Kiat Menambah Penghasilan Keluarga Secara Islami


Allah Swt. berfirman dalam AlQuran :
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
"Orang-orang yang beriman, pria dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain." (QS at-Taubah [9]: 71).
Krisis keuangan sanggup dialami keluarga manapun, termasuk keluarga Muslim. Apalagi dengan kezaliman penguasa ketika ini yang menaikkan harga BBM, yang telah memukul masyarakat, tak terkecuali keluarga Muslim. Akibatnya, kebutuhan keluarga baik kebutuhan primer, sekunder apalagi tersier sangat sulit untuk sanggup dipenuhi. Namun demikian, kepala keluarga dari keluarga-keluarga Muslim menyadari betul, bahwa Allah Swt. telah membebani mereka untuk bertanggung jawab mencari nafkah (QS al-Baqarah [2]: 233). Nabi saw. bahkan bersabda:
«كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُ»
"Cukuplah seorang Muslim berdosa kalau tidak mencurahkan upayanya untuk menafkahi orang-orang yang menjadi tanggungannya". (HR Muslim).
Hanya saja, ketika kepala keluarga telah mengerahkan segala upaya untuk mencari nafkah, namun kebutuhan keluarga belum terpenuhi, maka istri/ibu sebagai sahabat di dalam kehidupan kesepakatan nikah akan segera terlibat untuk memperlihatkan solusi-solusi yang membantu penyelesaian dilema ini. Ada beberapa kiat yang sanggup dilakukan istri/Ibu:

Mengatur pengeluaran keluarga secara efektif dengan menerapkan prinsip prioritas.

Para istri/ibu ketika ini dihadapkan pada aneka macam kesulitan, di antaranya dalam mengatur anggaran belanja rumahtangga. Harga-harga kebutuhan pokok melangit hingga memaksa istri/ibu wajib berhitung konsentrasi antara kecukupan gizi keluarga dan anggaran yang tersedia. Belum lagi dihadapkan pada harga pakaian bawah umur yang mahal, pemilikan rumah layak huni yang tidak terjangkau, pendidikan bawah umur dan biaya kesehatan yang tidak murah, dll. Semua itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Pada ketika yang sama, penghasilan suami tidak bertambah. Tentu, para istri/ibu Muslimah dituntut mempunyai prioritas yang terang dalam mengelola keuangan dengan mengikuti prioritas dalam tuntunan syariah: pembelanjaan yang wajib didahulukan, kemudian yang sunnah, gres kemudian yang mubah. Istri/Ibu juga sangat diharapkan bisa kreatif dalam mengelola pendapatan keluarga, termasuk mengolah makanan. Ibu sanggup mengolah materi masakan yang sederhana menjadi masakan yang yummy dan mengundang selera makan anggota keluarga. Begitu juga untuk pekerjaan rumah. Saat suami/kepala keluarga tidak bisa menyediakan pembantu, seorang istri/ibu dengan ringan tangan dan cekatan mengatur waktu dalam melakukan pekerjaan rumahtangga tanpa menuntut secara hiperbola kepada suami. Dorongan akidahlah yang mendominasi ibu/istri dalam merawat rumah (rabb al-bayt) supaya senantiasa higienis dan tertata dengan baik sehingga menciptakan anggota keluarga merasa nyaman dan betah di dalam rumah. Cukuplah Fatimah ra. sebagai suri contoh untuk para istri/ibu dalam hal kesabaran dan keuletannya mengurus rumah tangga, dalam keadaan mempunyai kekurangan finansial.

Sikap istri/ibu Muslimah ketika keluarga mengalami kekurangan finansial ialah sabar dan ikhlas, tidak menuntut suami alasannya dorongan seleranya atau selera tetangga sekalipun mereka selalu memprovokasi untuk membeli ini-itu yang tidak sejalan dengan tuntunan syariah. Kecerdasan seorang istri/ibu sangat diharapkan untuk memberi klarifikasi kepada tetangga dan anak-anak, bahwa hidup ini mempunyai tujuan untuk menaati Allah Swt. secara keseluruhan. Karena itu, segala keperluan yang mengarah pada tegaknya kewajiban untuk taat kepada-Nya wajib didahulukan. Misal: membeli buku-buku yang relevan untuk memahami Islam, membeli peralatan mencar ilmu atau pakaian syar‘i, membiayai transportasi untuk menjalani dakwah, wajib lebih didahulukan daripada membeli perlengkapan bermain (yang tidak mendidik) dan hiburan.

Mencarikan aneka macam gosip mengenai aneka macam alternatif pekerjaan/pekerjaan sampingan untuk suami.

Istri/ibu sanggup juga berperan mencarikan aneka macam gosip mengenai alternatif pekerjaan yang sanggup dilakukan suami/kepala keluarga tanpa wajib mengorbankan waktu untuk akivitas penting lainnya. Hal ini sangat memungkinkan untuk dilakukan, alasannya istri/ibu yang mempunyai interaksi tinggi dengan ibu-ibu yang lain (apakah dalam acara dakwah, menuntut ilmu atau kegiatan-kegiatan sosial) sanggup mencari info perihal aneka macam peluang yang sanggup dilakukan suami tanpa wajib merasa malu. Istri/ibu yang sanggup mengakses internet sanggup mencarikan aneka macam gosip lowongan pekerjaan melalui situs internet. Dia juga bisa mencarikan lowongan pekerjaan untuk suami melalui jalur kekerabatan dalam keluarga besar.

Membantu menambah penghasilan keluarga.

Pada ketika alternatif-alternatif di atas belum memperlihatkan solusi yang sempurna dalam mengatasi krisis keuangan keluarga, maka istri/Ibu sanggup membantu secara pribadi (bekerja). Hanya saja, ada beberapa hal yang wajib diperhatikan.

Pertama: kewajiban mencari nafkah tetap pada suami, bukan pada istri; istri sekadar membantu (Lihat: QS an-Nisa’ : 34).

Kedua: wajib disadari bahwa bekerja untuk perempuan hukumnya mubah saja, bukan wajib. Artinya, bekerja untuk istri/ibu hanyalah pilihan; bisa dilakukan atau tidak. Suami/kepala keluarga tidak berhak memaksa istri untuk bekerja. Jika ini terjadi berarti suami telah telah menzalimi istrinya.

Ketiga: Saat istri/ibu menentukan bekerja demi menambah penghasilan keluarga tidak berarti kewajiban sebagai Ibu/manager rumahtangga (ummu wa rabb al-bayt) terbebaskan; tidak dibenarkan beliau meminta dispensasi untuk meninggalkan kewajiban-kewajiban yang lainnya. Misal: alasannya ia bekerja, urusan mendidik anak diserahkan kepada pembantu; alasannya alasan bekerja, beliau meminta kelonggaran untuk tidak berdakwah. Karena itulah, istri/ibu sangat diharapkan cerdas dalam menentukan jenis pekerjaan; tidak menyita waktu dan energi yang banyak. Misal: bekerja paruh waktu, bekerja dengan pekerjaan yang sanggup dilakukan di rumah, membuka perjuangan bersama suami; dll. Dalam kondisi istri ikut bekerja, akan sangat bakir sekali kalau suami pun membantu pekerjaan istri di rumah kalau mungkin untuk dilakukan. Misal: bapak sanggup mempersiapkan perlengkapan pakaian sendiri untuk ke kantor, membantu memandikan anak, bergantian bersama istri menemani anak belajar, dan lain-lain.

Keempat: menentukan pekerjaan yang tidak melanggar syariah. Dalam hal ini, jangan hingga demi membantu suami, seorang istri bekerja dengan melanggar syariah. Suami juga wajib harus memastikan apakah pekerjaan yang dipilih istrinya dibenarkan oleh syariah. Sebelum mendapatkan suatu pekerjaan, pastikan kejelasan kesepakatan dalam hal jenis pekerjaan, jumlah jam kerja perhari, berapa hari perminggu, kesesuaian jumlah gaji, pekerjaan itu tidak mengandung riba, dll. Islam telah memperlihatkan alternatif untuk Muslimah untuk bekerja terkait dengan bidang pendidikan dan kesehatan. Kedua bidang ini ialah yang terdekat dengan kodrat kewanitaan. Selain itu, Muslimah yang bekerja juga wajib memperhatikan suasana dan daerah bekerja. Misal: daerah bekerjanya tidak menyuburkan terjadinya percampuran antara pria dan perempuan (ikhtilat) serta khalwat (bersepi-sepi dengan lawan jenis yang bukan mahram); wajib menutup aurat; tidak ber-tabarruj; tidak melakukan safar tanpa ditemani mahram; dll.

Kelima: Senantiasa menjalani seluruh acara dengan motivasi ruhiah (dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWt.), bukan alasannya materi semata. Seorang istri/ibu yang bekerja demi membantu suami tak akan terjebak dalam suasana konsumtif dan hedonis (hura-hura dalam menghamburkan uang). Dia tetap menyadari bahwa bekerja hanyalah acara sementara yang dilakukan dalam rangka membantu tercukupinya kebutuhan-kebutuhan dalam standar yang dibenarkan oleh syariah. [Ir. Rezkiana Rahmayanti ; Penulis ialah pemerhati dilema keluarga] (www.baitijannati.wordpress.com)

sumber : http://www.hizbut-tahrir.or.id/al-waie/index.php/2007/07/02/kiat-menambah-penghasilan-keluarga/

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel