan yang lain. seseorang dilarang hanya berkutat pada teori dan konsep yang kososng, yang hanya mengakibatkan aliran islam sebagai sumber diskusi dan diseminarkan tanpa ada praktek dalam kehidupan sehari-hari.
Allah telah mengisyaratkan dalam banyak ayat-ayat al-Quran, biar kita hidup seimbang, sebab dengan hidup seimbang insan akan mendapat kebahagiaan tanpa harus melalaikan dan meninggalkan yang lain. Sebagaimana Allah telah mengakibatkan alam beserta isinya berada dalam sebuah keseimbangan. Seperti klarifikasi surat ar-rahman ayat 7 :
Kemampuan insan untuk bertawazun juga didukung oleh fitrah insan diciptakan Allah SWT, yang mana fitrahnya itu ialah hanif yaitu kecenderungan untuk melaksanakan kebaikan dan mengakui ketauhidan, namun kemudian keadaannya sehabis lahir yang terkadang diarahkan oleh kedua orang tuanya, dan membuat anak tersebut menjadi berbeda, yakni ada yang nasrani, yahudi, majusi apabila orang tuanya tersebut merupakan nonmuslim. Dengan demikian kalau ada insan yang tidak beragama tauhid, itu hanyalah sebab imbas lingkungan baik lingkungan fisik maupun non fisik. Dalam surat arRuum:30 dijelaskan sebagai berikut:
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah membuat insan berdasarkan fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan insan tidak mengetahui” (Q.S. Ar-Rum: 30)
Sesuai fitrah, insan mempunyai tiga potensi, yaitu aljasad (jasmani), al-aql (akal), dan ar-ruh (ruhani). Islam menghendaki ketiga dimensi tersebut berada dalam keadaan tawazun (seimbang). Ketiga potensi ini membutuhkan makanannya masing-masing, yaitu yang pertama, jasmani atau fisik ialah amanah dari Allah Ta'ala, sebab itu harus dijaga, biar jasmani senantiasa sehat. Maka jasmani pun harus dipenuhi kebutuhannya biar menjadi kuat. Perintah terkait tawazun juga terapat Q.S. A-Rahman ayat 7-9:
Adapun Kebutuhan jasmani ialah makanan, yaitu kuliner yang halalan thoyyiban (halal dan baik), beristirahat, kebutuhan biologis dan hal-hal lain yang mengakibatkan jasmani kuat. Kedua akal, nalar merupakan unsur yang membedakan insan dengan hewan. Akal pulalah yang mengakibatkan insan lebih mulia dari makhluk-makhluk lainnya. Dengan nalar insan bisa mengenali hakikat sesuatu, mencegahnya dari kejahatan dan perbuatan jelek. Membantunya dalam memanfaatkan kekayaan alam yang oleh Allah diperuntukkan baginya supaya insan sanggup melaksanakan tugasnya sebagai khalifatullah fil-ardhi. Adapun kebutuhan nalar ialah ilmu dalam rangka untuk pemenuhan sarana kebutuhannya. Adapun yang ketiga ialah ruh (hati). Kebutuhan ruh (hati) ialah zikrullah. Pemenuhan kebutuhan ruhani ini sangat penting, biar ruh/jiwa tetap mempunyai semangat hidup. Tanpa pemenuhan kebutuhan tersebut jiwa akan mati dan tidak sanggup mengemban amanah besar yang dilimpahkan kepadanya.
Dengan perilaku tawazun (keseimbangan), insan sanggup meraih kebahagiaan hakiki yang merupakan nikmat Allah, sebab pelaksanaan syariah sesuai dengan fitrahnya. Untuk skala keseimbangan akan menempatkan umat Islam menjadi umat yang hidup seimbang, Yaitu umat yang seimbang sebagaimana klarifikasi surat al_Baqarah:143.
“Dan demikian (pula) Kami telah mengakibatkan kau (umat Islam), umat yang adil dan pilihan[95] biar kau menjadi saksi atas (perbuatan) insan dan biar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan biar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali bagi orangorang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia”. (Q.S. AlBaqarah: 143)
Kebahagiaan pada diri insan itu sanggup berupa kebahagiaan batin/jiwa, dalam bentuk ketenangan jiwa dan Kebahagiaan zahir/gerak, dalam bentuk kesetabilan, ketenangan ibadah, bekerja dan acara lainnya. Dengan menyeimbangkan dirinya, maka insan tersebut tergolong sebagai hamba yang arif mensyukuri nikmat Allah. Hamba/manusia menyerupai inilah yang disebut insan seutuhnya.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan ihwal tawazun dalam perspektif Al-Quran dan Hadis. Sumber Modul 4 Konsep Tawassuth, Tawazun dan Tasamuh dalam Al Alquran Hadis PPG dalam Jabatan Tahun 2019 Kementerian Agama Republik Indonesia JAKARTA 2019. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
Ajaran Islam mengarahkan insan biar memperhatikan ketiga unsur psecara seimbang: al-jasad membutuhkan al-ghidaul jasadiy (gizi bagi jasad), al-aql membutuhkan al-ghidaul aqli (gizi bagi akal), dan ar-ruh membutuhkan al-ghidaur ruhiy (gizi rohani).Dengan mengimplementasikan perilaku tawazun dalam hidup, insan akan meraih kebahagian hakiki, yakni kebahagiaan lahir dan batin. Kebahagiaan bathin/jiwa dalam Bentuk ketenangan jiwa dan kebahagian lahir/fisik dalam bentuk kestabilan dan ketenangan dalam hidup.
Ayat-ayat al-Quran entang tawazun (keseimbangan) Q.S.Al-Qashash ayat 77 :
وَٱبْتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلْءَاخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَآ أَحْسَنَ ٱللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ ٱلْفَسَادَ فِى ٱلْأَرْضِ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلْمُفْسِدِينَ
Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kau melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat sepakat (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kau berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (Q.S.AlQashash: 77)
Asbab nuzul ayat diatas dimulai dengan dongeng Qarun si kaya yang angkuh. kesombongan qarun yang terlampau kikir akan harta yang ia miliki. Sehingga kaumnya menasehati akan tetapi beliau tidak menghiraukan. Ia durhaka kemudian serta merta ia berlaku aniaya, yakni beliau melampaui batas dalam keangkuhan dan penghinaan terhadap Bani Isra`il. Perubahan status sosial telah mengantar dirinya menjadi insan lupa dan durhaka, sehingga walaupun beliau telah diingkarkan oleh beberapa orang dari kaum Nabi Musa As. Qorun tetap angkuh.
Ayat ini mengisyaratkan bahwa kekayaan apapun yang kita miliki kita jadikan sebagai sarana atau alat kebahagiaan di kampung akhirat. Perlu diketahui bahwa “fiil wabtaghi” mengandung arti “Carilah apa saja yang diberikan Allah kepada kau berupa harta, kalbu, perasaan, nalar pikiran, anak dan seluruh yang kau miliki untuk mencari kebahagiaan di kampung alam abadi dan ridha Allah. Yakni hendaknya kita meletakkan apa saja yang akan terjadi di masa depan di hadapan mata kita, yaitu masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan alam abadi dan kita dilarang melupakan sedikitpun kehidupan duniawi kita.
Maksud ayat ini mengandung tawaran untuk memakai harta yang berlimpah dan nikmat yang bergelimang sebagai karunia Allah untuk bekal ketaatan kepada Allah dan mendekatkan diri kepadaNya, dengan mengerjakan aneka macam amal pendekatan diri kepada-Nya. Dengan demikian insan akan memperoleh pahala di dunia dan akhirat. Yakni yang dihalalkan oleh Allah berupa makanan, minuman, pakaian, rumah dan perkawinan. Karena bahwasanya insan mempunyai kewajiban terhadap Allah, dan mempunyai kewajiban terhadap diri sendiri, dan juga mempunyai kewajiban terhadap keluargamu serta orang-orang yang bertamu.Maka hendaknya insan menunaikan kewajiban itu kepada haknya masing-masing.
