Perbuatan Ilahi Berdasarkan Fatwa Kalam (Mu’Tazilah, Asy'ariyah Dan Maturidiyah)

Perbuatan Allah Menurut Aliran Kalam (Mu’tazilah, Asy'ariyah dan Maturidiyah)
Pembahasan mengenai perbuatan ilahi ini yaitu akhir dari perdebatan pedoman kalam mengenai iman. Perdebatan ini kemudian hingga kepada siapa yang beriman dan siapa yang sudah dianggap sebagai kafir diantara para pelaku tahkim, dari perdebatan itu kemudian muncul pertanyaan siapakah yang menggerakkan perbuatan manusia? insan sendiri? Atau ilahi yang menggerakkan perbuatan manusia. Semua pedoman kalam sependapat bahwa ilahi melaksanakan perbuatan. Hal ini dikarenakan ilahi mempunyai kemampuan untuk melakukanya.

Segala perbuatan ilahi terbit sebab iradatnya. Tiap-tiap sesuatu yang terbit dari ilmu dan iradat berpangkal pula kepada ikhtiar (kebebasan), tiap-tiap yang terbit dari ikhtiar tidak satupun yang wajib dilakukan oleh yang mempunyai ikhtiar. Oleh sebab itu tidak ada satupun diantara perbuatan-perbuatannya yang dilakukan oleh zatnya, maka segala perbuatan ilahi menyerupai menciptakan, memberi rizki, menyuruh dan mencegah, menawarkan azab dan menawarkan kenikmatan yaitu sesuatu yang tetap bagi ilahi dengan kemungkinan yang khusus.

a. Perbuatan Tuhan Menurut Aliran Mu’tazilah.
Aliran mu’tazilah yang dianggap lebih rasional dan selalu mengedepankan nalar dibandingkan dengan wahyu beropini bahwa perbuatan ilahi hanya terbatas pada hal-hal yang dianggap baik. Tetapi tidak berarti bahwa ilahi tidak bisa melaksanakan perbuatan buruk. Tuhan tidak melaksanakan perbuatan jelek sebab Ia mengetahui keburukan dari perbuatan jelek tersebut. Di dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa ilahi tidak berbuat zalim. Ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan pedoman oleh pedoman mu’tazilah antara lain:

QS. al-Anbiya [21] ayat 23:

لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ

Artinya: "Dia tidak ditanya ihwal apa yang diperbuatNya dan merekalah yang akan ditanyai." (QS. al-Anbiya : 23).

QS. al-Rum [30] ayat 8:

أَوَلَمْ يَتَفَكَّرُوا فِي أَنْفُسِهِمْ ۗ مَا خَلَقَ اللَّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَجَلٍ مُسَمًّى ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ بِلِقَاءِ رَبِّهِمْ لَكَافِرُونَ

Artinya: "Dan mengapa mereka tidak memikirkan ihwal (kejadian) diri mereka? Allah tidak mengakibatkan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sebetulnya kebanyakan di antara insan benar-benar ingkar akan pertemuan dengan tuhannya." (QS. al-Rum : 8)

Seorang mu’tazilah Qadi Abd al-Jabr, menyampaikan bahwa ayat pertama memberi petunjuk bahwa ilahi hanya berbuat yang baik dan maha suci dari perbuatan buruk. Maka ilahi tidak perlu ditanya. Sedangkan ayat yang kedua, berdasarkan al-Jabr mengandung petunjuk bahwa ilahi tidak pernah dan tidak akan pernah melaksanakan perbuatan-perbuatan buruk. Seandainya ilahi melaksanakan perbuatan buruk, maka pernyataan bahwa Dia membuat langit dan bumi serta segala isinya dengan hak, yaitu tidak benar atau gosip bohong.

Paham kewajiban ilahi berbuat baik, bahkan yang terbaik mengharuskan pedoman mu’tazilah melahirkan paham kewajiban ilahi berikut ini:

a. Kewajiban tidak menawarkan beban di luar kemampuan manusia. Memberi beban di luar kemampuan insan yaitu bertentangan dengan paham berbuat baik dan terbaik. Tuhan akan bersikap tidak adil apabila ilahi memberi beban yang terlalu berat kepada manusia.

b. Kewajiban mengirimkan rasul. Argumentasi mereka yaitu kondisi nalar tidak sanggup mengetahui setiap apa yang harus diketahui oleh insan ihwal ilahi dan alam gaib. Oleh sebab itu ilahi berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi insan dengan cara mengirim rasul. Tanpa rasul insan tidak bisa hidup baik di dunia maupun di akhirat.

c. Kewajiban menepati akad (al-wa’d) dan bahaya (al-wa’id). Janji dan bahaya merupakan satu dari lima dasar kepercayaan mu’tazilah. Tuhan tidak akan bersifat adil apabila ilahi tidak menepati akad untuk memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan menjalankan bahaya bagi orang yang berbuat jahat. Oleh sebab itu, menepati akad dan menjalankan bahaya yaitu kewajiban bagi tuhan.

b. Perbuatan Tuhan Menurut Aliran Asy'ariyah.

Aliran Asy'ariyah beropini bahwa ilahi sanggup berbuat sehendakNya terhadap makhluk. Hal ini berarti, Asy'ariyah menolak paham mu’tazilah yang menyampaikan bahwa ilahi mempunyai kewajiban untuk berbuat baik dan terbaik bagi manusia. Asy'ariyah menolak paham tersebut dikarenakan dinilai bertentangan dengan paham kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, sepeti dikatakan oleh al-Ghazali bahwa perbuatanperbuatan ilahi tersebut bersifat jaiz (boleh) dan tidak satupun darinya yang bersifat wajib. Karenanya, ilahi tidak mempunyai kewajiban apa apa terhadap makhluk.

Aliran Asy'ariyah mendapatkan paham kontribusi beban di luar kemampuan insan sebab perbuatan insan pada hakikatnya yaitu perbuatan ilahi dan diwujudkan dengan daya ilahi bukan dengan daya manusia. Al-Asy’ari juga menolak pengiriman rasul sebagai kewajiban tuhan, sebab hal itu bertentangan dengan keyakinan mereka bahwa ilahi tidak mempunyai kewajiban apa apa terhadap makhluk. Begitupun terkait kewajiban ilahi untuk menepati akad dan menjalankan ancamannya yang ada dalam nash al-Qur’an dan Hadis, sebab berdasarkan mereka, ilahi mempunyai kehendak sendiri untuk melaksanakan perbuatan apa yang ilahi kehendaki.

c. Perbuatan Tuhan Menurut Aliran Maturidiyah.

Dalam pedoman Maturidiyah terdapat perbedaan pendapat antara Maturidiyah samarkand dan Maturidiyah bukhara. Aliran maturidyah samarkand menawarkan batasan pada kekuasaan dan kehendak ilahi dengan beropini bahwa perbuatan ilahi hanya menyangkut perihal yang baik-baik saja. Dengan demikian, ilahi mempunyai kewajiban untuk melaksanakan hal yang baik-baik bagi manusia, Maturidiyah samarkand juga memandang pengiriman rasul kepada insan sebagai kewajiban tuhan.

Sementara itu, pedoman Maturidiyah bukhara mempunyai paham yang sama dengan Asy'ariyah, dimana ilahi tidak mempunyai kewajiban terhadap manusia. Menurut pedoman ini, pengiriman rasul hanya bersifat mungkin, namun bukan merupakan kewajiban tuhan. Akan tetapi, pedoman ini beropini bahwa ilahi niscaya menepati janji-janjinya, menyerupai menawarkan jawaban nirwana bagi yang berbuat baik dan siksa neraka kepada nereka yang berbuat jahat sesuai dengan nash al-Qur’an dan Hadits.

Adapun mengenai kontribusi beban kepada insan di luar batas kemampuannya, Maturidiyah mendapatkan paham Asy'ariyah. Al-Bazdawi menyampaikan bahwa ilahi tidaklah tidak mungkin meletakkan kewajiban-kewajiban yang tak sanggup dipikulnya atas diri manusia. Sementara pedoman Maturidiyah samarkand menolak apa yang disampaikan oleh pedoman Asy'ariyah dikarenakan al-Qur’an menyampaikan bahwa ilahi tidak membebani insan dengan kewajiban-kewajiban yang di luar batas kemampuannya. Pemberian beban yang di luar kemampuan ini memeang sesuai dengan paham pedoman samarkand yang menyatakan bahwa manusialah yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya dan bukan tuhan.

Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan ihwal perbuatan ilahi berdasarkan pedoman kalam (Mu’tazilah, Asy'ariyah dan Maturidiyah). Sumber buku Siswa Kelas XII MA Ilmu Kalam Kementerian Agama Republik Indonesia, 2016. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel