Gerakan Wanita Islam Di Indonesia

Gerakan Perempuan Islam di Indonesia


Sangat sulit untuk menyampaikan bahwa Indonesia memiliki pergerakan wanita termasuk wanita islam yang secara konsisten menuntut hak-hak perempuan. Pergerakan di sini diartikan sebagai suatu kesadaran kolektif atau individual yang menghipnotis suatu masyarakat secara politis yang menuntut perubahan strata masyarakat yang dianggap diskriminatif.

Peta wanita penting di Indonesia sanggup dikatakan terbagi dalam empat kategori. Kategori pertama memunculkan duduk kasus hak memilih, hak pendidikan yang dikemukakan pada zaman Belanda, kategori kedua memunculkan duduk kasus politis yang berada pada basis masa dan perkumpulan untuk memajukan baik ketrampilan maupun politik wanita yang ditemui pada masa orde lama, kategori ketiga, pada masa orde baru, menampilkan wacana tugas-tugas domestikasi wanita sebagaimana yang diinginkan negara dan masa reformasi yang memunculkan pergerakan-pergerakan liberal yang bertemakan anti kekerasan terhadap perempuan.

Persoalan penuntutan hak menentukan di Indonesia (dulu Hindia Belanda), sangat lamban kalau dibandingkan dengan di India yang dijajah Inggris atau negara Filipina yang dijajah oleh Amerika. Baru pada tahun 1918 pemerintahan Belanda membentuk Dewan Rakyat (Volksraad), merupakan suatu tubuh perwakilan, yang anggotanya hanyalah mereka yang memiliki status tertentu di masyarakat. Sehingga sudah niscaya wanita tidak termasuk hitungan. Di Belanda pun, wanita Belanda yang tergabung dalam perkumpulan Vereeniging voor Vrouwenkiesrecht (VVV-Asosiasi Hak Perempuan Memilih) gres memikirkan soal hak-hak menentukan bagi rekan-rekannya yang berada di Hindia Belanda pada tahun 1926.2 Agar biar perkumpulan ini memiliki anggota yang signifikan, perkumpulan wanita Belanda yang menuntut hak wanita untuk menentukan ini juga berusaha mengajak perempuan-perempuan Indonesia untuk bergabung. Tetapi usaha ini tidak mendapatkan sambutan. Permasalahannya yakni perempuan- wanita Belanda memiliki barier dalam berkomunikasi dengan perempuan- wanita Indonesia baik yang berpendidikan sekalipun. Bagi mereka, saudara mereka yang “coklat” itu belum bisa diajak berbicara yang politis dan masih terbelakang. Padahal tahun 1930-an banyak wanita Indonesia ketika itu sudah mulai melaksanakan perkumpulan-perkumpulan, dan pada ketika itu wanita Belanda pun masih ragu-ragu akan kemampuan wanita Indonesia, bahkan cenderung meremehkan sehingga mengalienasikan wanita Indonesia termasuk yang berpendidikan.

 Sangat sulit untuk menyampaikan bahwa Indonesia memiliki pergerakan wanita termasuk per Gerakan Perempuan Islam di IndonesiaPada kongres wanita Indonesia tahun 1935, perdebatan hak untuk menentukan ramai dibicarakan dan wanita Indonesia mengiginkan wakilnya berada di dalam Dewan Rakyat. Tetapi gubernur Belanda memutuskan untuk mengutus wanita Belanda untuk posisi tersebut. Namun pada 1938, terdapat protes terhadap peminggiran kiprah wanita Indonesia, sehingga pada tahun 1941 kongres wanita Indonesia menuntut hak menentukan untuk semua wanita termasuk juga untuk wanita Belanda di Indonesia, keadaan ini menciptakan kedua kelompok menjadi kompak. Organisasi wanita Islam pun mendukung gagasan ini juga wanita nasionalis.

Perdebatan membolehkan wanita untuk menentukan pada ketika itu terlihat mendapat banyak kendala. Beberapa kelompok yang menentang hak-hak wanita untuk menentukan yakni kelompok laki-laki Belanda yang tergabung dalam kelompok Calvinist dan Katolik, yang menganggap daerah wanita seharusnya di ruamah.4 Pandangan ini didukung oleh komunitas Cina dan Arab yang menegaskanbahwa wanita tidak layak memainkan kiprah publik. Seorang wanita Minangkabau, Rangkajo Chailan Datoe Toemenggoeng, terpilih memiliki kiprah yang penting dalam VVV dan aktif di organisasi-organisasi perempuan. Hal ini menciptakan masyarakat Sumatera Barat terbelah antara mendukung Rangkajo Chailan dan tidak dengan alasan tradisi.

Pergerakan wanita Indonesia untuk menuntut hak-hak untuk menentukan tidak sekuat dengan negara-negara lain. Tidak ada wanita yang benar-benar memperjuangkan hak ini dengan sungguh-sungguh, sehingga tidak ada tokoh yang tercatat sebagai pejuang hak menentukan untuk perempuan. Namun demikian, pejuang-pejuang wanita termasuk wanita islam yang memperjuangkan hak pendidikan sanggup ditemui semenjak 1912 dengan nama perkumpulan Putri Merdeka yang memiliki afiliasi dengan Budi Oetomo, dan yang juga mensimbolkan Kartini. Kelompok-kelompok ini didominasi oleh perempuan-perempuan priayi. Kelompok- kelompok ini memfokukan diri pada pendidikan untuk anak perempuan, kursus-kursus rumah tangga, pembuatan baju, dsb.

Pada simpulan tahun 1920, Sukarno memulai acara politik dan mulai dikenal sebagai pemimpin pergerakan nasionalis. Ia secara formal memasuki dunia politik pada tahun 1926 dan pada tahun 1927 membentuk PNI. Ketika kongres organisasi wanita Indonesia pertama diselenggarakan pada bulan Desember 1928, Sukarno mulai memperkenalkan pandangannya wacana peranan wanita dalam pergerakan

nasionalis. Sukarno beropini bahwa pergerakan wanita harus tetap berada di bawah usaha nasionalis. Sukarno mengidentifikasi dua tipe dasar organisasi wanita di Indonesia: “mereka yang hanya tertarik untuk memasak, merajut, kehamilan dan anak, pendidikan, dsb, dan mereka yang lebih tertarik pada hal-hal yang politis untuk emansipasi perempuan.”

Sukarno sangat kritis terhadap jenis pertama pergerakan wanita dan menganggap jenis pergerakan wanita yang kedua lebih maju. Namun ia juga mengigatkan, bahwa, bila wanita Indonesia menuntut hak yang sama dengan laki- laki Indonesia, laki-laki Indonesia pun tertindas dibawah aturan kolonial. Hanya dengan Indonesia merdeka wanita akan menemukan kebebasan. Oleh lantaran itu menurutnya, sangat penting bagi wanita untuk mengambil bab dalam pergerakan Nasionalisme.Hal ini ditanggapi oleh seorang wanita islam, Maria Ulfah Subadio yang menyetujui bahwa gerakan wanita Indonesia harus lebih berkonsentrasi pada isu-isu nasionalis dan bukan feminis.

“Kita bukan memperjuangkan faham-faham feminisme, kita bukan feminis, apalagi ketika kini dalam masa kolonial lantaran lebih baik melawan penjajah dari pada melawan laki-laki. Jadi, kita kini membutuhkan laki-laki sebagai sekutu kita.”

Sikap menyerupai ini sangat kentara sekali ketika pemerintahan Belanda pada tahun 1937, memperlihatkan solusi poligami untuk organisasi perempuan. Pemerintah Belanda mengajukan perkawinan Islam didaftarkan di bawah aturan negara, sehingga wanita sanggup mengajukan perceraian bila suaminya memiliki istri lagi. Kelompok Islam menolak proposal tersebut tetapi perkumpulan Istri Sedar menerima. Tetapi kelompok- kelompok non-Islam lainnya juga ikut menolak atas dasar curiga terhadap Belanda lantaran dianggap sebagai upaya untuk memecah belahkan pergerakan nasional untuk merdeka.

“Pergerakan wanita pada ketika itu menolak penawaran tersebut lantaran mereka takut bahwa akan terjadi pemecahbelahan kelompok wanita dan juga dalam kelompok usaha kemerdekaan. Di sini sangat terperinci bahwa pergerakan wanita Indonesia pada ketika itu memihak pada pergerakan nasional.”

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel