Sejarah Perkembangan Ilmu Kalam
Tuesday, July 21, 2020
Edit
Pasca wafatnya Rasulullah Saw., kaum muslimin berkumpul di Saqifah bani Sa’idah untuk menentukan khalifah pengganti Rasulullah Saw. Pertemuan tersebut dihadiri oleh dua kelompok besar, yaitu Anshar dan Muhajirin. Di antara pendukung kaum Anshar yakni Saad bin Ibadah, Qais bin Saad dan Habab bin Mundzir. Delegasi Anshar menginginkan biar khalifah dipilih dari golongan mereka. Menurutnya, golongan Anshar yakni orang orang yang membantu usaha Rasulullah Saw.. dalam pengembangan dakwah Islam dari Madinah. Merekalah yang mengatakan daerah bagi Rasulullah Saw. dan kaum Muhajirin sesudah pindah dari Makkah ke Madinah.
Sementara kaum Muhajirin yang diwakili oleh Abu Bakar ash-Shidiq ra, Umar bin Khattab ra dan Abu Ubaidah menginginkan biar khalifah dipilih dari partai mereka. Bagi mereka, orang pertama yang membantu usaha Rasulullah Saw.. Di samping itu, mereka masih kerabat bersahabat dengan Rasulullah Saw., Abu Bakar ash-Shidiq ra lebih menentukan Abu Ubaidah atau Umar bin Khatab ra sebagai khalifah. Namun Umar dan Abu Ubaidah justru lebih mengedepankan Abu Bakar ash Shiddiq ra dengan alasan lantaran dia orang yang ditunjuk Rasulullah Saw. sebagai imam shalat dikala dia sakit.
Basyir bin Saad yang berasal dari suku Khazraj melihat bahwa perselisihan antara dua kubu tersebut bila dibiarkan sanggup menjadikan perpecahan dikalangan umat Islam. Untuk menghindari hal itu, ia angkat bicara dan mengambarkan kepada para akseptor sidang bahwa semua yang dilakkan kaum muslimin, baik dari partai Muhajirin ataupun Anshar hanyalah untuk mencari ridha Allah Swt.,. Tidak layak bila kedua partai mengungkit-ungkit kebaikan dan keutamaan masing-masing demi kepentingan politik.
Kemudian Basyir bin Saat membait Abu Bakar ash-Shidiq ra. Sikap Basyir dikecam oleh Habban bin Mundzir dari kaum Anshar. Ia dianggap telah menyalahi komitmen Anshar untuk menentukan khalifah dari partainya. Namun Basyir menjawab, Demi Allah tidak demikian. Saya membenci perselisihan dengan suku yang memang mempunyai hak untuk menjadi khalifah.
Mayoritas suku Aus dari partai Anshar mengedepankan Saad bin Ibadah sebagai khalifah. Namun kemudian Asyad bin Khudair yang juga dari suku Aus berdiri membaiat Abu Bakar Ash-Shidiq ra. Ia menyeru pada para hadirin untuk mengikuti jejaknya. Merekapun bangun ikut membaiat dan mengatakan sumbangan pada Abu Bakar ash-Shidiq ra kemudian terpilih sebagai Khalifah pertama umat Islam. Setelah Khalifah Abu Bakar ash-Shidiq ra wafat segera digantikan Umar bin Khattab r.a. secara aklamasi. Banyak budi Umar yang sebetulnya kontroversial akan tetapi dengan sumbangan wibawanya yang tinggi, orang mengikutinya dengan patuh. Ketika meninggal, Umar bin Khattab r.a. digantikan oleh Usman bin Affan r.a., seorang yang saleh dan berilmu tinggi. Sebagai anggota keluarga pedagang Makkah yang cukup terkemuka, Usman bin Affan r.a. mempunyai kemampuan administratif yang baik, tetapi lemah dalam kepemimpinan.
Kelemahan Usman bin Affan r.a. yang mencolok dan menjadikan ketidaksenangan kepada dia yakni ketidak-mampuan mencegah ambisi di lingkungan keluarganya untuk menempati kedudukan-kedudukan penting di lingkungan pemerintahan. Akibatnya banyak orang yang tidak senang. Lalu ada lagi orang-orang yang memakai kesempatan untuk memperoleh laba pribadi. Di Mesir, penggantian gubernur yang diangkat Umar bin Khattab r.a., yakni Amr bin al-Ash diganti dengan Abdullah Ibnu Sa’d, salah seorang keluarga Usman, menjadikan pemberontakan. Mereka mengerahkan pasukan menyerbu Madinah dan Abdullah bin Saba’ berhasil membunuh Khalifah. Peristiwa pembunuhan Khalifah ini dikenal sebagai al-fitnatul kubro yang pertama.
Mayoritas sejarawan sependapat bahwa Abdullah bin Saba’ yakni pendeta Yahudi yang masuk Islam dengan tujuan untuk menghancurkan Islam dari dalam. Ia membangun gerakan untuk menggulingkan kekhalifahan Usman dengan memanfaatkan kekisruhan politik yang sedang terjadi. Untuk mewujudkan misinya itu ia memakai figur Ali bin Abi Thalib r.a. sebagai alat untuk menebar fitnah di kalangan umat muslim. Ia melacarkan propaganda dengan melebih-lebihkan dan mengagung-agungkan Ali bin Abi Thalib r.a. Ia juga merendahkan Khalifah terdahulu. Usaha Abdulah bin Saba’ tersebut mendapatkan perhatian yang besar, terutama dari kota-kota besar menyerupai Mekah, Madinah, Basrah.
Ketika Utsman bin Affan r.a. wafat, musyawarah para pemimpin kelompok dan suku menetapkan Ali bin Abi Thalib sebagai penggantinya. Tetapi kemudian dia ditentang oleh beberapa pihak, antara lain oleh Thalhah dan Zubeir, yang dibantu oleh Aisyah isteri Rasulullah Saw.. Penentangan timbul terutama lantaran Ali bin Abi Thalib r.a. dianggap tidak tegas dalam mengadili pembunuh Utsman bin Affan r.a..
Setelah terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan r.a. perpecahan memuncak, kemudian terjadilah perang Jamal yaitu perang antara Ali bin Abi Thalib radengan Aisyah r.a. dan perang Siffin yaitu perang antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah bin Abu Sofyan. Tentara campuran pimpinan Thalhah, Zubeir dan Aisyah dikalahkan dengan telak. Tholhah dan Zubeir terbunuh, sedang Aisyah ra yang tertangkap kemudian dikirimkan kembali ke Madinah.
Tentangan dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan, Gubernur Damaskus yang masih keluarga Utsman bin Affan r.a.. Dia menuntut Ali bin Abi Thalib r.a. biar segera mengadili para pembunuh khalifah ketiga itu. Sementara Ali bin Abi Thalib melihat bahwa situasi dan kondisi pada waktu itu tidak memungkinkan untuk menangkap dan mengadili pelaku pembunuhan khalifah Ustman. Perselisihan antara kubu Ali bin Abi Thalib r.a. dan Muawiyah bin Abu Sufyan kesannya semakin meruncing. Muawiyah tetap bersikukuh pada pendiriannya, demikian juga dengan Ali bin Abi Thalib r.a..
Akhirnya, Muawiyah bin Abu Sufyan menetapkan untuk melawan Ali bin Abi Thalib r.a. dengan kekuatan militer. Terjadilah pertempuran hebat antara pasukan Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abu Sufyan. Hampir saja, pasukan Ali bin Abi Thalib r.a. sanggup memenangkan pertempuran. Namun kemudian Muawiyah menunjukkan perdamaian. Peristiwa itu disebut dengan at-taḥkim (arbitrase) yakni mengangkat Kitab al-Quran di atas tombak. Kedua belah pihak sepakat untuk tolong-menolong (Khalifah Ali Bin Abi Thalib r.a. dan Muawiyyah bin Abu Sofyan) meletakkan jabatan masing-masing.
Tahkim ini dari pihak Ali bin Abi Thalib r.a. diwakili oleh Abu Musa Al-Asy’ari, dan pihak Muawiyyah bin Abu Sufyan diwakili oleh Amru bin Ash. Tahkim berujung dengan kericuhan, disebabkan oleh Amru bin Ash. Pengunduran Ali bin Abi Thalib dari Khalifah disetujui dan diterima oleh Amru bin Ash, dan ia menetapkan jabatan Khalifah pada Muawiyyah bin Abu Sufyan.
Pendukunga Ali bin Abi Thalib r.a. selanjutnya disebut dengan golongan Syiah. Kenyataannya, tidak semua pengikut Ali bin Abi Thalib r.a. menyetujui tahkim. Mereka menganggap bahwa tahkim hanyalah sekedar makar politik Muawiyah bin Abu Sufyan. Kelompok itu kemudian memisahkan diri dan membentuk partai gres yang disebut dengan golongan Khawarij. Golongan ini menganggap Ali bin Abi Thalib r.a., Musa Al Asy’ari, Muawiyyah bin Abu Sufyan dan Amru bin Ash kafir dan harus dituntut. Mereka itu mesti dibunuh. Konsep kafir yang dianut oleh Khawarij menjelma faham bahwa orang yang berbuat dosa besar pun dianggap kafir.
Dari kejadian perang Siffin tersebut timbul aneka macam aliran di kalangan umat Islam, masing-masing kelompok juga terpecah belah menjadi banyak diantaranya yaitu tiga golongan yakni golongan Khawarij yakni suatu aliran pengikut Ali bin Abi Thalib r.a. yang keluar meninggalkan barisan lantaran ketidak sepakatan terhadap putusan Ali bin Abi Thalib ra yang mendapatkan tahkim dalam perang Siffin pada tahun 37 H/648 M, dengan kelompok bughat (pemberontak) Muawiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan Khilafah.
Golongan Murji`ah yakni orang yang menunda klarifikasi kedudukan seseorang yang bersengketa yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing ke hari selesai zaman kelak. Golongan ketiga yakni syi`ah yaitu orang-orang yang tetap menyayangi Ali dan keluarganya. Sedangakan Khawarij memandang bahwa Ali, Muawiyah, Amr Ibn al-Ash, Abu Musa alAsy`ari. Yang mendapatkan taḥkim yakni kafir.
Perpecahan dan bergolong-golong dalam Islam, semenjak dahulu telah dinyatakan oleh Nabi Muhammad Saw., sebagaimana dinyatakan dalam sabdanya :
"Bahwasanya bani Israil telah terpecah menjadi 72 millah (faham/aliran) dan akan terpecah umatku menjadi 73 aliran, semuanya masuk neraka, kecuali satu. Para sobat bertanya:”Siapakah yang satu itu ya Rasulullah? Nabi menjawab: yang satu itu ialah orang yang beri’tiqad sebagaimana i’tiqadku dan i’tiqad sahabat-sahabatku." (H.R. Tirmizi)
Sejak awal, Rasulullah Saw. sudah menggambarkan akan terjadi perbedaan umat Islam dalam memahami maupun menjalankan aliran Islam. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadis-hadis yang bertalian dengan akan adanya firqah-firqah (golongan-golongan) yang berselisih faham dalam lingkungan umat Islam. Hadis tersebut diantaranya :
"Bahwasannya siapa yang hidup (lama) diantaramu pasti akan melihat perselisihan (faham) yang banyak. Ketika itu berpegang teguhlah kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur-Rasyidin yang diberi hidayat. Pegang teguh itu dan gigitlah dengan gigi gerahammu”. (HR. Abu Daud)
Masalah iktikad menjadi perdebatan yang hangat di kalangan umat Islam. Setelah kejadian tahkim, dan masa pemerintahan dinasti Umaiyah dan dinasti Abbasiyah tumbuh aneka macam aliran teologi seperti Murji’ah, Qadariah, Jabariah dan Muktazilah. Kemudian, lahirlah imam Abu Mansur al-Maturidi yang berusaha menolak golongan yang berakidah batil. Mereka membentuk aliran Maturidiah. Kemudian muncul pula Abul Hasan alAsy’ari yang telah keluar dari kelompok Muktazilah dan menjelaskan asas-asas pegangan barunya yang bersesuaian dengan para ulama dari kalangan fuqaha dan ahli hadis. Dia dan pengikutnya dikenal sebagai aliran Asya’irah dan kemudian dikenal dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah (Sunni).