Ayat ini juga merupakan tuntunan untuk menyeimbangkan kepentingan hidup duniawi dan ukhrawi. Yakni segala karunia yang diberi Allah di dunia ini dipakai dalam ketaatan kepada Allah. Melakukan segala kiprah dan kewajiban duniawi dengan penuh tanggungjawab serta melaksanakan ritual ibadah dengan semangat. Dengan menyeimbangkan hidup dunia akhirat, maka insan akan mendapat kehidupan yang bahagia.Hal ini selaras dengan sebuah hadis :
إعمل لدنياك كأنك تعيش أبدا واعمل آلخرتك كأنك متوت غدا (رواه البيهقى
Artinya: "Bekerjalah untuk duniamu seolah-olah engkau akan hidup selamanya dan bekerjalah untuk akhiratmu seolah-olah kau akan mati esok"
Dari ayat ini sanggup diambil hikmah, yaitu : hendaknya kita sanggup hidup secara seimbang, dengan mengutamakan kebahagiaan alam abadi sebagai visi kita, dan juga merengkuh kehidupan dunia serta kenikmatannya sesuai dengan ridha Allah, sebagai bekal kita untuk kehidupan alam abadi kelak. Janganlah kita hidup menyerupai Qarun, tokoh serakah dan pengejar harta, yang terlalu sibuk mengejar harta serta kesenangan dunia, sehingga ia lupa akan kehidupan alam abadi yang lebih abadi dan lebih baik dari segala apa yang ada di dunia ini. Selain itu ada dua hal yang perlu diperhatikan berdasarkan ayat ini adalah:
a. Dalam pandangan Islam, hidup duniawi dan ukhrawi merupakan satu kesatuan. Dunia ialah daerah menanam dan alam abadi ialah daerah menuai. Segala sesuatu yang kita tanam selama di dunia, akan kita peroleh buahnya di alam abadi kelak.
b. Ayat di atas menggarisbawahi pentingnya mengarahkan pandangan kepada alam abadi sebagai tujuan dan kepada dunia sebagai sarana untuk mencapai tujuan.
Surat al-Qashas ayat 77 ini semakna dengan hadis yang diriwayatkanIbnu Assakir dan Anas, yaitu:
Artinya: “Bukankah orang yang paling baik diantara kau orang yang meninggalkan kepentingan dunia untuk mengejar alam abadi atau meninggalkan alam abadi untuk mengejar dunia sehingga sanggup memadukan keduanya. Sesungguhnya kehidupan dunia mengantarkan kau menuju kehidupan akhirat. Janganlah kau menjadi beban orang lain”
Dari ayat-ayat dan hadis-hadis diatas sanggup diketahui bahwa keseimbagan merupakan sarana menuju kehidupan yang sejati. Manusia dalam hidupnya harus bisa menyeimbangkan antara ilmu dan amal. Tidak boleh hanya menekankan pada satu sisi saja tanpa dimbangi dengan yang lain. seseorang dilarang hanya berkutat pada teori dan konsep yang kososng, yang hanya mengakibatkan aliran islam sebagai sumber diskusi dan diseminarkan tanpa ada praktek dalam kehidupan sehari-hari.
Allah telah mengisyaratkan dalam banyak ayat-ayat al-Quran, biar kita hidup seimbang, sebab dengan hidup seimbang insan akan mendapat kebahagiaan tanpa harus melalaikan dan meninggalkan yang lain. Sebagaimana Allah telah mengakibatkan alam beserta isinya berada dalam sebuah keseimbangan. Seperti klarifikasi surat ar-rahman ayat 7 :
وَٱلسَّمَآءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ ٱلْمِيزَانَ
Artinya: “Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan)” (QS. Ar-Rahman:7)Kemampuan insan untuk bertawazun juga didukung oleh fitrah insan diciptakan Allah SWT, yang mana fitrahnya itu ialah hanif yaitu kecenderungan untuk melaksanakan kebaikan dan mengakui ketauhidan, namun kemudian keadaannya sehabis lahir yang terkadang diarahkan oleh kedua orang tuanya, dan membuat anak tersebut menjadi berbeda, yakni ada yang nasrani, yahudi, majusi apabila orang tuanya tersebut merupakan nonmuslim. Dengan demikian kalau ada insan yang tidak beragama tauhid, itu hanyalah sebab imbas lingkungan baik lingkungan fisik maupun non fisik. Dalam surat arRuum:30 dijelaskan sebagai berikut:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِى فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ ٱللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah membuat insan berdasarkan fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan insan tidak mengetahui” (Q.S. Ar-Rum: 30)
Sesuai fitrah, insan mempunyai tiga potensi, yaitu aljasad (jasmani), al-aql (akal), dan ar-ruh (ruhani). Islam menghendaki ketiga dimensi tersebut berada dalam keadaan tawazun (seimbang). Ketiga potensi ini membutuhkan makanannya masing-masing, yaitu yang pertama, jasmani atau fisik ialah amanah dari Allah Ta'ala, sebab itu harus dijaga, biar jasmani senantiasa sehat. Maka jasmani pun harus dipenuhi kebutuhannya biar menjadi kuat. Perintah terkait tawazun juga terapat Q.S. A-Rahman ayat 7-9:
وَٱلسَّمَآءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ ٱلْمِيزَانَ . أَلَّا تَطْغَوْا۟ فِى ٱلْمِيزَانِ . وَأَقِيمُوا۟ ٱلْوَزْنَ بِٱلْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا۟ ٱلْمِيزَانَ
Artinya: “Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan) (7); supaya kau jangan melampaui batas ihwal neraca itu (8);Dan Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kau mengurangi neraca itu (9)” (QS Arrahman: 7-9)Adapun Kebutuhan jasmani ialah makanan, yaitu kuliner yang halalan thoyyiban (halal dan baik), beristirahat, kebutuhan biologis dan hal-hal lain yang mengakibatkan jasmani kuat. Kedua akal, nalar merupakan unsur yang membedakan insan dengan hewan. Akal pulalah yang mengakibatkan insan lebih mulia dari makhluk-makhluk lainnya. Dengan nalar insan bisa mengenali hakikat sesuatu, mencegahnya dari kejahatan dan perbuatan jelek. Membantunya dalam memanfaatkan kekayaan alam yang oleh Allah diperuntukkan baginya supaya insan sanggup melaksanakan tugasnya sebagai khalifatullah fil-ardhi. Adapun kebutuhan nalar ialah ilmu dalam rangka untuk pemenuhan sarana kebutuhannya. Adapun yang ketiga ialah ruh (hati). Kebutuhan ruh (hati) ialah zikrullah. Pemenuhan kebutuhan ruhani ini sangat penting, biar ruh/jiwa tetap mempunyai semangat hidup. Tanpa pemenuhan kebutuhan tersebut jiwa akan mati dan tidak sanggup mengemban amanah besar yang dilimpahkan kepadanya.
Dengan perilaku tawazun (keseimbangan), insan sanggup meraih kebahagiaan hakiki yang merupakan nikmat Allah, sebab pelaksanaan syariah sesuai dengan fitrahnya. Untuk skala keseimbangan akan menempatkan umat Islam menjadi umat yang hidup seimbang, Yaitu umat yang seimbang sebagaimana klarifikasi surat al_Baqarah:143.
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَٰكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا۟ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا ٱلْقِبْلَةَ ٱلَّتِى كُنتَ عَلَيْهَآ إِلَّا لِنَعْلَمَ مَن يَتَّبِعُ ٱلرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ ۚ وَإِن كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى ٱلَّذِينَ هَدَى ٱللَّهُ ۗ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَٰنَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِٱلنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَّحِيمٌ
“Dan demikian (pula) Kami telah mengakibatkan kau (umat Islam), umat yang adil dan pilihan[95] biar kau menjadi saksi atas (perbuatan) insan dan biar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan biar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali bagi orangorang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia”. (Q.S. AlBaqarah: 143)
Kebahagiaan pada diri insan itu sanggup berupa kebahagiaan batin/jiwa, dalam bentuk ketenangan jiwa dan Kebahagiaan zahir/gerak, dalam bentuk kesetabilan, ketenangan ibadah, bekerja dan acara lainnya. Dengan menyeimbangkan dirinya, maka insan tersebut tergolong sebagai hamba yang arif mensyukuri nikmat Allah. Hamba/manusia menyerupai inilah yang disebut insan seutuhnya.