Aktifitas Kh. Hasyim Asy’Ari Sepulang Mencar Ilmu Dari Makkah
Thursday, April 16, 2020
Edit
Patut dicatat di sini, bahwa di sekitar pesantren Gedang ketika itu telah terdapat lebih dari 15 pesantren lain menyerupai Tambakberas, Sambong, Sukopuro, Paculgoang, Watugaluh, dan sebagainya. Dengan mempertimbangkan keberadaan sejumlah pesantren di lokasi tersebut, Hasyim Asy’ari alhasil memutuskan untuk membuka sebuah pesantren gres di tempat yang agak jauh, yaitu di Tebuireng pada tahun 1899. Untuk membangun pesantrennya ini ia mula-mula membeli sebidang tanah dari seorang Dalang di Tebuireng.
Di atas sebidang tanah itulah, ia membangun sebuah bangunan kecil yang terbuat dari kayu dan bambu yang dijadikan 2 bilik, bilik depan dipakai untuk tempat tinggalnya bersama keluarga, dan bilik belakang dipakai untuk shalat berjama’ah dan asrama santri. Pada awal berdirinya, pesantren ini hanya mempunyai 8 orang santri yang kemudian pada 3 bulan selanjutnya bertambah menjadi 28 orang santri. Masyarakat termasuk kiai lain yang semasa dengan Hasyim Asy’ari tak jarang menyangksikan keputusannya untuk mendirikan pesantren di Tebuireng, alasannya Tebuireng yakni sebuah desa yang sangat terpencil. Apalagi diketahui bahwa wilayah tersebut ternyata tidak aman, alasannya kebanyakan penduduknya berprofesi sebagai perampok, pemabuk, penjudi serta menjadi tempat yang subur bagi prostitusi.
Namun, keputusannya untuk mendirikan pesantren gres ini bukanlah tanpa maksud dan tujuan, yakni dalam rangka memberikan dan mengamalkan ilmu pengetahuan yang telah ditimbanya selama ini, serta akan menggunakan pesantren yang nanti dibangunnya sebagai sebuah agent social of change. Berdasarkan semangat dan tujuannya ini, ia sebetulnya layak dijuluki sebagai seorang “ahli strategi”, dalam arti ia berkeinginan untuk melaksanakan perubahan dan perbaikan masyarakat.
Sebagian besar waktu Hasyim Asy’ari dipakai untuk mengajar di masjid Tebuireng. Karena ketertarikan utamanya pada kajian ilmu hadits, pesantrennya ini dikenal luas dan diminati oleh mereka yang ingin mempelajari hadits secara mendalam. Namun demikian, ia tidak hanya mengajarkan ilmu hadits sebagaimana yang diminati oleh para santri, tetapi juga fiqh dan tafsir.
Ketertarikan para santri terhadap materi yang diajarkan oleh Hasyim Asy’ari tentunya tidak sanggup dipisahkan dari kualitas dan cara mengajarnya yang mempesona. Dia membacakan materi-materi berbahasa Arab kepada para santrinya dalam bahasa yang sangat lugas, dengan terjemahan dan klarifikasi yang gampang dimengerti. Para santri sanggup dengan gampang menguasai materi yang dia sampaikan alasannya dia memperlihatkan penguasaan materi yang luar biasa terhadap ketiga bidang ilmu ini (hadits, fiqh, dan tafsir) yang tidak dimiliki ulama lain semasanya. Dia senantiasa ramah dan penuh kesabaran dalam menjawab setiap pertanyaan para santri.
Sebagaimana kiai lainnya di Jawa, Hasyim Asy’ari juga memanfaatkan momentum bulan Ramadlan untuk mengerjakan spesialisasi ilmu pengetahuan yang dimilikinya dalam bidang hadits. Biasanya, studi terhadap hadits karya Imam Bukhari dan Imam Muslim diselesaikannya dalam waktu sekitar 40 hari, dengan dihadiri oleh sebagian besar muridnya yang penting, yang kelak menjadi kiai dari seluruh Jawa. Kelas bulan Ramadlan ini juga merupakan ajang reuni bagi para pemimpin pesantren. Proses pengajaran dalam situasi ini mungkin lebih merupakan lembaga komunikasi (silaturrahmi) dan tabarrukan, yakni untuk meraih berkah dari hadits dan dari sang guru.
