Dasar Dan Prinsip Aturan Ekonomi Islam

Dasar aturan ekonomi Islam perlu kita ketahui supaya aktifitas perekonomian yang kita lakukan mempunyai sumber aturan yang terang berdasarkan agama Islam.. Sebagai anutan yang komprehensif, aturan ekonomi Islam dibangun atas dasar kaidah ushul fiqh mu’amalah, qawa’id fiqh dan falsahah Hukum Islam dimana segala sesuatu yang tidak dihentikan oleh Alquran dan Sunnah ialah halal. Dengan demikian sebagian besar ekonom Muslim memahami ekonomi Islam sebagai suatu teori dan praktek ekonomi yang menghindari segala transaksi yang mengandung dengan riba (bunga), maisir (judi) dan gharar (spekulasi), menghindari dilakukannya peningkatan kesejahteraan seseorang dengan cara yang bathil atau merugikan orang lain, menekankan pada aspek keadilan daripada efisiensi, tidak melakukan investasi dan transaksi pada produk-produk yang dilarang, dan berupaya mewujudkan kesejahtaraan sosial yang didukung oleh zakat dan amal sholeh lainnya.

Ekonomi Islam ialah sebuah sistem ilmu pengetahuan yang menyoroti dilema perekonomian, sama ibarat konsep ekonomi konvensional lainnya. Hanya, dalam sistem ekonomi ini, nilai-nilai islam menjadi landasan dan dasar dalam setiap aktivitasnya.

Dari pemahaman ekonomi islam ini, membuktikan bahwa sistem ekonomi ini bukan hanya ditunjukan untuk umat islam saja. Sebab, semua umat insan sanggup dan berhak untuk memakai konsep yang ada dalam sistem ekonomi berbasis anutan islam itu.
Dasar aturan ekonomi Islam perlu kita ketahui supaya aktifitas perekonomian yang kita lakukan Dasar dan Prinsip Hukum Ekonomi Islam

Jika diurai, ekonomi islam ini berasal dari anutan yang terdapat dalam Al-Qur'an. Para jago ekonomi islamlah yang kemudian menerjemahkan dan membuat aplikasinya untuk kehidupan masyarakat. Beberapa tokoh ekonomi islam di antaranya ialah Abu Yusuf. Abu Yusuf ialah seorang tokoh ekonomi di bidang keuangan umum dengan menghasilkan gagasan entang peranan negara. pekerjaan umum dan perkembangan pertanian yang masih berlaku hingga sekarang.

Tokoh ekonomi islam lainnya ialah Ibnu Taimiya yang memaparkan mengenai konsep harga ekuivalen. Tusi, mengembangkan gagasan mengenai pentingnya nilai pertukaran, pembagian kerja dan kesejahteraan rakyat. Dan yang paling terkenal, Ibnu Khaldun yang ditasbihkan sebagai Bapak Ilmu Pengetahuan Sosial dunia, menawarkan definisi mengenai ilmu ekonomi yang lebih luas.

Dasar Hukum Ekonomi Islam


Sebuah ilmu tentu mempunyai landasan aturan supaya sanggup dinyatakan sebagai sebuah belahan dari konsep pengetahuan, demikian pula dengan ekonomi islam. Ada beberapa dasar aturan yang menjadi landasan pemikiran dan penentuan konsep ekonomi islam.

Beberapa dasar aturan Islam itu diantaranya adalah:
1. Al Qur'an
Ini ialah dasar aturan utama konsep ekonomi islam, lantaran Al Qur'an ialah ilmu pengetahuan yang berasal eksklusif dari Allah Swt. Beberapa ayat dalam Al Qur'an merujuk pada perintah insan untuk mengembangkan sistem ekonomi yang berasal pada aturan islam. Diantaranya terdapat pada QS. Fuskilat:42, QS. Az Zumar:27, QS. Al Hasy:22

2. Hadist dan Sunnah
Pengertian hadist dan sunnah ialah sebuah sikap Nabi yang tidak diwajibkan dilakukan manusia, namun apabila mengerjakan apa yang dilakukan Nabi Muhammad maka insan akan mendapat pahala. Keduanya dijadikan dasar aturan ekonomi islam mengingat Nabi Muhammad SAW sendiri ialah seorang pedagang yang sangat layak untuk dijadikan panutan pelaku ekonomi modern.

3. Ijma'
Ijma' yaitu sebuah prinsip aturan gres yang timbul sebagai akhir adanya perkembangan jaman. Ijma' ialah konsensus baik dari masyarakat atau cendikiawan agama, dengan berdasar pada Al Qur'an sebagai sumber aturan utama.

4. Ijtihad atau Qiyas
Ijtihad atau Qiyas ialah sebuah acara dari para jago agama untuk memecahkan dilema yang muncul di masyarakat, dimana dilema itu tidak itu secara rinci dalam aturan islam. Dengan merujuk beberapa ketentuan yang ada, maka Ijtihad berperan untuk membuat sebuah aturan yang bersifat aplikatif, dengan dasar Al Qur'an dan Hadist sebagai sumber aturan yang bersifat normatif.

Prinsip Hukum Ekonomi Islam


Dalam Hukum Ekonomi Islam, sebagai ketentuan yang ditetapkan syara’, terdapat prinsip-prinsip yang wajib dipenuhi apabila sebuah interaksi antar sesama insan yang berkaitan dengan harta dan kepemilikan akan dilakukan. Prinsip-prinsip ini mesti dijadikan sebagai ugeran (aturan) dalam melakukan acara ekonomi.

Berdasar pada beberapa pendapat para fuqaha dikala mendeskripsikan fiqih al-mu’amalah (baca: Hukum Ekonomi Islam), maka setidaknya ditemukan empat prinsip, yaitu:
1. pada asalnya acara ekonomi itu boleh dilakukan hingga ada dalil yang mengharamkannya,
2. acara ekonomi itu hendaknya dilakukan dengan suka sama suka (’an taradlin),
3. kegiatan ekonomi yang dilakukan hendaknya mendatangkan maslahat dan menolak madharat (jalb  al-mashalih wa dar’u al-mafasid), dan
4. dalam acara ekonomi itu terlepas dari unsur gharar, kedzaliman, dan unsur lain yang diperlukan berdasar syara’.

Dalam prinsip pertama mengandung arti, aturan dari semua acara ekonomi pada awalnya diperbolehkan. Kebolehan itu berlangsung selama tidak atau belum ditemukan nash – Al-Qur’an dan Al-Hadits – yang menyatakan keharamannya. Ketika ditemukan sebuah nash yang menyatakan haram, maka pada dikala itu pula kesepakatan mu’amalah itu menjadi terlarang berdasar syara’. Prinsip Hukum Ekonomi Islam ini bersama-sama mengacu pada ketentuan-ketentuan umum yang termuat di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Al-Qur’an secara substansi berbicara mengenai dilema ini terdapat di dalam surat Al-Baqarah ayat 29, “Dialah Allah yang mengakibatkan segala yang ada di bumi untuk kamu.” Sedangkan Al-Hadits yang berkaitan dengan prinsip ini ialah hadits yang diterima Salman Al-Farisi yang diriwayatkan Turmudzi dan Ibn Majah, Rasulullah Saw bersabda, “Apa yang dihalalkan Allah ialah halal dan apa yang diharamkan Allah ialah haram dan apa yang didiamkan ialah dimaafkan. Maka terimalah dari Allah pemaafan-Nya. Sungguh Allah itu tidak melupakan sesuatu pun.” (HR. Al-Bazar dan Al-Thabrani)

Prinsip Hukum Ekonomi Islam yang kedua ialah mu’amalah, hendaknya dilakukan dengan cara suka sama suka dan tidak ada unsur paksaan dari pihak manapun. Bila ada dalam sebuah acara ekonomi ditemukan unsur paksaan (ikrah), maka acara ekonomi itu menjadi batal berdasar syara’. Prinsip mu’amalah ini didasarkan pada nash yang tertuang dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 29, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” Prinsip inipun didasarkan pada hadits Nabi Saw yang menyatakan, “Bahwasannya jual-beli hendaknya dilakukan dengan suka sama suka.”

Sedangkan prinsip yang ketiga ialah mendatangkan maslahat dan menolak madharat untuk kehidupan manusia. Prinsip ini mengandung arti, acara ekonomi yang dilakukan itu hendaknya memperhatikan aspek kemaslahatan dan kemadharatan. Dengan kata lain, acara ekonomi yang dilakukan itu hendaknya merealisasi tujuan-tujuan syari’at Islam (maqashid al-syari’ah), yakni mewujudkan kemaslahatan untuk manusia. Bila ternyata acara ekonomi itu sanggup mendatangkan maslahat untuk kehidupan manusia, maka pada dikala itu hukumnya boleh dilanjutkan dan, bahkan, wajib dilaksanakan. Namun jikalau sebaliknya, mendatangkan madharat, maka pada dikala itu pula wajib dihentikan.

Prinsip ketiga itu biasanya didasarkan pada firman Allah dalam surat Al-Anbiya ayat 107, “Dan tidaklah Kami mengutus kalian melainkan untuk (menjadi) rahmat untuk seluruh alam.” Rahmat dalam ayat ini sanggup diartikan dengan menarik manfaat dan menolak madharat (jalb al-manfa’ah wa daf al-madharah). Makna ini secara substansial seiring dengan yang ditunjukkan Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 185, yang menyatakan, Allah tidak menghendaki adanya kesempitan dan kesulitan (musyaqah) dan surat An-Nisa’ ayat 28, “Allah menghendaki supaya meringankan bagimu, lantaran insan itu diciptakan dalam keadaan lemah.”

Sedangkan prinsip terakhir, acara ekonomi wajib terhindar dari unsur gharar, dzhulm, riba’ dan unsur lain yang diharamkan berdasar syara’. Syariat Islam membolehkan setiap acara ekonomi di antara sesama insan yang dilakukan atas dasar menegakkan kebenaran (haq), keadilan, menegakkan kemaslahatan insan pada ketentuan yang dibolehkan Allah Swt. Sehubungan dengan itu, Syariat Islam mengharamkan setiap acara ekonomi yang bercampur dengan kedzaliman, penipuan, muslihat, ketidakjelasan, dan hal-hal lain yang diharamkan dan dihentikan Allah Swt.

Gharar maknanya tipuan, yang diduga sanggup meniadakan kerelaan dan juga ialah belahan dari memakan harta insan dengan cara yang bathil. Jual-beli gharar ialah jual-beli yang mengandung unsur ketidaktahuan (jahalah) yang sanggup membawa pada perselisihan, serta menimbulkan kemadharatan dan meniadakan kemaslahatan manusia.

Sedangkan acara ekonomi yang mengandung unsur zhulm (kedzaliman) ialah acara ekonomi yang jikalau dilakukan sanggup merugikan pihak lain, ibarat menumpuk-numpuk harta (ihtikar) yang sanggup mengganggu prosedur pasar, jual-beli yang mengandung unsur spekulasi ibarat jual-beli munabadzah (jual-beli dengan cara saling melempar).

Adapun riba’ ialah satu embel-embel atas pokok harta dalam urusan pinjam-meminjam. Terdapat beberapa sebab, mengapa riba’ diharamkan. Pertama, lantaran Allah dalam Al-Qur’an dan Rasulullah Saw dalam Al-Hadits jelas-jelas menyatakan, riba’ diharamkan. Kedua, lantaran esensi riba’ ialah sikap orang untuk mengambil harta milik orang lain dengan tidak seimbang. Ketiga, sanggup menimbulkan orang malas untuk berusaha, lantaran selalu mengharapkan laba dengan tanpa perjuangan yang riil. Keempat, lantaran dengan adanya riba’ sanggup menimbulkan hilangnya berbuat baik pada sesama manusia.

Dari uraian itu sanggup dipahami, acara ekonomi gres dianggap shahih apabila memenuhi prinsip-prinsip Hukum Ekonomi Islam itu. Bila kativitas ekonomi itu tidak memenuhi salah satu atau beberapa prinsip Hukum Ekonomi Islam, maka akan tergolong pada acara ekonomi yang ghayr al-shahih, baik bathil atau fasad. Pemenuhan prinsip-prinsip itu dalam rangka membuat acara ekonomi yang sanggup menegakkan kebenaran, keadilan, kemurahan, dan kerelaan. Sehubungan dengan hal ini, maka sanggup disimpulkan, prinsip Hukum Ekonomi Islam ini pada hakikatnya ialah menegakkan kebenaran (shidq), keadilan (‘adalah), kemurahan (samahah), dan kerelaan (taradhi), Wallaahu a’lam.

Sumber:
http://www.anneahira.com/ekonomi-islam.htm
http://www.pkesinteraktif.com/edukasi/opini/1578-prinsip-hukum-ekonomi-islam.html
http://linafatinahberbagiilmu.blogspot.co.id/

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel