Fase Perkembangan Islam Di Indonesia
Thursday, April 23, 2020
Edit
Sebelum kedatangan Islam, bangsa Indonesia sudah menganut banyak sekali macam agama (Hindu dan Budha) dan kepercayaan, ibarat animisme (kepercayaan kepada roh-roh yang mendiami bendabenda ibarat pohon, batu, sungai, gunung) dan dinamisme (kepercayaan bahwa segala sesuatu memiliki tenaga atau kekuatan yang sanggup mensugesti keberhasilan atau kegagalan perjuangan insan dalam mempertahankan hidup), dan lain-lain. Kepercayaan ini sangat besar lengan berkuasa dan mengakar di hati masyarakat Indonesia.
A. Masa Kesultanan.
Di wilayah yang sedikit sekali tersentuh kebudayaan Hindu-Budha, ibarat di daerahdaerah Aceh dan Minangkabau di Sumatera, di Banten dan Jawa, fatwa Islam berhasil mensugesti kehidupan sosial dan politik para penganutnya sehingga di daerahdaerah tersebut agama Islam sanggup menampilkan diri dalam banyak sekali bentuk. Di kerajaan Banjar, dengan masuknya sang raja ke dalam agama Islam, perkembangan Islam menjadi semakin gampang alasannya ialah raja menunjangnya dengan kemudahan dan kemudahan-kemudahan lain, sampai membawa masyarakat Banjar kepada kehidupan yang benar-benar bersendikan Islam. Secara konkrit, kehidupan keagamaan di kerajaan Banjar ini diwujudkan dengan adanya mufti dan qadhi (hakim) atas jasa Muhammad Arsyad Al-Banjari yang andal dalam bidang fiqih dan tasawuf.
Di kerajaan ini, telah dilakukan pengkodifikasian hukum-hukum yang sepenuhnya berorientasi pada aturan Islam yang dinamakan Undang-Undang Sultan Adam. Dalam Undang-Undang ini timbul kesan bahwa kedudukan mufti ibarat dengan Mahkamah Agung kini yang bertugasmengontrol, bahkan berfungsi sebagai forum untuk naik banding dari mahkamah biasa. Termasuk di Jawa, guna memadukan penyebaran agama Islam di pulau Jawa, maka dilakukan banyak sekali upaya supaya Islam dan tradisi Jawa sanggup bersinergi satu dengan yang lainnya, serta dibangun masjid-masjid sebagai sentra pendidikan Islam.
Dengan adanya kelonggaran-kelonggaran dalam proses penyebaran Islam tersebut, para petinggi dan penguasa kerajaan semakin tertarik memeluk agama Islam. Bila penguasa memeluk agama Islam serta memasukkan syari’at Islam ke wilayah kerajaannya, maka rakyat pun akan serta merta turut masuk agama tersebut dan melakukan ajarannya. Begitu pula dengan kerajaan-kerajaan yang berada di bawah kekuasaannya. Sebagaimmana yang terjadi di kerajaan Mataram ketika dipimpin oleh Sultan Agung. Saat Sultan Agung memeluk fatwa Islam, kerajaan-kerajaan yang ada di bawah kekuasaan Mataram pun ikut pula masuk Islam.
B. Masa Penjajahan.
Ditengah proses transformasi sosial yang relatif tenang antara penyebar agama Islam dengan para penguasa dan masyarakat lokal, datanglah pedagang-pedagang Barat, yaitu Portugis, kemudian Spanyol, disusul Belanda dan Inggris. Tujuannya ialah menaklukkan kerajaan-kerajaan Islam Indonesia di sepanjang pesisir kepulauan Nusantara.
Pada mulanya mereka tiba ke Indonesia hanya untuk menjalin kekerabatan dagang alasannya ialah Indonesia kaya akan rempah-rempah, tetapi kemudian mereka ingin memonopoli perdagangan tersebut dan menjadi tuan bagi bangsa Indonesia. Dan semenjak kedatangan Snouck Hurgronje yang ditugasi menjadi penasehat urusan pribumi dan Arab, pemerintah Hindia-Belanda lebih berani menciptakan kebijakan mengenai duduk kasus Islam di Indonesia alasannya ialah Snouck memiliki pengalaman yang cukup panjang dalam penelitian lapangan di Negeri Arab, Jawa dan Aceh. Lalu ia mengemukakan gagasannya yang dikenal dengan politik Islam di Indonesia. Dengan politik itu ia membagi duduk kasus Islam dalam tiga kategori, yaitu:
• Bidang agama murni atau ibadah;
• Bidang sosial kemasyarakatan; dan
• Politik.
Terhadap bidang agama murni, pemerintah kolonial Belanda memperlihatkan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melakukan fatwa agamanya sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda.
Adapun dalam bidang sosial kemasyarakatan, pemerintah kolonial Belanda memanfaatkan susila kebiasaan yang berlaku di masyarakat sehingga pada waktu itu dicetuskanlah teori untuk membatasi pemberlakuan aturan Islam, yakni teori reseptie, yang maksudnya adalah: aturan Islam gres sanggup diberlakukan apabila tidak bertentangan dengan susila kebiasaan. Oleh alasannya ialah itu, terjadi kemandekan aturan Islam.
Sedangkan dalam bidang politik, pemerintah melarang keras orang Islam membahas aturan Islam baik dari al-Qur’an maupun as-Sunnah yang mengambarkan wacana politik kenegaraan atau ketatanegaraan.
C. Pergerakan dan Organisasi Islam.
Akibat dari “resep politik Islam” Snouck Hurgronje, menjelang permulaan kurun XX umat Islam Indonesia yang jumlahnya semakin bertambah menghadapi tiga macam perlakuan dari pemerintah Hindia Belanda, yaitu: politik devide et impera, politik penindasan dengan kekerasan dan politik menjinakan melalui asosiasi.
Namun fatwa Islam pada hakikatnya terlalu dinamis untuk sanggup dijinakkan begitu saja. Dengan pengalaman tersebut, orang Islam bangun memakai strategi baru, bukan dengan perlawanan fisik tetapi dengan membangun organisasi. Oleh alasannya ialah itu, masa terakhir kekuasaan Belanda di Indonesia ditandai dengan tumbuhnya kesadaran berpolitik bagi bangsa Indonesia, sebagai hasil perubahan-perubahan sosial dan ekonomi, efek dari pendidikan Barat, serta gagasan-gagasan aliran pembaruan Islam di Mesir.
Akibat dari situasi ini, timbul perkumpulan-perkumpulan politik gres dan pemikirpemikir politik yang sadar diri. Karena persatuan dalam organisasi Islam itu menurut ideologi Islam, yakni hanya orang Indonesia yang beragama Islam yang sanggup masuk dalam organisasi tersebut, maka para pejabat dan pemerintahan (pangreh praja) ditolak dari keanggotaan.
Persaingan antar organisasi dan partai-partai politik dikala itu menimbulkan putusnya kekerabatan antara pemimpin Islam, yaitu santri, dan para pengikut tradisi Jawa dan abangan. Di kalangan santri sendiri, dengan lahirnya gerakan pembaruan Islam di Mesir yang mengompromikan rasionalisme Barat dengan fundamentalisme Islam, telah menimbulkan perpecahan sehingga semenjak itu di kalangan kaum muslim terdapat dua kubu: para cendekiawan muslim yang berpendidikan Barat, dan para kiai serta ulama tradisional.
Selama pendudukan Jepang, pihak Jepang rupanya lebih memihak kepada kaum muslim dari pada kelompok nasionalis, alasannya ialah mereka berusaha memakai doktrin-doktrin agama untuk tujuan perang mereka. Ada tiga perangkat politik yang merupakan hasil bentukan pemerintah Jepang yang dianggap menguntungkan kaum muslim, yaitu:
a). Shumubu, yaitu Kantor Urusan Agama (KUA) yang menggantikan Kantor Urusan Pribumi pada zaman Belanda.
b). Masyumi, yakni abreviasi dari Majelis Syura Muslimin Indonesia menggantikan MIAI yang dibubarkan pada bulan Oktober 1943.
c). Hizbullah, semacam organisasi militer untuk pemuda-pemuda muslim NU yang dipimpin oleh Zainul Arifin.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan wacana fase perkembangan Islam di Indonesia. Sumber Buku SKI Kelas XII MA. Kementerian Agama Republik Indonesia, 2016. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
A. Masa Kesultanan.
Di wilayah yang sedikit sekali tersentuh kebudayaan Hindu-Budha, ibarat di daerahdaerah Aceh dan Minangkabau di Sumatera, di Banten dan Jawa, fatwa Islam berhasil mensugesti kehidupan sosial dan politik para penganutnya sehingga di daerahdaerah tersebut agama Islam sanggup menampilkan diri dalam banyak sekali bentuk. Di kerajaan Banjar, dengan masuknya sang raja ke dalam agama Islam, perkembangan Islam menjadi semakin gampang alasannya ialah raja menunjangnya dengan kemudahan dan kemudahan-kemudahan lain, sampai membawa masyarakat Banjar kepada kehidupan yang benar-benar bersendikan Islam. Secara konkrit, kehidupan keagamaan di kerajaan Banjar ini diwujudkan dengan adanya mufti dan qadhi (hakim) atas jasa Muhammad Arsyad Al-Banjari yang andal dalam bidang fiqih dan tasawuf.
Di kerajaan ini, telah dilakukan pengkodifikasian hukum-hukum yang sepenuhnya berorientasi pada aturan Islam yang dinamakan Undang-Undang Sultan Adam. Dalam Undang-Undang ini timbul kesan bahwa kedudukan mufti ibarat dengan Mahkamah Agung kini yang bertugasmengontrol, bahkan berfungsi sebagai forum untuk naik banding dari mahkamah biasa. Termasuk di Jawa, guna memadukan penyebaran agama Islam di pulau Jawa, maka dilakukan banyak sekali upaya supaya Islam dan tradisi Jawa sanggup bersinergi satu dengan yang lainnya, serta dibangun masjid-masjid sebagai sentra pendidikan Islam.
Dengan adanya kelonggaran-kelonggaran dalam proses penyebaran Islam tersebut, para petinggi dan penguasa kerajaan semakin tertarik memeluk agama Islam. Bila penguasa memeluk agama Islam serta memasukkan syari’at Islam ke wilayah kerajaannya, maka rakyat pun akan serta merta turut masuk agama tersebut dan melakukan ajarannya. Begitu pula dengan kerajaan-kerajaan yang berada di bawah kekuasaannya. Sebagaimmana yang terjadi di kerajaan Mataram ketika dipimpin oleh Sultan Agung. Saat Sultan Agung memeluk fatwa Islam, kerajaan-kerajaan yang ada di bawah kekuasaan Mataram pun ikut pula masuk Islam.
B. Masa Penjajahan.
Ditengah proses transformasi sosial yang relatif tenang antara penyebar agama Islam dengan para penguasa dan masyarakat lokal, datanglah pedagang-pedagang Barat, yaitu Portugis, kemudian Spanyol, disusul Belanda dan Inggris. Tujuannya ialah menaklukkan kerajaan-kerajaan Islam Indonesia di sepanjang pesisir kepulauan Nusantara.
Pada mulanya mereka tiba ke Indonesia hanya untuk menjalin kekerabatan dagang alasannya ialah Indonesia kaya akan rempah-rempah, tetapi kemudian mereka ingin memonopoli perdagangan tersebut dan menjadi tuan bagi bangsa Indonesia. Dan semenjak kedatangan Snouck Hurgronje yang ditugasi menjadi penasehat urusan pribumi dan Arab, pemerintah Hindia-Belanda lebih berani menciptakan kebijakan mengenai duduk kasus Islam di Indonesia alasannya ialah Snouck memiliki pengalaman yang cukup panjang dalam penelitian lapangan di Negeri Arab, Jawa dan Aceh. Lalu ia mengemukakan gagasannya yang dikenal dengan politik Islam di Indonesia. Dengan politik itu ia membagi duduk kasus Islam dalam tiga kategori, yaitu:
• Bidang agama murni atau ibadah;
• Bidang sosial kemasyarakatan; dan
• Politik.
Terhadap bidang agama murni, pemerintah kolonial Belanda memperlihatkan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melakukan fatwa agamanya sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda.
Adapun dalam bidang sosial kemasyarakatan, pemerintah kolonial Belanda memanfaatkan susila kebiasaan yang berlaku di masyarakat sehingga pada waktu itu dicetuskanlah teori untuk membatasi pemberlakuan aturan Islam, yakni teori reseptie, yang maksudnya adalah: aturan Islam gres sanggup diberlakukan apabila tidak bertentangan dengan susila kebiasaan. Oleh alasannya ialah itu, terjadi kemandekan aturan Islam.
Sedangkan dalam bidang politik, pemerintah melarang keras orang Islam membahas aturan Islam baik dari al-Qur’an maupun as-Sunnah yang mengambarkan wacana politik kenegaraan atau ketatanegaraan.
C. Pergerakan dan Organisasi Islam.
Akibat dari “resep politik Islam” Snouck Hurgronje, menjelang permulaan kurun XX umat Islam Indonesia yang jumlahnya semakin bertambah menghadapi tiga macam perlakuan dari pemerintah Hindia Belanda, yaitu: politik devide et impera, politik penindasan dengan kekerasan dan politik menjinakan melalui asosiasi.
Namun fatwa Islam pada hakikatnya terlalu dinamis untuk sanggup dijinakkan begitu saja. Dengan pengalaman tersebut, orang Islam bangun memakai strategi baru, bukan dengan perlawanan fisik tetapi dengan membangun organisasi. Oleh alasannya ialah itu, masa terakhir kekuasaan Belanda di Indonesia ditandai dengan tumbuhnya kesadaran berpolitik bagi bangsa Indonesia, sebagai hasil perubahan-perubahan sosial dan ekonomi, efek dari pendidikan Barat, serta gagasan-gagasan aliran pembaruan Islam di Mesir.
Akibat dari situasi ini, timbul perkumpulan-perkumpulan politik gres dan pemikirpemikir politik yang sadar diri. Karena persatuan dalam organisasi Islam itu menurut ideologi Islam, yakni hanya orang Indonesia yang beragama Islam yang sanggup masuk dalam organisasi tersebut, maka para pejabat dan pemerintahan (pangreh praja) ditolak dari keanggotaan.
Persaingan antar organisasi dan partai-partai politik dikala itu menimbulkan putusnya kekerabatan antara pemimpin Islam, yaitu santri, dan para pengikut tradisi Jawa dan abangan. Di kalangan santri sendiri, dengan lahirnya gerakan pembaruan Islam di Mesir yang mengompromikan rasionalisme Barat dengan fundamentalisme Islam, telah menimbulkan perpecahan sehingga semenjak itu di kalangan kaum muslim terdapat dua kubu: para cendekiawan muslim yang berpendidikan Barat, dan para kiai serta ulama tradisional.
Selama pendudukan Jepang, pihak Jepang rupanya lebih memihak kepada kaum muslim dari pada kelompok nasionalis, alasannya ialah mereka berusaha memakai doktrin-doktrin agama untuk tujuan perang mereka. Ada tiga perangkat politik yang merupakan hasil bentukan pemerintah Jepang yang dianggap menguntungkan kaum muslim, yaitu:
a). Shumubu, yaitu Kantor Urusan Agama (KUA) yang menggantikan Kantor Urusan Pribumi pada zaman Belanda.
b). Masyumi, yakni abreviasi dari Majelis Syura Muslimin Indonesia menggantikan MIAI yang dibubarkan pada bulan Oktober 1943.
c). Hizbullah, semacam organisasi militer untuk pemuda-pemuda muslim NU yang dipimpin oleh Zainul Arifin.