Sifat-Sifat Dewa Berdasarkan Pedoman Kalam (Mu’Tazilah, Asy'ariyah, Maturidiyah Dan Syi’Ah Rafidhah)


Pembahasan ilmu kalam yang mencakup wujudnya tuhan, sifat-sifat yang ada padaNya dan sifat-sifat yang mungkin ada padanya, perbuatan tuhan, kekuasaan dan kehendak tuhan, serta pembahasan kalamullah. Pembahasan dalam ilmu kalam ini menjadikan perdebatan diantara aliran-aliran kalam. Masing-masing berkeyakinan bahwa paham dan pendapatnya sanggup menyucikan dan memelihara keesaan Allah Swt, meningkatkan kepercayaan keagamaan dengan bukti-bukti dan dasar-dasar yang meyakinkan atau kuat.

Perbedaan paham antar pedoman kalam mengenai sifat-sifat yang kuasa tidak terbatas hanya pada problem apakah yang kuasa mempunyai sifat atau tidak. perbedaan paham antar pedoman tersebut hingga kepada perdebatan pada persoalan-persoalan cabang sifat-sifat Allah Swt, menyerupai melihat yang kuasa dan esensi al-Qur’an.

a. Sifat-sifat Tuhan Menurut Aliran Mu’tazilah.

Aliran mu’tazilah beropini bahwa yang kuasa itu esa dan tidak mempunyai sifat-sifat. Mu’tazilah melihat bahwa apa yang dimaksud sifat berdasarkan golongan lain yaitu zat Allah Swt sendiri. Apa yang dipandang sifat dalam pendapat golongan lain, bagi mu’tazillah tidak lain yaitu zat Allah Swt sendiri.

Aliran mu’tazilah memandang dirinya sebagai pedoman ahlut tauhid wal ‘adil dengan menafikan sifat-sifat tuhan, tujuannya yaitu untuk menyucikan keesaan tuhan. Golongan mu’tazilah mencoba menuntaskan problem ini dengan menyampaikan bahwa yang kuasa tidak mempunyai sifat. Definisi mereka wacana tuhan, sebagaimana dijelaskan oleh al-Asy’ari, bersifat negatif. Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, tidak mempunyai kekuasaan, tidak mempunyai hajat dan sebagainya. Ini tidak berarti bahwa yang kuasa bagi mereka tidak mengetahui, tidak berkuasa, tidak hidup dan sebagainya. Tuhan tetap mengetahui, berkuasa,dan sebagainya, tetapi mengetahui, berkuasa, dan sebagainya tersebut bukanlah sifat dalam arti kata sebenarnya. Artinya yang kuasa mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan itu yaitu yang kuasa itu sendiri.

Washil bin Atha’ menegaskan bahwa siapa saja yang memutuskan adanya sifat qadim bagi Allah Swt, ia telah memutuskan adanya dua tuhan. Mu’tazilah beropini bahwa yang kuasa tidak mempunyai sifat, lantaran apabila yang kuasa mempunyai sifat, sifat tersebut harus awet menyerupai halnya zat tuhan. Jika sifat-sifat itu kekal, maka yang awet bukan hanya satu tetapi banyak. Tegasnya, kekalnya sifat-sifat membawa pada pemahaman banyak yang kekal. Selanjutnya paham ini akan membawa kepada paham politheisme atau syirik.

Aliran mu’tazilah menawarkan daya yang besar kepada nalar beropini bahwa yang kuasa tidak sanggup mempunyai sifat-sifat jasmani. Mereka mentakwilkan ayat-ayat yang menawarkan kesan bahwa yang kuasa bersifat jasmani secara metaforis. Dengan kata lain, ayatayat al-Qur’an yang menggambarkan yang kuasa bersifat jasmani ditakwil dengan pengertian yang layak bagi kebesaran dan keagungan Allah. Misalnya, kata istawa dalam surah Thaha ayat lima ditakwil dengan al-Istila wa al-Ghalabah (menguasai dan mengalahkan), kata ini dalam surah Thaha ayat 39 ditakwilkan dengan ilmi (pengetahuanKu), kata wajhah dalam surah al-Qashash ayat 88 ditakwilkan dengan zatuhu ayy nafsuhu (zatNya, yakni diriNya), kata yadd dalam surah Shad ayat 75 ditakwilkan dengan al quwwah (kekuatan).

Mu’tazilah beropini bahwa yang kuasa lantaran bersifat immateri, tidak sanggup dilihat oleh mata kepala. Karena, pertama yang kuasa tidak mengambil kawasan sehingga tidak sanggup dilihat, kedua bila yang kuasa sanggup dilihat dengan mata kepala, berarti yang kuasa sanggup dilihat kini di dunia, padahal kenyataannya tidak ada seorangpun yang sanggup melihat yang kuasa di alam ini. Ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan sandaran dalam mendukung pendapat di atas adalah;

QS. al-An’am (6) ayat 103:

لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ ۖ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

Artinya: "Dia tidak sanggup dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia sanggup melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang maha halus lagi maha mengetahui."(QS. al-An’am :103)

QS. al-Qiyamah (75) ayat 23:

إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ

Artinya: "Kepada tuhannyalah mereka melihat." (QS. al-Qiyamah : 23)

QS. al-Kahfi (18) ayat 110:

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Artinya: "Katakanlah: Sesungguhnya saya ini insan biasa menyerupai kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya yang kuasa kau itu yaitu yang kuasa yang esa”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada tuhannya." (QS. al-Kahfi : 110)

Tokoh-tokoh pedoman mu’tazilah menawarkan pandangan sendiri-sendiri mengenai sifat-sifat tuhan:

a. An–Nazhzham mendefikan pengetahuan, kekuasaan, pendengaran, melihat dan qadim dengan dirinya sendiri, bukan dengan kekuasaan, perkehidupan, penglihatan dan keqadiman. Demikian pula dengan sifat-sifat Allah Swt yang lain. Lebih lanjut An– Nazhzham menawarkan pendapat bahwa kalau ditetapkan bahwa Allah Swt itu yaitu zat yang tahu, berkuasa, hidup, mendengar, melihat, dan qadim yang ditetapkan sebetulnya yaitu zatNya (bukan sifatNya).

b. Menurut Abu al-Huzail esensi pengetahuan Allah Swt yaitu Allah Swt sendiri. Demikian pula kekuasaan, pendengaran, penglihatan, dan kebijaksanaan, dan sifat-sifat yang lain. Ia berkata saya nyatakan Allah Swt bersifat tahu, artinya saya nyatakan bahwa padaNya terdapat pengetahuan dan pengetahuan itu yaitu zatNya.

c. Arti yang kuasa mengetahui dengan esensinya kata al-Jubba’i, ialah untuk mengetahui, yang kuasa tidak berhajat kepada suatu sifat dalam bentuk pengetahuan atau keadaan mengetahui.

d. Abu Hasyim beropini bahwa arti yang kuasa mengetahui melalui esensinya, ialah yang kuasa mempunyai keadaan mengetahui.

b. Sifat-sifat Allah Menurut Aliran Asy'ariyah.

Menurut pedoman Asy'ariyah, yang kuasa mempunyai sifat lantaran perbuatan-perbuatannya. Mereka juga menyampaikan bahwa yang kuasa mengetahui, berkuasa, menghendaki dan sebagainya serta mempunyai pengetahuan, kemauan dan daya. Asy'ariyah beropini bahwa sifat-sifat yang kuasa itu tidak sanggup dibandingkan dengan sifat-sifat manusia. Pendapat Asy'ariyah ini berlawanan dengan paham mu’tazilah yang menyatakan bahwatuhan tidak mempunyai sifat.

Asy'ariyah memberi daya yang kecil pada nalar dan menolak paham yang kuasa mempunyai sifat-sifat jasmani, kalau sifat jasmani dianggap sama dengan sifat manusia. Ayat-ayat al-Qur’an yang menggambarkan yang kuasa mempunyai sifat jasmani, dihentikan ditakwilkan tetapi harus diterima sebagaimana makna harfiahnya. Oleh lantaran itu, yang kuasa dalam pandangan Asy'ariyah mempunyai mata, wajah, tangan serta bersemayam di singgasana. Tetapi, semua dikatakan la yukayyaf wa la yuhadd (tanpa diketahui bagaimana cara dan batasnya).

Asy’ari beropini bahwa yang kuasa sanggup dilihat dengan mata kepala kelak di akhirat. Hal ini didasarkan pada pendapat keyakinan asy’ari yang menjelaskan bahwa sesuatu yang sanggup dilihat yaitu sesuatu yang mempunyai wujud. Karena yang kuasa mempunyai wujud, yang kuasa sanggup dilihat, lebih jauh dikatakan yang kuasa melihat apa yang ada. Dengan demikian, yang kuasa melihat diriNya juga. Jika yang kuasa melihat diriNya, tentu yang kuasa sanggup menciptakan insan mempunyai kemampuan melihat diriNya. Ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan sandaran dalam menopang pendapatnya adalah;

QS. al-Qiyamah (75) ayat 22-23:

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ . إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ

Artinya: "Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. kepada tuhannyalah mereka melihat." (QS. al-Qiyamah : 22-23)

QS. al-A’raaf (7) ayat 143:

وَلَمَّا جَاءَ مُوسَىٰ لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ ۚ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَٰكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي ۚ فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقًا ۚ فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ

Artinya: "Dan tatkala Musa tiba untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan yang kuasa telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: 'Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku semoga saya sanggup melihat kepada Engkau'. Tuhan berfirman: 'Kamu sekali-kali tidak sanggup melihatKu, tapi lihatlahke bukit itu, maka kalau ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) pasti kau sanggup melihatKu'. Tatkala tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka sehabis Musa sadar kembali, beliau berkata: 'Maha suci Engkau, saya bertaubat kepada Engkau dan saya orang yang pertama-tama beriman'." (QS. al-A’raaf : 143)

QS. Yunus (10) ayat 26:

لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَىٰ وَزِيَادَةٌ ۖ وَلَا يَرْهَقُ وُجُوهَهُمْ قَتَرٌ وَلَا ذِلَّةٌ ۚ أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

Artinya: "Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. dan muka mereka tidak ditutupi bubuk hitam dan tidak (pula) kehinaan. mereka itulah penghuni surga, mereka awet di dalamnya." (QS. Yunus : 26)

c. Sifat-sifat Allah Menurut Aliran Maturidiyah.

Pendapat pedoman Maturidiyah mengenai sifat yang kuasa sama dengan pendapat Asy'ariyah yang menyatakan bahwa yang kuasa mempunyai sifat. Maturidiyah beropini bahwa sifatsifat yang kuasa itu mulazamah (ada bersama; inhern) zat tanpa terpisah (innaha lam takun ain al-zat wa la hiya ghairuhu). Maturidiyah memutuskan sifat bagi Allah Swt tidak harus membawa kepada pengertian anthropomorphisme, lantaran sifat tidak berwujud yang terpisah dari zat, sehingga berbilang sifat tidak akan membawa pada berbilangnya yang qadim (taaddud al-qudama). Tampaknya paham Maturidiyah wacana makna sifat yang kuasa cenderung mendekati paham mu’tazilah. Perbedaannya, al-Maturidi mengakui adanya sifat-sifat tuhan, sedangkan mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat tuhan.

Menurut maturidi samarkand, dalam menghadapi ayat-ayat yang memberi citra yang kuasa mempunyai sifat jasmani, mereka menyampaikan bahwa yang dimaksud dengan tangan, muka, mata dan kaki yaitu kekuasaan tuhan. Pendapat pedoman samarkand ini kelihatannya tidak sepaham dengan mu’tazilah lantaran al-Maturidi menyampaikan bahwa sifat bukanlah tuhan, akan tetapi juga tidak lain dari tuhan.

Aliran Maturidiyah bukhara sependapat dengan Asy'ariyah dan maturidi samarkand bahwa yang kuasa sanggup dilihat dengan mata kepala. Al-Bazdawi tokoh Maturidiyah bukhara menyampaikan bahwa yang kuasa kelak menunjukkan diriNya untuk kita lihat dengan mata kepala, sesuai dengan apa yang yang kuasa kehendaki.

d. Sifat-sifat Allah Menurut Aliran Syi’ah Rafidhah.

Sebagian besar tokoh Syi’ah menilai bahwa pengetahuan itu bersifat baru, tidak qadim. Mereka beropini bahwa yang kuasa tidak tahu terhadap sesuatu sebelum kemunculannya. Sebagian dari mereka beropini bahwa yang kuasa tidak bersifat tahu terhadap sesuatu sebelum yang kuasa menghendakinya. Ketika yang kuasa menghendaki sesuatu, yang kuasa pun bersifat tahu. Jika yang kuasa tidak menghendaki, maka yang kuasa tidak bersifat tahu. oleh akibatnya mereka menolak bahwa yang kuasa senantiasa bersifat tahu. Makna yang kuasa berkehendak berdasarkan mereka yaitu bahwa yang kuasa mengeluarkan gerakan (taharraka harkah). Ketika gerakan itu muncul, yang kuasa bersifat tahu terhadap sesuatu itu.

Sebagian dari mereka beropini bahwa pengetahuan merupakan sifat zat yang kuasa dan bahwa yang kuasa tahu wacana diriNya sendiri, tetapi yang kuasa tidak sanggup di sifati tahu terhadap sesuatu sebelum sesuatu itu ada. Sebagian yang lain beropini bahwa yang kuasa senantiasa mengetahui dan pengetahuanNya merupakan sifat zatNya. Tuhan tidak sanggup bersifat tahu terhadap sesuatu sebelum sesuatu itu ada, sebagaimana insan tidak sanggup bersifat melihat dan mendengar sesuatu sebelum bertemu dengan sesuatu itu sendiri.

Mayoritas tokoh syi’ah Rafidhah mensifati yang kuasa dengan bada (perubahan). Mereka beranggapan bahwa yang kuasa mengalami banyak perubahan. Sebagian mereka menyampaikan bahwa yang kuasa terkadang memerintahkan sesuatu kemudian mengubahnya. Terkadang yang kuasa menghendaki melaksanakan sesuatu kemudian mengurungkannya lantaran ada perubahan pada diriNya. Perubahan ini bukan dalam arti naskh, tetapi dalam arti bahwa pada waktu yang pertama yang kuasa tidak tahu apa yang akan terjadi pada waktu yang kedua.

Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan wacana sifat-sifat yang kuasa berdasarkan pedoman Kalam (Mu’tazilah, Asy'ariyah, Maturidiyah dan Syi’ah Rafidhah). Sumber buku Siswa Kelas XII MA Ilmu Kalam Kementerian Agama Republik Indonesia, 2016. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel