Konsep Insan Sebagai Khalifah Allah Di Muka Bumi
Monday, September 17, 2018
Edit
Mari kita pelajari wacana konsep insan sebagai khalifah allah di muka bumi ini. Telah dikemukakan bahwa insan terdiri dari roh dan badan, dengan demikian insan mempunyai sifat-sifat ganda yang kemudian menjadi bawaan dalam hidupnya dan sekaligus mempunyai potensi menjadi duduk perkara yang runcing dalam kehidupannya. Sebagai konsekwensinya insan juga mendapat pengetahuan yang bersifat ganda, yaitu pengetahuan mengenai dunia dan pengetahuan berkenaan dengan dunia yang lain.
Pengetahuan pertama, sebagaimana firman Allah Swt. yang dikemukakan dalam Q.S. 2:31 (surat al-Baqarah) disebut “pengetahuan nama-nama” (al-asma). Yang disebut pengetahuan wacana segala sesuatu di alam dunia (al-asyya’). Pengetahuan ini tidak merujuk pada pengetahuan wacana esensi (dzat) atau wacana hal yang paling dalam (sirr) dari segala sesuatu, contohnya wacana roh, alasannya mengenai yang ini hanya sedikit insan memperolehnya (lihat Q 17:85). Yang dimaksud dengan `ilm al-asma (pengetahuan nama-nama) yakni mengenai fenomena-fenomena atau kejadian-kejadian (`arad) yang sanggup diindera dan sifat-sifat dari segala sesuatu yang berbeda. Hal ini sanggup ditangkap atau diserap melalui nalar kebijaksanaan (mahsusat dan ma`qulat) yang dengan itu lah hubungannya sanggup diketahui, begitu pula ciri masing-masing yang berbeda.
Pengetahuan lain yang lebih tinggi yang dikaruniakan Allah Swt. kepada insan ialah pengetahuan wacana Allah (ma`rifat). Ini kita ketahui dalam Q 7:172) dikala Allah Swt. berfirman, “Bukankah Aku ini Tuhanmu? Ya, saya bersaksi” (Alastu bi rabbikum? Qawl bala syahidna..). Inilah perjanjian pertama yang mengikat insan dengan Allah Swt. Perjanjian itu diikrarkan terlebih dahulu sebelum insan diturunkan ke dunia dalam bentuknya sebagai makhluq yang mempunyai jasmani dan rohani. Dari sini kita tahu bahwa pengetahuan itu bukan ditanamkan Allah Swt. dalam tubuh manusia, tapi dalam roh, kalbu dan jiwanya.
Konsekwensi dari perjanjian yang mengikat itu yakni bahwa dalam hidupnya insan akan selalu mengakui Allah Swt. sebagai target penyembahannya, bukan kepada yang selain-Nya. Inilah makna Islam sebagai ad-din (agama), yaitu sebagai sesuatu yang mengikat kekerabatan antara insan dengan Tuhan sebagai penciptanya, dan ikatan itu sanggup berjalan terus kalau insan menunjukkan kepatuhannya (aslama) terhadap perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Dengan demikian, berdasarkan para ulama, din dan aslama, bersifat saling melengkapi dalam diri insan dan menjadi sifat yang hakiki dari manusia, yang disebut sebagai fitrah. Tujuan sejati insan ialah melakukan ibadah atau dedikasi kepada Tuhan (Q 5:56), dan kewajiban insan yakni ketaatan kepada-Nya, alasannya itulah yang sesuai dengan fitrah manusia, yang bertentangan dengan itu tentu tidak sesuai dengan fitrah manusia.
Tetapi insan juga mempunyai sifat bawaan, yaitu pelupa (nisyan). Karena itu insan juga biasa disebut insan. Setelah bersaksi bahwa Tuhan hanya satu yaitu Allah Swt. dan berjanji akan mematuhi-Nya, lantaran terlena oleh kehidupan dunia maka insan menjadi lupa (nasiya) untuk memenuhi kewajiban dan tujuan hakiki hidupnya. Kelupaan atau kelalaian itu menjadi penyebab ketidak-taatannya pada perintah Allah Swt. Sifat ini sangat tercela serta cenderung membuatnya karam dalam ketidakadilan (zhulm) dan kebodohan (jahl). Sekalipun demikian insan dianugerahi dengan perlengkapan rohani untuk mengingat kembali apa yang diikrarkannya pada hari perjanjian (hari Alastu) dulu. Perlengkapan itu ialah nalar pikiran dan kecerdasannya yang mempunyai kegunaan untuk membedakan yang salah dari yang benar. Tetapi semua itu terserah pada insan untuk memilihnya, dengan konsekwensi yang harus ditanggungnya sendiri.
Firman Allah Swt. dalam al-Qur’an (2:30) menyatakan bahwa insan telah ditunjuk menjadi khalifah-Nya di atas bumi, dan kepada insan dibebankan amanat, sebuah tanggung jawab yang berat untuk mengatur dan memelihara kehidupan di dunia. Maksud mengatur di sini bukanlah mengatur sesuai dengan kemauannya sendiri atau demi kepentingan egonya sendiri, tetapi harus mengatur sesuai dengan kehendak Allah Swt. dan maksud-Nya (Q 33:72). Amanah tersebut menuntut pertanggung tanggapan untuk bersikap dan berbuat adil terhadap alam semesta dan seisinya, sebagaimana juga bersikap adil terhadap sesama manusia. Mengatur di sini tidak hanya meliputi pengertian sosioal dan politik, atau mengendalikan alam dan kehidupan di dalamnya secara ilmiah. Tetapi yang lebih fundamental lagi, dalam konsep itu, tercakup konsep lain yang disebut tabi’ah (tabiat). Konsep ini mengandung arti “pengaturan, pengendalian, pemerintahan, dan pemeliharaan diri insan oleh dirinya sendiri”.
Dalam rangka mengatur dan mengendalikan hidupnya itu insan tergantung pada sifat ganda dari tabiatnya yaitu Tabiat atau bawan sifatnya yang tinggi ialah jiwa rasional (al-nafs al-nathiqah) dan yang lebih rendah yakni jiwa hewani (al-nafs al-hayawaniyah). Ketika Allah memaklumkan keesaan-Nya sebagai Tuhan, yang dituju yakni jiwa rasional insan bukan jiwa hewaninya. Agar insan memenuhi perjanjiannya dengan Allah dan selalu mmperteguh ikatan dengan perjanjiannya itu, insan harus melaksanakannya dalam bentuk amal perbuatan dan ketaatan dalam menjalankan ibadah (sesuai syariah-Nya).
Kekuasaan dan pengaturan jiwa rasional atas jiwa hewani secara efektif itulah yang sebetulnya dinamakan din (agama); sedangkan yang dimaksud islam ialah kepatuhan dan ketaatan yang sadar dari jiwa hewani terhadap jiwa rasional. Periaku religius dalam Agama Islam, lantaran itu, berkaitan dengan kebebasan dan kesadaran jiwa rasional secara penuh untuk merealisasikan perjanjiannya dengan Allah Swt., dan kebebasan itu berarti kekuatan (quwwa) serta kemapuan (wus’) untuk berbuat adil terhadap diri sendiri, sesama manusia, serta terhadap alam di sekitarnya.
Pengetahuan pertama, sebagaimana firman Allah Swt. yang dikemukakan dalam Q.S. 2:31 (surat al-Baqarah) disebut “pengetahuan nama-nama” (al-asma). Yang disebut pengetahuan wacana segala sesuatu di alam dunia (al-asyya’). Pengetahuan ini tidak merujuk pada pengetahuan wacana esensi (dzat) atau wacana hal yang paling dalam (sirr) dari segala sesuatu, contohnya wacana roh, alasannya mengenai yang ini hanya sedikit insan memperolehnya (lihat Q 17:85). Yang dimaksud dengan `ilm al-asma (pengetahuan nama-nama) yakni mengenai fenomena-fenomena atau kejadian-kejadian (`arad) yang sanggup diindera dan sifat-sifat dari segala sesuatu yang berbeda. Hal ini sanggup ditangkap atau diserap melalui nalar kebijaksanaan (mahsusat dan ma`qulat) yang dengan itu lah hubungannya sanggup diketahui, begitu pula ciri masing-masing yang berbeda.
Pengetahuan lain yang lebih tinggi yang dikaruniakan Allah Swt. kepada insan ialah pengetahuan wacana Allah (ma`rifat). Ini kita ketahui dalam Q 7:172) dikala Allah Swt. berfirman, “Bukankah Aku ini Tuhanmu? Ya, saya bersaksi” (Alastu bi rabbikum? Qawl bala syahidna..). Inilah perjanjian pertama yang mengikat insan dengan Allah Swt. Perjanjian itu diikrarkan terlebih dahulu sebelum insan diturunkan ke dunia dalam bentuknya sebagai makhluq yang mempunyai jasmani dan rohani. Dari sini kita tahu bahwa pengetahuan itu bukan ditanamkan Allah Swt. dalam tubuh manusia, tapi dalam roh, kalbu dan jiwanya.
Konsekwensi dari perjanjian yang mengikat itu yakni bahwa dalam hidupnya insan akan selalu mengakui Allah Swt. sebagai target penyembahannya, bukan kepada yang selain-Nya. Inilah makna Islam sebagai ad-din (agama), yaitu sebagai sesuatu yang mengikat kekerabatan antara insan dengan Tuhan sebagai penciptanya, dan ikatan itu sanggup berjalan terus kalau insan menunjukkan kepatuhannya (aslama) terhadap perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Dengan demikian, berdasarkan para ulama, din dan aslama, bersifat saling melengkapi dalam diri insan dan menjadi sifat yang hakiki dari manusia, yang disebut sebagai fitrah. Tujuan sejati insan ialah melakukan ibadah atau dedikasi kepada Tuhan (Q 5:56), dan kewajiban insan yakni ketaatan kepada-Nya, alasannya itulah yang sesuai dengan fitrah manusia, yang bertentangan dengan itu tentu tidak sesuai dengan fitrah manusia.
Tetapi insan juga mempunyai sifat bawaan, yaitu pelupa (nisyan). Karena itu insan juga biasa disebut insan. Setelah bersaksi bahwa Tuhan hanya satu yaitu Allah Swt. dan berjanji akan mematuhi-Nya, lantaran terlena oleh kehidupan dunia maka insan menjadi lupa (nasiya) untuk memenuhi kewajiban dan tujuan hakiki hidupnya. Kelupaan atau kelalaian itu menjadi penyebab ketidak-taatannya pada perintah Allah Swt. Sifat ini sangat tercela serta cenderung membuatnya karam dalam ketidakadilan (zhulm) dan kebodohan (jahl). Sekalipun demikian insan dianugerahi dengan perlengkapan rohani untuk mengingat kembali apa yang diikrarkannya pada hari perjanjian (hari Alastu) dulu. Perlengkapan itu ialah nalar pikiran dan kecerdasannya yang mempunyai kegunaan untuk membedakan yang salah dari yang benar. Tetapi semua itu terserah pada insan untuk memilihnya, dengan konsekwensi yang harus ditanggungnya sendiri.
Konsep Manusia Sebagai Khalifah Allah di Muka Bumi
Khalifah yakni makhluk Allah Swt. yang mendapat kepercayaan dari-Nya untuk menjalankan kehendak-Nya dan menerapkan semua ketetapan-Nya di muka bumi. Untuk menjalankan fungsi kekhalifahan itu Allah Swt. mengajarkan ilmu pengetahuan kepada manusia. Dengan ilmu pengetahuan, insan mempunyai kemampuan untuk mengatur, memanfaatkan, dan menundukkan benda-benda ciptaan Allah di muka bumi ini sesuai dengan maksud diciptakannya.Firman Allah Swt. dalam al-Qur’an (2:30) menyatakan bahwa insan telah ditunjuk menjadi khalifah-Nya di atas bumi, dan kepada insan dibebankan amanat, sebuah tanggung jawab yang berat untuk mengatur dan memelihara kehidupan di dunia. Maksud mengatur di sini bukanlah mengatur sesuai dengan kemauannya sendiri atau demi kepentingan egonya sendiri, tetapi harus mengatur sesuai dengan kehendak Allah Swt. dan maksud-Nya (Q 33:72). Amanah tersebut menuntut pertanggung tanggapan untuk bersikap dan berbuat adil terhadap alam semesta dan seisinya, sebagaimana juga bersikap adil terhadap sesama manusia. Mengatur di sini tidak hanya meliputi pengertian sosioal dan politik, atau mengendalikan alam dan kehidupan di dalamnya secara ilmiah. Tetapi yang lebih fundamental lagi, dalam konsep itu, tercakup konsep lain yang disebut tabi’ah (tabiat). Konsep ini mengandung arti “pengaturan, pengendalian, pemerintahan, dan pemeliharaan diri insan oleh dirinya sendiri”.
Dalam rangka mengatur dan mengendalikan hidupnya itu insan tergantung pada sifat ganda dari tabiatnya yaitu Tabiat atau bawan sifatnya yang tinggi ialah jiwa rasional (al-nafs al-nathiqah) dan yang lebih rendah yakni jiwa hewani (al-nafs al-hayawaniyah). Ketika Allah memaklumkan keesaan-Nya sebagai Tuhan, yang dituju yakni jiwa rasional insan bukan jiwa hewaninya. Agar insan memenuhi perjanjiannya dengan Allah dan selalu mmperteguh ikatan dengan perjanjiannya itu, insan harus melaksanakannya dalam bentuk amal perbuatan dan ketaatan dalam menjalankan ibadah (sesuai syariah-Nya).
Kekuasaan dan pengaturan jiwa rasional atas jiwa hewani secara efektif itulah yang sebetulnya dinamakan din (agama); sedangkan yang dimaksud islam ialah kepatuhan dan ketaatan yang sadar dari jiwa hewani terhadap jiwa rasional. Periaku religius dalam Agama Islam, lantaran itu, berkaitan dengan kebebasan dan kesadaran jiwa rasional secara penuh untuk merealisasikan perjanjiannya dengan Allah Swt., dan kebebasan itu berarti kekuatan (quwwa) serta kemapuan (wus’) untuk berbuat adil terhadap diri sendiri, sesama manusia, serta terhadap alam di sekitarnya.