Sementara kaum Muhajirin yang diwakili oleh Abu Bakar ash-Shidiq ra, Umar bin Khattab ra dan Abu Ubaidah menginginkan biar khalifah dipilih dari partai mereka. Bagi mereka, orang pertama yang membantu usaha Rasulullah Saw.. Di samping itu, mereka masih kerabat bersahabat dengan Rasulullah Saw., Abu Bakar ash-Shidiq ra lebih menentukan Abu Ubaidah atau Umar bin Khatab ra sebagai khalifah. Namun Umar dan Abu Ubaidah justru lebih mengedepankan Abu Bakar ash Shiddiq ra dengan alasan lantaran dia orang yang ditunjuk Rasulullah Saw. sebagai imam shalat dikala dia sakit.
Basyir bin Saad yang berasal dari suku Khazraj melihat bahwa perselisihan antara dua kubu tersebut bila dibiarkan sanggup menjadikan perpecahan dikalangan umat Islam. Untuk menghindari hal itu, ia angkat bicara dan mengambarkan kepada para akseptor sidang bahwa semua yang dilakkan kaum muslimin, baik dari partai Muhajirin ataupun Anshar hanyalah untuk mencari ridha Allah Swt.,. Tidak layak bila kedua partai mengungkit-ungkit kebaikan dan keutamaan masing-masing demi kepentingan politik.
Kemudian Basyir bin Saat membait Abu Bakar ash-Shidiq ra. Sikap Basyir dikecam oleh Habban bin Mundzir dari kaum Anshar. Ia dianggap telah menyalahi komitmen Anshar untuk menentukan khalifah dari partainya. Namun Basyir menjawab, Demi Allah tidak demikian. Saya membenci perselisihan dengan suku yang memang mempunyai hak untuk menjadi khalifah.
Mayoritas suku Aus dari partai Anshar mengedepankan Saad bin Ibadah sebagai khalifah. Namun kemudian Asyad bin Khudair yang juga dari suku Aus berdiri membaiat Abu Bakar Ash-Shidiq ra. Ia menyeru pada para hadirin untuk mengikuti jejaknya. Merekapun bangun ikut membaiat dan mengatakan sumbangan pada Abu Bakar ash-Shidiq ra kemudian terpilih sebagai Khalifah pertama umat Islam. Setelah Khalifah Abu Bakar ash-Shidiq ra wafat segera digantikan Umar bin Khattab r.a. secara aklamasi. Banyak budi Umar yang sebetulnya kontroversial akan tetapi dengan sumbangan wibawanya yang tinggi, orang mengikutinya dengan patuh. Ketika meninggal, Umar bin Khattab r.a. digantikan oleh Usman bin Affan r.a., seorang yang saleh dan berilmu tinggi. Sebagai anggota keluarga pedagang Makkah yang cukup terkemuka, Usman bin Affan r.a. mempunyai kemampuan administratif yang baik, tetapi lemah dalam kepemimpinan.
Kelemahan Usman bin Affan r.a. yang mencolok dan menjadikan ketidaksenangan kepada dia yakni ketidak-mampuan mencegah ambisi di lingkungan keluarganya untuk menempati kedudukan-kedudukan penting di lingkungan pemerintahan. Akibatnya banyak orang yang tidak senang. Lalu ada lagi orang-orang yang memakai kesempatan untuk memperoleh laba pribadi. Di Mesir, penggantian gubernur yang diangkat Umar bin Khattab r.a., yakni Amr bin al-Ash diganti dengan Abdullah Ibnu Sa’d, salah seorang keluarga Usman, menjadikan pemberontakan. Mereka mengerahkan pasukan menyerbu Madinah dan Abdullah bin Saba’ berhasil membunuh Khalifah. Peristiwa pembunuhan Khalifah ini dikenal sebagai al-fitnatul kubro yang pertama.
