Hubungan Zakat Dan Wakaf
Wednesday, April 15, 2020
Edit
Pengertian wakaf adalah menahan harta yang sanggup diambil manfaaatnya dengan tetap kekalnya zat harta itu sendiri dan memanfaatkan kegunaannya di jalan kebaikan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah swt. Wakaf adalah amalan sunah, berbeda dengan zakat yang wajib hukumnya. Harta wakaf dijalankan dengan suka rela tetapi zakat harus dipaksa bagi orang yang enggan dan malas-malasan. Dalam kitab Kifayah al-Akhyar diterangkan sebagai berikut; “Definisi wakaf berdasarkan syara’ yaitu menahan harta-benda yang memungkinkan untuk mengambil manfaatnya beserta kekalnya zat harta-benda itu sendiri, tidak boleh untuk mentasaharrufkan zatnya. Sedang mentasharrufkan kemanfaatannya itu dalam hal kebaikan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah swt”
Berbeda dengan harta zakat yang benda fisiknya sanggup dipakai sesuai cita-cita mustahiq yang sudah mendapatkannya. Harta wakaf hanya sanggup dimanfaatkan sesuai instruksi dan pengarahan dari waqif atau pemberi harta wakaf. Jelas beda sekali dengan zakat maupun pajak. Dengan berkembangkan zaman, muncul kasus baru, yaitu ihwal seseorang yang mewakafkan uangnya. Dalam kasus wakaf uang ini, para ulama berbeda pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa wakaf uang (waqf al-nuqud) secara mutlak tidak diperbolehkan. Seseorang harus mewakafkan selain uang, khususnya benda-benda yang fisiknya tidak berubah. Rujukan ihwal dilarangnya wakaf uang ini yaitu sebagai berikut: “Adapun wakaf sesuatu yang tidak sanggup diambil manfaatnya kecuali dengan melenyapkannya ibarat emas, perak, makanan, dan minuman maka tidak boleh berdasarkan lebih banyak didominasi fukaha. Yang dimaksud dengan emas dan perak yaitu dinar dan dirham dan yang bukan dijadikan perhiasan”.
Mewakafkan sesuatu yang benda fisiknya sanggup rusak atau lenyap sebab dipakai maka hukumnya tidak boleh. Ulama kelompok ini menganjurkan supaya wakaf hanya dilakukan dengan menawarkan benda yang fisiknya tidak berubah tetapi manfaatnya sanggup diambil. Berbeda halnya dengan golongan ulama kedua, mereka ini menyatakan bahwa wakaf uang tetap diperbolehkan. Ibnu Syihab al-Zuhri juga memperbolehkan wakaf dinar sebagaimana dinukil al- Bukhari. Telah dinisbatkan pendapat yang mensahkan wakaf dinar kepada Ibnu Syihab al-Zuhri dalam riwayat yang telah dinukil Imam Muhammad bin Isma’il al-Bukhari dalam kitab Shahihnya. Ia berkata, Ibnu Syihab al-Zuhri berkata mengenai seseorang yang menyebabkan seribu dinar di jalan Allah (mewakafkan). Ia pun menawarkan uang tersebut kepada budak laki-lakinya yang menjadi pedagang. Maka si budak pun mengelola uang tersebut untuk berdagang dan menyebabkan manfaatnya sebagai sedekah kepada orang-orang miskin dan kerabat dekatnya. Lantas, apakah lelaki tersebut boleh memakan dari laba seribu dinar tersebut bila ia tidak menyebabkan manfaatnya sebagai sedekah kepada orang-orang miksin? Ibnu Syihab al-Zuhri berkata, ia tidak boleh memakan laba dari seribu dinar tersebut,”
Para ulama kontemporer pun mulai berpikir kreatif. Dengan berpijak pada pendapat Ibnu Syihab al-Zuhri, solusi untuk mendapatkan wakaf uang yaitu dengan menjadikannya sebagai modal usaha. Modal perjuangan sanggup ditumbuh kembangkan, dimana modalnya tetap tidak berkurang, tetapi manfaatnya sanggup bertambah. Keuntungan di sini sanggup dipakai untuk tujuan bersama.
Untuk itulah, seseorang yang sudah mengeluarkan harta wakaf tidak sanggup dianggap telah mengeluarkan zakat dari hartanya. Sebab, harta zakat boleh dipakai hingga habis oleh penerimanya. Sedangkan harta wakaf tidak boleh dihabiskan oleh penerimanya. Si peserta hanya boleh mengambil manfaat dari harta wakaf tanpa boleh merusak bentuk fisiknya.