Kisah Sahabat Nabi | Kecerdasan Sahabat Ali Bin Abi Thalib Ra Dalam Tetapkan Perkara

‘Ali bin Abi Thalib  (lahir sekitar 13 Rajab 23 Pra Hijriah/599 Masehi – wafat 21 bulan pahala 40 Hijriah/661 Masehi), yaitu salah seorang pemeluk Islam pertama dan juga keluarga dari Nabi Muhammad Saw. Ali yaitu sepupu dan sekaligus mantu Nabi Muhammad Saw, sesudah menikah dengan Fatimah az-Zahra. Ia pernah menjabat sebagai salah seorang khalifah pada tahun 656 hingga 661.

Ali dilahirkan dari ibu yang berjulukan Fatimah binti Asad, di mana Asad merupakan anak dari Hasyim, sehingga mengakibatkan Ali, merupakan keturunan Hasyim dari sisi bapak dan ibu.

Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi nabi Saw lantaran dia tidak punya anak laki-laki. Uzur dan faqir nya keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi nabi Saw bersama istri dia Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh nabi semenjak dia kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali sudah bersama dengan Muhammad.

Beliau yaitu salah satu –selain Abu Bakar,Umar,dan Usman- diantara 10 sahabat yang dijamin masuk nirwana sebagaimana sabada rasulullah Saw. lulusan terbaik dari madrasah Nubuwwah, yang dididik semenjak kecil oleh Rasulullah Saw. Diantara keistimewaan belaiu yaitu Allah menganugerahkan kecerdasan di atas rata-rata,sampai-sampai Rasulullah bersabda “aku yaitu kotanya ilmu,sedangkam Ali yaitu pintunya”.

Di antara Kisahnya yaitu Perselisihan Beberapa Sahabat perihal Ilmu Berhitung.
Dua orang sehabat melaksanakan perjalanan bersama. Disuatu tempat, mereka berhenti  untuk makan siang. Sambil duduk, mulailah masing-masing membuka bekalnya. Orang yang pertama membawa tiga potong roti, sedang orang yang kedua membawa lima potong roti.Ketika keduanya telah siap untuk makan, tiba-tiba tiba seorang musafir yang gres tiba ini pun duduk bersama mereka.

“Mari, silahkan, kita sedang berkemas-kemas untuk makan siang,”kata salah seorang dari dua orang tadi.“Aduh…saya tidak membawa bekal,” jawab musafir itu.

Maka mulailah mereka bertiga menyantap roti bersama-sama. Selesai makan, musafir tadi meletakkan uang delapan dirham di hadapan dua orang tersebut seraya berkata: “Biarkan uang ini sebagai pengganti roti yang saya makan tadi.”

Belum lagi mendapat balasan dari pemilik roti itu, si musafir telah minta diri untuk melanjutkan perjalanannya lebih dahulu.

Sepeninggal si musafir, dua orang sahabat itu pun mulai akan membagi uang yang diberikan.

“Baiklah, uang ini kita bagi saja,” kata si empunya lima roti. “Aku setuju,”jawab sahabatnya yang punya tiga roti.

“Karena saya membawa lima roti, maka saya mendapat lima dirham, sedang bagianmu yaitu tiga dirham." kata yang punya roti lima.

“Ah, mana sanggup begitu. Karena dia tidak meninggalkan pesan apa-apa, maka kita bagi sama, masing-masing empat dirham.” jawab yang punya tiga roti.

“Itu tidak adil. Aku membawa roti lebih banyak, maka saya mendapat potongan lebih banyak” . jawab yang punya lima roti.

Alhasil, kedua orang itu saling berbantah. Mereka tidak berhasil mencapai komitmen perihal pembagian tersebut. Maka, mereka bermaksud menghadap sahabat Ali bin Abi Thalib r.a. untuk meminta pendapat. Di hadapan Imam Ali, keduanya bercerita perihal problem yang mereka hadapi. Imam Ali mendengarkannya dengan seksama.

Setelah orang itu simpulan berbicara, Imam Ali kemudian berkata kepada orang yang memiliki tiga roti: “Terima sajalah santunan sahabatmu yang tiga dirham itu!”  “Tidak! Aku tak mau menerimanya. Aku ingin mendapat penyelesaian yang seadil-adilnya, “Jawab orang itu.

“Kalau engkau bermaksud membaginya secara benar, maka bagianmu hanya satu dirham!” kata Imam Ali lagi. “Hah…? Bagaimana engkau ini, kiranya.

"Sahabatku ini akan memperlihatkan tiga dirham dan saya menolaknya. Tetapi sekarang engkau berkata bahwa hak-ku hanya satu dirham?” “Bukankah engkau menginginkan penyelesaian yang adil dan benar? ,kalau begitu, bagianmu yaitu satu dirham!”. “Bagaimana sanggup begitu?” Orang itu bertanya.

Imam Ali menggeser duduknya. Sejenak kemudian ia berkata:”Mari kita lihat. Engkau membawa tiga potong roti dan sahabatmu ini membawa lima potong roti.” 

“Benar.”jawab keduanya.

Kemudian Ali berkata,“Kalian makan roti bertiga, dengan si musafir.” dan mereka menjawab ‘Benar”.

Selanjutnya Imam Ali bertanya,“Adakah kalian tahu, siapa yang makan lebih banyak?”. “Tidak.” jawab keduanya. “Kalau begitu, kita anggap bahwa setiap orang makan dalam jumlah yang sama banyak”. Kata Imam Ali. “Setuju, “jawab keduanya serempak.

“Roti kalian yang delapan potong itu, masing-masingnya kita bagi menjadi tiga bagian. Dengan demikian, kita memiliki dua puluh empat potong roti, bukan?” tanya Imam Ali.  “Benar,” jawab keduanya.

“Masing-masing dari kalian makan sama banyak, sehingga setiap orang berarti telah makan sebanyak delapan potong, lantaran kalian bertiga.”  “Benar.” jawab keduanya.

“Nah… orang yang membawa lima roti, telah dipotong menjadi tiga potongan memiliki lima belas potong roti, sedang yang membawa tiga roti berarti memiliki sembilan potong sesudah dibagi menjadi tiga bagian, bukankah begitu?” Tanya imam Ali. “Benar" jawab keduanya, lagi-lagi dengan serempak.

Lalu Imam Ali berkata, “Si empunya lima belas potong roti makan untuk dirinya delapan roti, sehingga ia memiliki sisa tujuh potong lagi dan itu dimakan oleh musafir yang belakangan. Sedang si empunya sembilan potong roti, maka delapan potong untuk dirinya, sedang yang satu potong di makan oleh musafir tersebut. Dengan begitu, si musafir pun sempurna makan delapan potong roti sebagaimana kalian berdua, bukan?”

Kedua orang yang dari tadi menyimak keterangan Imam Ali, tampak sedang mencerna ucapan Imam Ali tersebut. Sejenak kemudian mereka berkata:”Benar, kami mengerti.”  “Nah, uang yang diberikan oleh di musafir yaitu delapan dirham, berarti tujuh dirham untuk si empunya lima roti alasannya yaitu si musafir makan tujuh potong roti miliknya, dan satu dirham untuk si empunya tiga roti, alasannya yaitu si musafir hanya makan satu potong roti dari milik orang itu” “Alhamdulillah…Allahu Akbar,” kedua orang itu berucap hampir bersamaan. Mereka sangat mengagumi cara Imam Ali menuntaskan problem tersebut, sekaligus mengagumi dan mengakui keluasan ilmunya.

“Demi Allah, sekarang saya puas dan rela. Aku tidak akan mengambil lebih dari hak-ku, yakni satu dirham,” kata orang yang mengadukan hal tersebut, yakni si empunya tiga roti.  Kedua orang yang mengadu itu pun sama-sama merasa puas. Mereka berbahagia, lantaran mereka berhasil mendapatkan pemecahan secara benar, dan mendapat komplemen ilmu yang sangat berharga dari Imam Ali bin Abi Thalib as.

Demikianlah kecerdasan Ali,meski demikian, dia yaitu orang yang memiliki rasa tawadlu’ yang tinggi. Beliau pernah berucap :

أَناَ خَادِمُ مَنْ عَلَّمَنِيْ وَلَوْ حَرْفًا    

Artinya: “aku (berkenan) menjadi pelayan pada orang yang mengajarku walaupun hanya satu huruf”.

Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan perihal kecerdasan sahabat Ali bin Abi Thalib Ra dalam tetapkan perkara. Terima kasih atas kunjungannya. Kunjungilah Selalu   www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat.Sumber buku Akidah Akhlak Kelas IX MTS

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel