Biografi Dan Sejarah Singkat Syaikh Kholil Bangkalan Madura
Thursday, April 23, 2020
Edit
Syaikh Kholil (biasa disebut Mbah Kholil) lahir pada hari Selasa tanggal 11 Jumadil Akhir 1235 H atau 27 Januari 1820 M. Ia berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, KH. Abdul Lathif, memiliki pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah Abdul Lathif yaitu Kyai Hamim, anak dari Kyai Abdul Karim. Kyai Abdul Karim yaitu anak dari Kyai Muharram bin Kyai Asror Karomah bin Kyai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman yaitu cucu Sunan Gunung Jati. Maka tidak salah jikalau KH. Abdul Lathif mendambakan anaknya kelak bisa mengikuti jejak Sunan Gunung Jati yang merupakan kakek moyangnya.
Oleh ayahnya, ia dididik dengan sangat ketat. Mbah Kholil kecil memang menunjukkan talenta yang istimewa. Kehausannya akan ilmu, terutama ilmu fiqh dan nahwu, sangat luar biasa. Bahkan ia sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait yang membahas ilmu nahwu) semenjak usia muda. Untuk memenuhi harapan dan juga kehausannya mengenai ilmu fiqh dan ilmu yang lainnya, maka orang renta Mbah Kholil mengirimnya ke banyak sekali pesantren untuk menimba ilmu.
A. Syaikh Kholil Belajar ke Pesantren.
Mengawali pengembaraannya, sekitar tahun 1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh tahun, Mbah Kholil muda mencar ilmu kepada Kyai Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan dia pindah ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian dia pindah ke Pondok Pesantren Keboncandi. Selama mencar ilmu di Pondok Pesantren ini dia mencar ilmu pula kepada Kyai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Kyai Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih memiliki pertalian keluarga dengannya. Jarak antara Keboncandi dan Sidogiri sekitar 7 Kilometer. Tetapi, untuk mendapat ilmu, Mbah Kholil muda rela melakoni perjalanan yang terbilang tidak mengecewakan jauh itu setiap harinya. Di setiap perjalanannya dari Keboncandi ke Sidogiri, ia tak pernah lupa membaca Surah Yasin. Ini dilakukannya sampai ia -selama perjalanannya itukhatam berkali-kali.
B. Syaikh Kholil Orang yang Mandiri.
Sebenarnya, bisa saja Mbah Kholil muda tinggal di Sidogiri selama mencar ilmu kepada Kyai Nur Hasan, tetapi ada alasan yang cukup berpengaruh baginya untuk tetap tinggal di Keboncandi, meskipun Mbah Kholil muda bekerjsama berasal dari keluarga yang dari segi perekonomian cukup berada. Akan tetapi, Mbah Kholil muda tetap saja menjadi orang yang berdikari dan tidak mau merepotkan orangtuanya. Karena itu, selama nyantri di Sidogiri, Mbah Kholil tinggal di Keboncandi biar bisa nyambi menjadi buruh batik. Dari hasil menjadi buruh batik itulah dia memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Sewaktu menjadi santri, Mbah Kholil telah menghafal beberapa matan kitab, menyerupai Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa Arab). Disamping itu dia juga seorang Hafidz al-Quran. Beliau bisa membaca al-Qur’an dalam Qira’at Sab’ah (tujuh model membaca al-Quran).
C. Syaikh Kholil Belajar Ke Mekkah.
Kemandirian Mbah Kholil muda juga nampak ketika ia berkeinginan untuk menimba ilmu ke Mekkah. Karena pada masa itu, mencar ilmu ke Mekkah merupakan citacita semua santri. Dan untuk mewujudkan impiannya itu, lagi-lagi Mbah Kholil muda tidak menyatakan niatnya kepada orangtuanya, apalagi meminta ongkos kepada kedua orangtuanya.
Kemudian, sehabis Mbah Kholil memutar otak untuk mencari jalan keluar, hasilnya ia memutuskan untuk pergi ke sebuah pesantren di Banyuwangi. Karena, pengasuh pesantren itu populer memiliki kebun kelapa yang cukup luas. Selama nyantri di Banyuwangi ini, Mbah Kholil nyambi menjadi “buruh” pemetik kelapa pada gurunya. Untuk setiap pohonnya, dia mendapat upah 2,5 sen. Uang yang diperolehnya tersebut dia tabung. Sedangkan untuk makan, Mbah Kholil menyiasatinya dengan mengisi kolam mandi, mencuci dan melaksanakan pekerjaan rumah lainnya, serta menjadi juru masak teman-temannya.
Akhirnya, pada tahun 1859 M, dikala usianya mencapai 39 tahun, Mbah Kholil memutuskan untuk pergi ke Mekkah. Tetapi sebelum berangkat, Mbah Kholil menikah dahulu dengan Nyai Asyik, anak wanita Lodra Putih.
Pada tahun 1276 H/1859 M, Mbah Kholil Belajar di Mekkah. Di Mekkah Mbah Kholil mencar ilmu dengan Syeikh Nawawi al-Bantani (Guru Ulama Indonesia dari Banten). Diantara gurunya di Mekkah ialah Syeikh Utsman bin Hasan ad-Dimyathi, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad al-Afifi al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud asy-Syarwani. Beberapa sanad hadits yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail al-Bimawi (Bima, Sumbawa).
Sebagai cowok Jawa (sebutan yang dipakai orang Arab waktu itu untuk menyebut orang Indonesia) pada umumnya, Mbah Kholil mencar ilmu pada para Syeikh dari banyak sekali madzhab yang mengajar di Masjid al-Haram. Namun kecenderungannya untuk mengikuti Madzhab Syafi’i tidak sanggup disembunyikan. Karena itu, tidak heran jikalau kemudian ia lebih banyak mengaji kepada para Syeikh yang bermadzhab Syafi’i.
Sewaktu berada di Mekkah, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Mbah Kholil bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang diharapkan oleh para pelajar. Diriwayatkan bahwa pada waktu itulah timbul niat bersama rekan-rekannya, yaitu: Syeikh Nawawi al-Bantani dan Syeikh Shaleh as-Samarani (Kiai Saleh Darat, Semarang) menyusun kaidah penulisan Huruf Arab Pegon. Huruf Arab Pegon ialah goresan pena Arab yang dipakai untuk goresan pena dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya goresan pena Melayu/Jawi yang dipakai untuk penulisan bahasa Melayu.
Mbah Kholil cukup usang mencar ilmu di beberapa pondok pesantren di Jawa dan Mekkah. Maka sewaktu pulang dari Mekkah, dia populer sebagai ahli/pakar nahwu, fiqh, tarekat dan ilmu-ilmu lainnya. Untuk berbagi pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, Mbah Kholil selanjutnya mendirikan pondok-pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya.
D. Syaikh Kholil Kembali ke Tanah Air dari Tanah Arab.
Sepulang dari Tanah Arab, Mbah Kholil dikenal sebagai spesialis fiqh dan tarekat. Bahkan pada hasilnya ia dikenal sebagai salah seorang Kyai yang sanggup memadukan kedua hal itu dengan serasi. Ia juga dikenal sebagai al-Hafidz (hafal al-Qur’an 30 Juz). Dari hari ke hari, banyak santri yang berdatangan dari desa-desa sekitarnya. Namun, sehabis putrinya, Siti Khatimah dinikahkan dengan keponakannya sendiri, yaitu Kyai Muntaha; pesantren di Desa Cengkubuan itu kemudian diserahkan kepada menantunya.
Mbah Kholil sendiri mendirikan pesantren lagi di kawasan Kademangan, hampir di sentra kota; sekitar 200 meter sebelah Barat alun-alun kota Kabupaten Bangkalan. Letak Pesantren yang gres itu, hanya selang 1 Kilometer dari Pesantren usang dan desa kelahirannya. Di tempat yang gres ini, Mbah Kholil juga cepat memperoleh santri lagi, bukan saja dari kawasan sekitar, tetapi juga dari Tanah Seberang Pulau Jawa. Santri pertama yang tiba dari Jawa tercatat berjulukan Hasyim Asy’ari, dari Jombang. Mbah Kholil wafat pada 29 Ramadhan 1343 H atau 1925 Masehi.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan wacana biografi dan sejarah singkat Syaikh Kholil Bangkalan Madura. Sumber Buku SKI Kelas XII MA. Kementerian Agama Republik Indonesia, 2016. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
Oleh ayahnya, ia dididik dengan sangat ketat. Mbah Kholil kecil memang menunjukkan talenta yang istimewa. Kehausannya akan ilmu, terutama ilmu fiqh dan nahwu, sangat luar biasa. Bahkan ia sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait yang membahas ilmu nahwu) semenjak usia muda. Untuk memenuhi harapan dan juga kehausannya mengenai ilmu fiqh dan ilmu yang lainnya, maka orang renta Mbah Kholil mengirimnya ke banyak sekali pesantren untuk menimba ilmu.
A. Syaikh Kholil Belajar ke Pesantren.
Mengawali pengembaraannya, sekitar tahun 1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh tahun, Mbah Kholil muda mencar ilmu kepada Kyai Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan dia pindah ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian dia pindah ke Pondok Pesantren Keboncandi. Selama mencar ilmu di Pondok Pesantren ini dia mencar ilmu pula kepada Kyai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Kyai Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih memiliki pertalian keluarga dengannya. Jarak antara Keboncandi dan Sidogiri sekitar 7 Kilometer. Tetapi, untuk mendapat ilmu, Mbah Kholil muda rela melakoni perjalanan yang terbilang tidak mengecewakan jauh itu setiap harinya. Di setiap perjalanannya dari Keboncandi ke Sidogiri, ia tak pernah lupa membaca Surah Yasin. Ini dilakukannya sampai ia -selama perjalanannya itukhatam berkali-kali.
B. Syaikh Kholil Orang yang Mandiri.
Sebenarnya, bisa saja Mbah Kholil muda tinggal di Sidogiri selama mencar ilmu kepada Kyai Nur Hasan, tetapi ada alasan yang cukup berpengaruh baginya untuk tetap tinggal di Keboncandi, meskipun Mbah Kholil muda bekerjsama berasal dari keluarga yang dari segi perekonomian cukup berada. Akan tetapi, Mbah Kholil muda tetap saja menjadi orang yang berdikari dan tidak mau merepotkan orangtuanya. Karena itu, selama nyantri di Sidogiri, Mbah Kholil tinggal di Keboncandi biar bisa nyambi menjadi buruh batik. Dari hasil menjadi buruh batik itulah dia memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Sewaktu menjadi santri, Mbah Kholil telah menghafal beberapa matan kitab, menyerupai Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa Arab). Disamping itu dia juga seorang Hafidz al-Quran. Beliau bisa membaca al-Qur’an dalam Qira’at Sab’ah (tujuh model membaca al-Quran).
C. Syaikh Kholil Belajar Ke Mekkah.
Kemandirian Mbah Kholil muda juga nampak ketika ia berkeinginan untuk menimba ilmu ke Mekkah. Karena pada masa itu, mencar ilmu ke Mekkah merupakan citacita semua santri. Dan untuk mewujudkan impiannya itu, lagi-lagi Mbah Kholil muda tidak menyatakan niatnya kepada orangtuanya, apalagi meminta ongkos kepada kedua orangtuanya.
Kemudian, sehabis Mbah Kholil memutar otak untuk mencari jalan keluar, hasilnya ia memutuskan untuk pergi ke sebuah pesantren di Banyuwangi. Karena, pengasuh pesantren itu populer memiliki kebun kelapa yang cukup luas. Selama nyantri di Banyuwangi ini, Mbah Kholil nyambi menjadi “buruh” pemetik kelapa pada gurunya. Untuk setiap pohonnya, dia mendapat upah 2,5 sen. Uang yang diperolehnya tersebut dia tabung. Sedangkan untuk makan, Mbah Kholil menyiasatinya dengan mengisi kolam mandi, mencuci dan melaksanakan pekerjaan rumah lainnya, serta menjadi juru masak teman-temannya.
Akhirnya, pada tahun 1859 M, dikala usianya mencapai 39 tahun, Mbah Kholil memutuskan untuk pergi ke Mekkah. Tetapi sebelum berangkat, Mbah Kholil menikah dahulu dengan Nyai Asyik, anak wanita Lodra Putih.
Pada tahun 1276 H/1859 M, Mbah Kholil Belajar di Mekkah. Di Mekkah Mbah Kholil mencar ilmu dengan Syeikh Nawawi al-Bantani (Guru Ulama Indonesia dari Banten). Diantara gurunya di Mekkah ialah Syeikh Utsman bin Hasan ad-Dimyathi, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad al-Afifi al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud asy-Syarwani. Beberapa sanad hadits yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail al-Bimawi (Bima, Sumbawa).
Sebagai cowok Jawa (sebutan yang dipakai orang Arab waktu itu untuk menyebut orang Indonesia) pada umumnya, Mbah Kholil mencar ilmu pada para Syeikh dari banyak sekali madzhab yang mengajar di Masjid al-Haram. Namun kecenderungannya untuk mengikuti Madzhab Syafi’i tidak sanggup disembunyikan. Karena itu, tidak heran jikalau kemudian ia lebih banyak mengaji kepada para Syeikh yang bermadzhab Syafi’i.
Sewaktu berada di Mekkah, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Mbah Kholil bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang diharapkan oleh para pelajar. Diriwayatkan bahwa pada waktu itulah timbul niat bersama rekan-rekannya, yaitu: Syeikh Nawawi al-Bantani dan Syeikh Shaleh as-Samarani (Kiai Saleh Darat, Semarang) menyusun kaidah penulisan Huruf Arab Pegon. Huruf Arab Pegon ialah goresan pena Arab yang dipakai untuk goresan pena dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya goresan pena Melayu/Jawi yang dipakai untuk penulisan bahasa Melayu.
Mbah Kholil cukup usang mencar ilmu di beberapa pondok pesantren di Jawa dan Mekkah. Maka sewaktu pulang dari Mekkah, dia populer sebagai ahli/pakar nahwu, fiqh, tarekat dan ilmu-ilmu lainnya. Untuk berbagi pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, Mbah Kholil selanjutnya mendirikan pondok-pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya.
D. Syaikh Kholil Kembali ke Tanah Air dari Tanah Arab.
Sepulang dari Tanah Arab, Mbah Kholil dikenal sebagai spesialis fiqh dan tarekat. Bahkan pada hasilnya ia dikenal sebagai salah seorang Kyai yang sanggup memadukan kedua hal itu dengan serasi. Ia juga dikenal sebagai al-Hafidz (hafal al-Qur’an 30 Juz). Dari hari ke hari, banyak santri yang berdatangan dari desa-desa sekitarnya. Namun, sehabis putrinya, Siti Khatimah dinikahkan dengan keponakannya sendiri, yaitu Kyai Muntaha; pesantren di Desa Cengkubuan itu kemudian diserahkan kepada menantunya.
Mbah Kholil sendiri mendirikan pesantren lagi di kawasan Kademangan, hampir di sentra kota; sekitar 200 meter sebelah Barat alun-alun kota Kabupaten Bangkalan. Letak Pesantren yang gres itu, hanya selang 1 Kilometer dari Pesantren usang dan desa kelahirannya. Di tempat yang gres ini, Mbah Kholil juga cepat memperoleh santri lagi, bukan saja dari kawasan sekitar, tetapi juga dari Tanah Seberang Pulau Jawa. Santri pertama yang tiba dari Jawa tercatat berjulukan Hasyim Asy’ari, dari Jombang. Mbah Kholil wafat pada 29 Ramadhan 1343 H atau 1925 Masehi.