Sejarah Pendidikan Kh. Hasyim Asy’Ari Dari Kecil Hingga Berguru Ke Mekkah

Sebagaimana santri lain pada masanya, Hasyim Asy’ari telah mengenyam pendidikan pesantren semenjak kecil. Sebelum dia berumur 6 tahun, Kiai Utsman-lah yang mendidiknya. Pada tahun 1876, ketika berusia 6 tahun, Hasyim Asy’ari harus meninggalkan kakeknya tercinta untuk mengikuti kedua orang tuanya pindah ke Keras, sebuah desa kecil yang terletak di Selatan kota Jombang. Di desa Keras, Kiai Asy’ari diberi tanah oleh sang Kepala Desa, yang kemudian digunakannya untuk membangun rumah, masjid, dan pesantren.

Di sinilah Hasyim kecil dididik dasar-dasar ilmu agama secara lebih intensif oleh orang tuanya. Hasyim juga sanggup melihat secara pribadi bagaimana ayahnya membina dan mendidik para santrinya. Hasyim hidup menyatu bersama santri. Ia bisa menyelami kehidupan para santri yang penuh kesederhanaan dan kebersamaan. Semua itu mengatakan imbas yang sangat besar pada pertumbuhan jiwa dan pembentukan wataknya di kemudian hari.

Hingga usia 15 tahun, selain mempelajari dasar-dasar ke Islaman, dibawah didikan orang tuanya ia juga digembleng menghafal dan memahami al-Qur’an. Hasyim Asy’ari merupakan seorang santri yang cerdas, ia selalu menguasai apa pun yang diajarkan oleh sang ayah, serta selalu melaksanakan mothola’ah dengan membaca sendiri kitab-kitab yang bahkan belum pernah diajarkan oleh ayahnya. Karena alasan terakhir inilah, meski masih berusia 12 tahun ia bisa mengajar bahasa Arab dan pelajaran-pelajaran agama lainnya pada tingkat dasar terhadap para santri lain, yakni pada tahun 1883.

Hasyim Asy’ari kemudian menjadi santri yang gemar mengembara mencari ilmu pengetahuan semenjak ia berusia 15 tahun. Dia mengunjungi tidak kurang dari 5 pesantren di Jawa. Situasi menyerupai ini semakin membawanya pada kehausan intelektual hingga ia kemudian menyeberangi lautan menuju pulau Madura. Di pulau inilah, Hasyim Asy’ari bertemu dengan salah seorang guru pentingnya, Kiai Khalil Bangkalan (1819-1925).

Upaya Hasyim Asy’ari selalu berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lain didasarkan atas semangat dan hasratnya untuk memperoleh disiplin ilmu yang berbeda dari pesantren-pesantren yang pernah dikunjunginya, sebab umumnya setiap pesantren pada masa itu mempunyai spesialisasi yang berbeda-beda. Pesantren Termas di Pacitan Jawa Timur misalnya, dikenal sebagai pesantren yang mempunyai spesialisasi ilmu ‘alat (struktur dan tata bahasa serta literatur Arab, dan logika). Sementara pesantren Jampes di Kediri, dikenal luas sebagai pesantren tasawuf.

Pada tahun 1891, setelah selesai menimba ilmu dari Kiai Khalil Bangkalan, Hasyim Asy’ari tiba di pesantren Siwalan, Sidoarjo. Pesantren yang tidak begitu jauh dengan Surabaya ini diasuh oleh Kiai Ya’qub Siwalan, seorang ulama yang dikenal mempunyai pandangan luas dan jago dalam ilmu agama. Sang Kiai sangat terkesan dengan kecerdasan Hasyim Asy’ari, hingga ia mengatakan anaknya, Nafisah, kepada Hasyim Asy’ari yang ketika itu masih berusia 21 tahun untuk kemudian dinikahinya pada tahun 1892.

Model ijab kabul semacam ini sangat biasa terjadi dalam tradisi pesantren, terhadap seorang santri yang sangat bisa diperlukan bisa mengangkat kualitas pesantren di masa depan. Di samping itu, ijab kabul ini mengandung arti bahwa ikatan dari kedua pesantren akan menjadi lebih kuat, sebab korelasi yang dibangun tidak hanya atas dasar elemen keagamaan saja, tetapi melalui ikatan keluarga atau pernikahan. Lebih dari itu, keluarga dipandang sebagai sumber kemajuan, kesejahteraan, dan kekuatan kultur santri. Pernikahan keluarga kiai serta fokus keislaman dari ikatan ini telah membentuk belahan tersendiri dari budaya pesantren. Karena sebagian besar para kiai di Jawa saling mempunyai korelasi ini, maka ikatan ijab kabul bisa juga berarti upaya menjaga kalangan elit religius Jawa (kiai).

Namun, sifat utama dan misi dari para kiai yang harus diperhatikan secara mendalam yakni tugasnya menyeru masyarakat untuk mengikuti prinsip-prinsip Islam dan menunaikan ibadah dengan penuh ketaatan. Tugas keagamaan ini akan menjelaskan motivasi dari inter-marriage (antar-perkawinan) ini secara lebih baik. Dan hal ini tentunya akan memperlihatkan perspektif yang lebih baik dan akurat sebab kehidupan pesantren berarti kehidupan religius 24 jam sehari.

Pada tahun 1892, Hasyim Asy’ari bersama isteri, Nafisah, dan ayah mertuanya pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus menimba ilmu di sana. Namun, sesudah menetap selama 7 bulan di Makkah ia memperoleh pengalaman yang cukup pahit, sebab Nafisah, sang isteri yang menyertainya dan anaknya, Abdullah, yang lahir di Makkah dan berusia masih sangat kecil, meninggal dunia. Meski diterpa kesedihan yang mendalam, dahaga Hasyim Asy’ari untuk menimba ilmu pengetahuan di tanah suci tidak surut, ia berusaha mendapatkan situasi tersebut dengan lapang dada sebagai suatu ujian dari Allah Swt. Dia yakin bahwa jikalau ia sanggup lapang dada dan tabah menghadapi ujian tersebut maka Allah Swt akan memberinya kehidupan yang lebih baik, baik di dunia maupun di darul abadi kelak sebagaimana telah ditunjukkan di dalam al-Qur’an. Dalam suasana sedih tersebut, Hasyim Asy’ari berusaha menghibur diri dengan mengunjungi tempat-tempat suci, khususnya Baitullah. Beberapa bulan kemudian, ia kemudian mengantarkan ayah mertuanya kembali ke tanah air, sekaligus untuk mengunjungi keluarganya di Jawa.

Pada tahun 1893, Hasyim Asy’ari kembali lagi ke Makkah, kali ini bersama adik kandungnya, Anis, dan menetap di sana selama kurang lebih 6 tahun. Namun, Allah Swt rupanya masih ingin menguji kesabarannya sebab tidak usang sesudah tiba di Makkah, Anis pun meninggal dunia. Musibah ini pun tidak lantas menciptakan Hasyim Asy’ari terus menerus hanyut dalam kesedihan. Ia justeru mencurahkan seluruh waktunya untuk berguru dan semakin mendekatkan diri kepada Allah Swt. Di tengah-tengah kesibukannya menuntut ilmu, ia menyempatkan diri berziarah ke tempat-tempat yang dianggap mustajab menyerupai Padang Arafah, Gua Hira’, Maqam Ibrahim, termasuk ke makam Rasulullah Saw. Setiap Sabtu pagi ia berangkat menuju Gua Hira’ di Jabal Nur, yang terletak kurang lebih 10 km di luar Kota Makkah, untuk mempelajari dan menghafalkan hadis hadis Nabi.

Setiap kali berangkat menuju Goa Hira’, ia selalu membawa al-Qur’an dan kitab-kitab yang ingin dipelajarinya. Ia juga tak lupa membawa perbekalan masakan untuk bekal selama enam hari di sana. Ketika hari Jum’at tiba, ia bergegas turun menuju Kota Makkah guna menunaikan shalat Jum’at di sana. Selain itu, ia juga rajin menemui ulama-ulama besar untuk berguru dan mengambil berkah dari mereka.

Di Makkah, Hasyim Asy’ari mendalami ilmu fiqh, ilmu hadits, tauhid, tafsir, tasawuf, dan ‘ilm alat (struktur dan tata bahasa serta literatur Arab, dan logika), dan lain-lain. Dari semua bidang ilmu tersebut, Hasyim Asy’ari sepertinya lebih tertarik mendalami ilmu hadits, khususnya kumpulan hadits Bukhari dan Muslim. Hal ini cukup beralasan, sebab sebagian besar santri telah mempelajari ilmu fiqih dengan baik di pesantren-pesantren Jawa. Oleh karenanya, sementara di Makkah mereka merasa perlu memanfaatkan banyak waktu untuk mendalami ilmu hadits di samping al-Qur’an dan tafsirnya, sehingga dengan begitu mereka bisa menyempurnakan pemahaman mereka perihal fiqih. Latar belakang pendidikan pesantren yang pernah dilalui oleh Hasyim Asy’ari ketika di Jawa di masa-masa sebelumnya yang cukup kuat, menjadikannya sangat gampang untuk berpartisipasi aktif dalam aktifitas intelektual di Hijaz.