Pada tahun 1920-an, semakin banyak ulama yang ingin mencar ilmu hadits dari Hasyim Asy’ari di Tebuireng. Salah satu dari mereka yakni gurunya sendiri, Kiai Khalil Bangkalan. Kiai Khalil berkata, “Pada masa kemudian saya yakni gurumu. Tetapi, kini saya ingin menjadi muridmu”. Hasyim Asy’ari dengan rendah hati menjawab, “Saya tidak pernah berpikir Tuan akan menyampaikan demikian. Saya dulu dan kini yakni tetap murid Tuan. Tuan selamanya yakni guru saya”. Melihat hati sang murid, Kiai Khalil menegaskan kembali bahwa dia sungguh-sungguh ingin mencar ilmu kepada Hasyim Asy’ari perihal hadits.
Tentunya, anekdot ini memperlihatkan kerendahan hati kedua ulama tersebut. Kiai Khalil dikenal sebagai guru tiada tanding, yang gemar berdebat untuk tujuan keilmuan melebihi siapa pun. Adalah sukar dimengerti bila pada alhasil sang guru menghormati muridnya sendiri. Kerendahan hati yakni salah satu ciri terpenting dari dunia pesantren. Beberapa laporan lain memperlihatkan bahwa kehadiran Kiai Khalil di kelas Hasyim Asy’ari beberapa tahun menjelang wafatnya ini memperlihatkan kepada para santri lain bahwa Hasyim Asy’ari yakni pemimpin kiai di masa depan yang harus mereka taati.
Hasyim Asy’ari merupakan tipe pendidik yang sulit dicari tandingannya. Sejak pagi hingga malam hari, ia menghabiskan waktunya untuk mengajar. Pada pagi hari, kegiatannya dimulai dengan menjadi imam shalat subuh di masjid Tebuireng, yang berada sempurna di depan rumahnya, dilanjutkan dengan bacaan wirid yang cukup panjang. Selesai wirid, ia mengajar kitab kepada para santrinya hingga menjelang matahari terbit. Di antara kitab yang diajarkannya sesudah shubuh yakni Al-Tahrir dan Al-Syifa fi Huquq al-Musthafa karya al-Qadhi ‘Iyadh.
Setelah selesai memperlihatkan pengajian, Hasyim Asy’ari yang terbiasa berpuasa itu menemui para pekerja yang sudah berkumpul di samping rumahnya. Ia membagi kiprah kepada mereka; ada yang ditugaskan merawat sawah, membenahi akomodasi pesantren, dan lain sebagainya. Setelah itu, ia mendapatkan laporan-laporan mengenai hal-hal yang sebelumnya pernah ia tugaskan. Sekitar pukul 07.00, ia mengambil air wudlu’ untuk melaksanakan shalat dhuha. Ia biasanya mengambil air wudhu di jeding (kamar kecil) samping rumah dengan hanya mengenakan kain sarung dan kaos putih.
Setelah shalat dhuha, dilanjutkan dengan mengajar santri senior, tempatnya di ruang depan rumahnya. Kitab yang pernah diajarkan antara lain Al-Muhaddzab karya al-Syairazi dan Al-Muattha’ karya Imam Malik Ra. Pengajian ini berakhir pada pukul 10.00. Mulai jam 10.00 pagi hingga jam 12 yakni waktu istirahat, yang dipakai untuk agenda-agenda menyerupai menemui para tamu, membaca dan menulis kitab, dan lain-lain.
Sebelum adzan dzuhur berkumandang, kadang kala ia menyempatkan diri untuk tidur sebentar (qailulah), sebagai bekal untuk qiyamul lail (ibadah di malam hari) dan membaca al-Qur’an. Ketika adzan dzuhur berkumandang, ia berdiri dan mengimami shalat dzuhur berjama’ah di masjid. Selepas shalat dzuhur, ia mengajar lagi hingga menjelang waktu ashar.
Kira-kira setengah jam sebelum ashar, ia menilik pekerjaan para pekerja yang ditugasinya tadi pagi. Setelah mendapatkan laporan, ia kembali ke rumahnya, kemudian mandi. Setelah terdengar adzan ashar, ia kembali lagi ke masjid dan mengimami shalat ashar, dilanjutkan dengan mengajar para santri di masjid hingga menjelang maghrib. Kitab yang diajarkan yakni Fath al-Qarib. Pengajian ini wajib diikuti oleh semua santri tanpa terkecuali. Hingga tamat hayatnya, kitab ini secara kontinyu dibaca setiap selesai shalat ashar.
Setelah shalat maghrib, ia menyediakan waktu untuk menemui para tamu yang tiba dari banyak sekali daerah, menyerupai Banyuwangi, Pasuruan, Malang, Surabaya, Madiun, Kediri, Solo, Jakarta, Yogyakarta, Kalimantan, Bima, Sumatra, Teluk belitung, Madura, Bali, dan masih banyak lagi. Dikisahkan oleh Nyai Marfu’ah, pembantu Hasyim Asy’ari, setiap harinya Hasyim Asy’ari menyediakan banyak makanan dan lauk-pauk untuk menjamu para tamu. Dalam satu hari, jumlah tamunya sanggup mencapai 50 orang.
Setelah shalat isya, ia mengajar lagi di masjid hingga pukul sebelas malam. Materi yang biasa diajarkan yakni ilmu tasawuf dan tafsir. Di bidang tasawuf dia membacakan kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Imam al-Ghazali, dan untuk tafsir yakni Tafsir al-Quran al-Adzim karya Ibnu Kastir. Setelah itu ia muraja’ah Al-Qur’an dengan disimak oleh beberapa santri. Ia mengakhiri kegiatannya dengan beristirahat, mulai jam satu malam dan berdiri satu jam kemudian untuk qiyamul lail dan membaca al-Quran.
Menjelang waktu imsak (sekitar 10 menit sebelum shubuh), ia berkeliling pesantren untuk membangunkan para santrinya semoga segera mandi atau berwudlu’ untuk melaksanakan shalat tahajjud dan shalat shubuh. Ketika usianya sudah beranjak sepuh (tua) dan harus menggunakan tongkat untuk menyangga tubuhnya, pun Hasyim Asy’ari tetap menjalankan kebiasaannya membangunkan para santri menjelang shubuh.
Pada tanggal 7 Nopember 1945—tiga hari sebelum meletus perang 10 Nopember 1945—umat Islam Indonesia membentuk partai politik berjulukan Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi). Pembentukan Masyumi ini merupakan salah satu langkah konsolidasi umat Islam Indonesia dari banyak sekali faham. Dalam hal ini Hasyim Asy’ari diangkat sebagai Ro’is ‘Am (Ketua Umum) pertama, periode tahun 1945-1947. Selama masa usaha mengusir penjajah tersebut, ia dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar usaha menyerupai GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk kepadanya.
Pada tahun 1926, bantu-membantu dengan ulama besar lengan berkuasa lainnya, menyerupai Kiai Abdul Wahab Hasbullah (Tambakberas) dan Kiai Bisri Syansuri (Denanyar), Hasyim Asy’ari mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama (NU), sebagai wujud usaha para ulama dalam membimbing umat Islam sekaligus melawan kaum penjajah ketika itu. Di awal berdirinya organisasi NU tersebut Hasyim Asy’ari diangkat sebagai “Rois Akbar” (Pemimpin Agung), satu-satunya istilah jabatan dalam organisasi NU yang semenjak awal didirikannya hingga kini hanya disandang oleh beliau. Lahirnya organisasi NU mempunyai sejarah dan usaha yang cukup panjang.