Mayoritas sejarawan sependapat bahwa Abdullah bin Saba’ yakni pendeta Yahudi yang masuk Islam dengan tujuan untuk menghancurkan Islam dari dalam. Ia membangun gerakan untuk menggulingkan kekhalifahan Usman dengan memanfaatkan kekisruhan politik yang sedang terjadi. Untuk mewujudkan misinya itu ia memakai figur Ali bin Abi Thalib r.a. sebagai alat untuk menebar fitnah di kalangan umat muslim. Ia melacarkan propaganda dengan melebih-lebihkan dan mengagung-agungkan Ali bin Abi Thalib r.a. Ia juga merendahkan Khalifah terdahulu. Usaha Abdulah bin Saba’ tersebut mendapatkan perhatian yang besar, terutama dari kota-kota besar menyerupai Mekah, Madinah, Basrah.
Ketika Utsman bin Affan r.a. wafat, musyawarah para pemimpin kelompok dan suku menetapkan Ali bin Abi Thalib sebagai penggantinya. Tetapi kemudian dia ditentang oleh beberapa pihak, antara lain oleh Thalhah dan Zubeir, yang dibantu oleh Aisyah isteri Rasulullah Saw.. Penentangan timbul terutama lantaran Ali bin Abi Thalib r.a. dianggap tidak tegas dalam mengadili pembunuh Utsman bin Affan r.a..
Setelah terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan r.a. perpecahan memuncak, kemudian terjadilah perang Jamal yaitu perang antara Ali bin Abi Thalib radengan Aisyah r.a. dan perang Siffin yaitu perang antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah bin Abu Sofyan. Tentara campuran pimpinan Thalhah, Zubeir dan Aisyah dikalahkan dengan telak. Tholhah dan Zubeir terbunuh, sedang Aisyah ra yang tertangkap kemudian dikirimkan kembali ke Madinah.
Tentangan dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan, Gubernur Damaskus yang masih keluarga Utsman bin Affan r.a.. Dia menuntut Ali bin Abi Thalib r.a. biar segera mengadili para pembunuh khalifah ketiga itu. Sementara Ali bin Abi Thalib melihat bahwa situasi dan kondisi pada waktu itu tidak memungkinkan untuk menangkap dan mengadili pelaku pembunuhan khalifah Ustman. Perselisihan antara kubu Ali bin Abi Thalib r.a. dan Muawiyah bin Abu Sufyan kesannya semakin meruncing. Muawiyah tetap bersikukuh pada pendiriannya, demikian juga dengan Ali bin Abi Thalib r.a..
Akhirnya, Muawiyah bin Abu Sufyan menetapkan untuk melawan Ali bin Abi Thalib r.a. dengan kekuatan militer. Terjadilah pertempuran hebat antara pasukan Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abu Sufyan. Hampir saja, pasukan Ali bin Abi Thalib r.a. sanggup memenangkan pertempuran. Namun kemudian Muawiyah menunjukkan perdamaian. Peristiwa itu disebut dengan at-taḥkim (arbitrase) yakni mengangkat Kitab al-Quran di atas tombak. Kedua belah pihak sepakat untuk tolong-menolong (Khalifah Ali Bin Abi Thalib r.a. dan Muawiyyah bin Abu Sofyan) meletakkan jabatan masing-masing.
Tahkim ini dari pihak Ali bin Abi Thalib r.a. diwakili oleh Abu Musa Al-Asy’ari, dan pihak Muawiyyah bin Abu Sufyan diwakili oleh Amru bin Ash. Tahkim berujung dengan kericuhan, disebabkan oleh Amru bin Ash. Pengunduran Ali bin Abi Thalib dari Khalifah disetujui dan diterima oleh Amru bin Ash, dan ia menetapkan jabatan Khalifah pada Muawiyyah bin Abu Sufyan.
Pendukunga Ali bin Abi Thalib r.a. selanjutnya disebut dengan golongan Syiah. Kenyataannya, tidak semua pengikut Ali bin Abi Thalib r.a. menyetujui tahkim. Mereka menganggap bahwa tahkim hanyalah sekedar makar politik Muawiyah bin Abu Sufyan. Kelompok itu kemudian memisahkan diri dan membentuk partai gres yang disebut dengan golongan Khawarij. Golongan ini menganggap Ali bin Abi Thalib r.a., Musa Al Asy’ari, Muawiyyah bin Abu Sufyan dan Amru bin Ash kafir dan harus dituntut. Mereka itu mesti dibunuh. Konsep kafir yang dianut oleh Khawarij menjelma faham bahwa orang yang berbuat dosa besar pun dianggap kafir.
Dari kejadian perang Siffin tersebut timbul aneka macam aliran di kalangan umat Islam, masing-masing kelompok juga terpecah belah menjadi banyak diantaranya yaitu tiga golongan yakni golongan Khawarij yakni suatu aliran pengikut Ali bin Abi Thalib r.a. yang keluar meninggalkan barisan lantaran ketidak sepakatan terhadap putusan Ali bin Abi Thalib ra yang mendapatkan tahkim dalam perang Siffin pada tahun 37 H/648 M, dengan kelompok bughat (pemberontak) Muawiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan Khilafah.
Golongan Murji`ah yakni orang yang menunda klarifikasi kedudukan seseorang yang bersengketa yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing ke hari selesai zaman kelak. Golongan ketiga yakni syi`ah yaitu orang-orang yang tetap menyayangi Ali dan keluarganya. Sedangakan Khawarij memandang bahwa Ali, Muawiyah, Amr Ibn al-Ash, Abu Musa alAsy`ari. Yang mendapatkan taḥkim yakni kafir.
Perpecahan dan bergolong-golong dalam Islam, semenjak dahulu telah dinyatakan oleh Nabi Muhammad Saw., sebagaimana dinyatakan dalam sabdanya :
"Bahwasanya bani Israil telah terpecah menjadi 72 millah (faham/aliran) dan akan terpecah umatku menjadi 73 aliran, semuanya masuk neraka, kecuali satu. Para sobat bertanya:”Siapakah yang satu itu ya Rasulullah? Nabi menjawab: yang satu itu ialah orang yang beri’tiqad sebagaimana i’tiqadku dan i’tiqad sahabat-sahabatku." (H.R. Tirmizi)
Sejak awal, Rasulullah Saw. sudah menggambarkan akan terjadi perbedaan umat Islam dalam memahami maupun menjalankan aliran Islam. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadis-hadis yang bertalian dengan akan adanya firqah-firqah (golongan-golongan) yang berselisih faham dalam lingkungan umat Islam. Hadis tersebut diantaranya :
"Bahwasannya siapa yang hidup (lama) diantaramu pasti akan melihat perselisihan (faham) yang banyak. Ketika itu berpegang teguhlah kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur-Rasyidin yang diberi hidayat. Pegang teguh itu dan gigitlah dengan gigi gerahammu”. (HR. Abu Daud)
Masalah iktikad menjadi perdebatan yang hangat di kalangan umat Islam. Setelah kejadian tahkim, dan masa pemerintahan dinasti Umaiyah dan dinasti Abbasiyah tumbuh aneka macam aliran teologi seperti Murji’ah, Qadariah, Jabariah dan Muktazilah. Kemudian, lahirlah imam Abu Mansur al-Maturidi yang berusaha menolak golongan yang berakidah batil. Mereka membentuk aliran Maturidiah. Kemudian muncul pula Abul Hasan alAsy’ari yang telah keluar dari kelompok Muktazilah dan menjelaskan asas-asas pegangan barunya yang bersesuaian dengan para ulama dari kalangan fuqaha dan ahli hadis. Dia dan pengikutnya dikenal sebagai aliran Asya’irah dan kemudian dikenal dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah (Sunni).
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan wacana sejarah perkembangan ilmu kalam. Sumber buku Siswa Kelas X MA Ilmu Kalam Kementerian Agama Republik Indonesia, 2014. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.