Pada tahun ketujuh semenjak Hasyim Asy’ari menetap di Makkah—tepatnya pada tahun 1899 (1315 H)—datang rombongan jamaah haji dari Indonesia. Di antara rombongan itu terdapat Kiai Romli dari desa Karangkates Kediri, Jawa Timur, beserta seorang puterinya, Khadijah. Kiai Romli yang sangat bersimpati kepada Hasyim Asy’ari berencana menjadikannya sebagai menantu untuk dijodohkan dengan puterinya, Khadijah. Setelah ijab kabul yang berlangsung di tanah suci itu, Hasyim Asy’ari bersama isterinya kembali ke tanah air. Pada awalnya, ia tinggal di Kediri selama beberapa bulan. Menurut sumber lainnya, ia pribadi menuju pesantren Gedang yang diasuh kakeknya, Kiai Usman, kemudian sesudah itu ia membantu ayahnya, Kiai Asy’ari, mengajar di pesantren Keras.

Sejarah panjang pendidikan yang ditempuh oleh Hasyim Asy’ari semasa hidupnya sebagaimana dipaparkan di atas, secara garis besar sanggup dipilah ke dalam 2 fase, yakni: fase pendidikan di pesantren-pesantren Jawa dan fase pendidikan di tanah suci Makkah.

Fase pendidikan Hasyim Asy’ari di pesantren-pesantren Jawa dimulainya semenjak ia berusia 15 tahun, yakni pada tahun 1886, hingga tahun 1891. Dalam kurun waktu sekitar 6 tahun tersebut ia menimba ilmu pengetahuan di beberapa pesantren termasyhur di Jawa ketika itu, menyerupai pesantren Wonorejo di Jombang, pesantren Wonokoyo di Probolinggo, pesantren Langitan di Tuban, pesantren Trenggilis di Semarang (dibawah asuhan Kiai Saleh Darat as-Samarani (1820-1903), yang juga merupakan guru dari Syaikh Mahfudz at-Tarmisi (1868-1919), guru Hasyim Asy’ari ketika berguru di Makkah, dan KH. Ahmad Dahlan (1868-1923), pendiri Muhammadiyah), pesantren Bangkalan di Madura di bawah asuhan Kiai Khalil, dan pesantren Siwalan di Sidoarjo, asuhan Kiai Ya’qub.

Kemudian pada fase berikutnya, yaitu ketika ia menimba ilmu pengetahuan di Makkah semenjak tahun 1893 hingga tahun 1899, ia berguru kepada ulama-ulama besar menyerupai Syaikh Mahfudz at-Tirmisi (1868-1919), Syaikh Nawawi al-Bantani (1813-1897), Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau (w. 1915), Syaikh Abdul Hamid ad-Durustani, Syaikh Muhammad Syu’aib al-Maghribi, Syaikh Ahmad Amin al-Athar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said al-Yamani, Syaikh Rahmatullah, dan Syaikh Bafadlal. Selain itu, sejumlah Sayyid juga pernah menjadi gurunya, antara lain Sayyid Abbas al-Maliki, Sayyid Sulthan Hasyim ad-Daghistani, Sayyid Abdullah az-Zawawi, Sayyid Ahmad bin Hasan al-‘Atthas, Sayyid Alwi as-Segaf, Sayyid Abu Bakar Syatha ad-Dimyathi, dan Sayyid Husain al-Habsyi yang ketika itu menjadi mufti di Makkah.

Pada ketika tinggal di Makkah, dilaporkan bahwa semenjak tahun 1896 Hasyim Asy’ari juga dipercaya untuk mengajar di Masjidil Haram bersama tujuh ulama asal Indonesia lainnya, menyerupai Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Selama di Makkah, dia mempunyai banyak murid yang berasal dari banyak sekali negara, di antaranya Syekh Sa’dullah al-Maimani (mufti di Bombay, India), Syekh Umar Hamdan (ahli hadis di Makkah), Al-Syihab Ahmad ibn Abdullah (Syiria), Kiai Abdul Wahab Hasbullah (Tambak beras, Jombang), Kiai Asnawi (Kudus), Kiai Dahlan (Kudus), Kiai Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang), dan Kiai Shaleh (Tayu).

Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan perihal sejarah pendidikan KH. Hasyim Asy’ari dari kecil hingga ke Mekkah. Sumber Buku SKI Kelas XII MA. Kementerian Agama Republik Indonesia, 2016. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel